Jangan Nyinyir Ya, Bisa Nggak Indonesia Hidup Tanpa Utang?

Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
17 July 2019 14:48
Indonesia Mampu Bebas Utang?
Foto: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (CNBC Indonesia/Chandra Gian Asmara)
Akan tetapi pemerintah tetap perlu berhati-hati dalam menarik modal dari utang. Ada satu hal yang berisiko membuat anggaran pemerintah semakin terbebani akibat banyak berutang.

Namanya adalah bunga utang.

Sebagaimana yang telah diketahui, saat ini imbal hasil (yield) obligasi pemerintah yang berjangka waktu 10 tahun berada di level 7,11%.

Yield merupakan ukuran obligasi yang sudah memasukkan faktor kupon (bunga), risiko, dan harga. Besaran kupon obligasi pada saat awal penerbitannya biasanya akan setara dengan yield obligasi sejenis yang sudah terbit sebelumnya.

Maka dari itu, jika dalam waktu dekat pemerintah menerbitkan SBN baru, maka bunganya akan berada di kisaran 7%.

Sayangnya, beban keuangan (cost of funds) pemerintah Indonesia tercatat masih yang paling tinggi diantara negara-negara utama ASEAN.

Contohnya Thailand, yang mana yield obligasi tenor 10 tahun hanya 1,99%. Malaysia juga cuman 3,6%.

Penyebab tingginya yield obligasi pemerintah RI adalah peringkat utang yang masih rendah.



Saat ini peringkat utang Indonesia versi Standard % Poor's (S&P) baru BBB. Sementara Thailand dan Malaysia masing-masing BBB+ dan A-. Berbagai faktor turut mempengaruhi peringkat utang negara, seperti prospek pertumbuhan ekonomi, rasio utang terhadap PDB, dan kebijakan fiskal pemerintah.

Dengan bunga utang yang tinggi, tentu saja anggaran pemerintah semakin banyak beban.

Tercatat pembayaran bunga utang pemerintah sepanjang semester I-2019 mencapai Rp 134,77 triliun atau naik 11,7% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/YoY).

Padahal realisasi belanja pemerintah per akhir Juni 2019 sebesar Rp 1.034,51 triliun atau hanya tumbuh 4,08% YoY.

Pembayaran bunga utang semester I-2019 yang sebesar Rp 134,77 triliun hampir juga sama dengan total defisit anggaran sebesar Rp 135,75 triliun.

Artinya andai saja tidak ada pembayaran bunga utang, defisit anggaran hampir tidak terjadi.

Di sisi lain, nilai pembayaran bunga utang pada semester I-2019 (Rp 134,77 triliun) juga hampir setara dengan jumlah net pembiayaan utang periode yang sama (Rp 180,45 triliun). Nyaris 75%.

Net pembiayaan utang merupakan selisih antara penarikan utang baru dan pembayaran pokok cicilan.

Jika net pembiayaan utang pada awalnya tidak memiliki alokasi khusus, dalam arti masuk secara utuh ke dalam kas negara, maka sebagian besar hanya habis untuk membayar bunga utang saja.

Bisa Tanpa Utang?

Lagi-lagi andai saja pemerintah bisa meningkatkan pendapatan melalui penerimaan perpajakan, boleh jadi utang baru tidak diperlukan.

Dalam hal itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani terlihat sudah sangat mengusahakan. Berbagai program penggenjotan pajak telah dilakukan, seperti pembayaran pajak online dan program tax amnesti dilakukan untuk meningkatkan pendapatan negara.

Tambahan penerimaan pajak memang bisa jadi solusi atas defisit anggaran. Apalagi hingga saat ini 80% dari belanja pemerintah masih dibiayai dari pajak.

Namun sayangnya rata-rata pertumbuhan penerimaan pajak (tidak termasuk cukai dan bea impor) sepanjang 2015-2018 hanya sebesar 7,53%. Jauh lebih rendah ketimbang rata-rata pertumbuhan penerimaan pajak periode 2011-2014 sebesar 11,98%.



Padahal pada tahun 2017, Kemenkeu telah merekrut pegawai negeri untuk ditempatkan pada Direktorat Jenderal Pajak sebanyak lebih dari 2.000 orang.

Penelitian yang dilakukan oleh Mandiri Sekuritas tahun 2016 mengungkapkan bahwa Indonesia memiliki perbandingan antara kepadatan pegawai pajak dan pendapatan pajak yang paling rendah diantara negara-negara lain.

Sumber: Mandiri Sekuritas


TIM RISET CNBC INDONESIA

(taa/dru)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular