
Catat! Ini Deretan Menteri yang Posisinya Terancam Didepak
Herdaru Purnomo & Chandra Gian Asmara, CNBC Indonesia
12 July 2019 06:38

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk kesekian kalinya melontarkan kekecewaannya di hadapan para menteri Kabinet Kerja atas data-data ekonomi terkini.
Jokowi mengetahui, ketidakberesan tersebut merupakan tanggung jawab para Menteri di Kabinet Kerja. Salah satunya neraca perdagangan yang hancur lebur. Defisit!
Dengan nada pelan namun penuh penekanan, Kepala Negara meminta para Menteri memperhatikan betul data-data yang menyebabkan neraca perdagangan masih terus mengalami defisit.
"Hati-hati terhadap ini. Neraca perdagangan kita Januari - Mei ada defisit US$ 2,14 miliar. Coba dicermati angka ini dari mana, kenapa impor jadi sangat tinggi? Kalau didetailkan lagi, migasnya ini naiknya gede sekali," tegas Jokowi.
Kekhawatiran Jokowi terbilang wajar, mengingat defisit migas kerap kali menjadi biang kerok defisit neraca perdagangan dalam beberapa bulan terakhir. Pada Januari - Mei 2019, defisit migas mencapai US$ 3,75 miliar.
Kali ini sasaran ditujukan langsung ke Menteri ESDM Ignasius Jonan dan Menteri BUMN Rini Soemarno.
"Hati-hati di migas pak menteri ESDM yang berkaitan dengan ini. Bu menteri BUMN yang berkaitan dengan ini, karena yang paling banyak ada di situ," kata Jokowi.
Impor yang masih cukup tinggi, pun tak diimbangi dengan kinerja ekspor. Jokowi mengaku heran, lantaran kinerja ekspor domestik yang sampai saat ini belum menggeliat.
Apa hanya Menteri Rini dan Jonan saja? Berdasarkan pandangan para ekonom yang dihimpun CNBC Indonesia, setidaknya ada beberapa Menteri. Namun di antaranya memang Rini Soemarno kali ini cukup terancam.
Yang cukup fatal terakhir bagi Rini Soemarno adalah kasus Garuda Indonesia. Ekonom INDEF Bhima Yudhistira memandang Rini Soemarno memang masuk list teratas yang terancam didepak Jokowi.
"Menteri BUMN juga kocar kacir melihat Direksi beberapa BUMN tersandung kasus korupsi misalnya Dirut PLN Sofyan Basir dan terbaru adalah laporan keuangan Garuda Indonesia yang sudah terbukti bermasalah," paparnya.
Simak Rapor Para Menteri Ekonomi Jokowi di Sini >>> Rapor Menteri Ekonomi
Selain Garuda, Rini juga menjadi orang yang bertanggung jawab terhadap keuangan Pertamina.
Praktik serupa terlihat di Pertamina yang mencatatkan piutang pemerintah sebagai pendapatan, sehingga meraih laba bersih US$2,6 miliar (Rp 37,2 triliun) pada 2018. Pemicunya tak lain adalah pos pendapatan lainnya senilai US$3,9 miliar, yang muncul berkat kompensasi pemerintah atas selisih harga jual BBM Premium dalam program BBM Satu Harga.
Artinya, tidak ada uang kas yang bisa dipegang dari keuntungan tersebut, karena masih menunggu setoran dari APBN ke Pertamina. Tanpa itu, Pertamina merugi!
Meski tak menyalahi aturan, praktik ini tidak perlu terjadi jika pemerintah realistis dengan tak mewajibkan Holding BUMN Energi ini menjual BBM satu harga di seluruh Indonesia dan memasok premium di area Jawa, Madura, dan Bali (Jamali). Betul bahwa APBN menambal pengeluaran ini, tapi ini tentu langkah mundur karena subsidi BBM bakal membengkak lagi.
Menurut estimasi Tim Riset CNBC Indonesia, alokasi subsidi energi tahun ini bakal membengkak sekitar Rp 40 triliun pada semester kedua tahun ini, dari alokasi awal Rp 157 triliun menjadi Rp 197 triliun. Dari mana untuk menambal itu? Di tengah minimnya rasio pajak di kisaran 11%, utanglah jawabannya.
Ekonom UI, Fithra Faisal Hastiadi mengemukakan Menteri lain yang posisinya terancam. Adalah Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto, dan Menteri Pertanian Amran Sulaiman.
"Kinerja Kementerian Perdagangan, Perindustrian, dan Pertanian itu masalahnya memang ada di sektoral. Memang harus ada Menteri dari kalangan profesional untuk mengurus masalah di sektoral, tidak bisa buangan," kata Fithra.
"Dari Kementerian Keuangan sebetulnya sudah bagus, karena mengeluarkan berbagai kebijakan. Tapi tidak cukup hanya dari kebijakan makro," tuturnya.
Senada dengan Fithra, dari kacamata Bhima Yudhistira lagi, terlihat jelas kinerja Menteri tersebut.
"Menteri Perdagangan kinerja ekspornya sampai April anjlok -9,39%. Defisit perdagangan terus berlanjut. Menteri pertanian belum berhasil ciptakan swasembada. Daya beli petani juga rendah terlihat dari NTP [Nilai Tukar Petani] yang naik turun di 101-102. Karena belum mampu swasembada, impor pangan nya masih tinggi," katanya.
Kembali ke Ekonom Fithra, salah satu yang perlu digaris bawahi juga adalah Kementerian Koperasi dan UKM. Di bawah Komando Menteri Ngurah Puspayoga, Fithra menganggap Kementerian ini harusnya mendapat rapor merah.
"Diisi benar-benar dari orang buangan. Padahal ini penting. Bahkan mungkin tidak semua tahu siapa menteri koperasi UKM. Tak ada kerjanya. Peran UKM ini penting untuk dikembangkan, apalagi kalau kita bicara mengenai start up dan UMKM," terang Fithra.
Fithra juga menyoroti Menteri ESMD Ignasius Jonan. Justru, Fithra menjelaskan juga rapor merah bisa didapatkan Menteri ESDM.
"Menterinya dapat rapor merah karena mengeluarkan kebijakan yang anti investor. Misalnya kebijakan gross split, dan pertambangan yang dikeluhkan investor, Pak Jonan dan Pak Wamen harus diganti. Pak Jonan itu bagus di BUMN, tapi tidak di ESDM," terang Fithra.
Direktur Riset CORE Indonesia, Piter Abdullah menjelasakan seluruh Kementerian memang harus ada peningkatan kinerja. Sejauh ini belum ada menteri yang menurut Piter mampu melakukan lompatan.
"Kenapa? Karena masing-masing kerja sendiri-sendiri. Memang ada menteri yang kinerjanya baik seperti Menteri Basuki, Sri Mulyani. Tapi karena sendiri-sendiri tidak sinergi maka dampaknya tidak luar biasa," tutur Piter.
Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede mengatakan kinerja perekonomian di bawah kepemimpinan Jokowi pada dasarnya periode pertama cukup memuaskan seiring dengan kesehatan performa fiskal Indonesia di tengah ekspansi pembangunan infrastruktur Indonesia.
Namun demikian, masih ada beberapa masalah perekonomian yang masih menjadi catatan bagi pemerintahan Jokowi. "Salah satu diantaranya ialah adanya kurangnya koordinasi antara beberapa Kementerian/Lembaga sehingga data satu sama lain berbeda dan menghasilkan kebijakan yang kurang efisien," kata Josua.
"Sektor keuangan mengalami anomali yang menyebabkan suku bunga perbankan yang sangat tinggi dan membebani perekonomian. Yang lebih buruk lagi menyebabkan sistem insentif yang tidak optimal," paparnya.
Investasi di sektor riil menjadi tidak menarik karena biaya tinggi sementara investasi di sektor keuangan menarik tetapi tidak meningkatkan output.
Apa anda setuju Menteri-menteri tersebut diganti? Atau ada lagi yang lain?
(dru/miq) Next Article Ini yang Buat Jokowi Jengkel Sama Menteri, Sabar Ya Pak!
Jokowi mengetahui, ketidakberesan tersebut merupakan tanggung jawab para Menteri di Kabinet Kerja. Salah satunya neraca perdagangan yang hancur lebur. Defisit!
Dengan nada pelan namun penuh penekanan, Kepala Negara meminta para Menteri memperhatikan betul data-data yang menyebabkan neraca perdagangan masih terus mengalami defisit.
Kekhawatiran Jokowi terbilang wajar, mengingat defisit migas kerap kali menjadi biang kerok defisit neraca perdagangan dalam beberapa bulan terakhir. Pada Januari - Mei 2019, defisit migas mencapai US$ 3,75 miliar.
Kali ini sasaran ditujukan langsung ke Menteri ESDM Ignasius Jonan dan Menteri BUMN Rini Soemarno.
"Hati-hati di migas pak menteri ESDM yang berkaitan dengan ini. Bu menteri BUMN yang berkaitan dengan ini, karena yang paling banyak ada di situ," kata Jokowi.
![]() |
Impor yang masih cukup tinggi, pun tak diimbangi dengan kinerja ekspor. Jokowi mengaku heran, lantaran kinerja ekspor domestik yang sampai saat ini belum menggeliat.
Apa hanya Menteri Rini dan Jonan saja? Berdasarkan pandangan para ekonom yang dihimpun CNBC Indonesia, setidaknya ada beberapa Menteri. Namun di antaranya memang Rini Soemarno kali ini cukup terancam.
Yang cukup fatal terakhir bagi Rini Soemarno adalah kasus Garuda Indonesia. Ekonom INDEF Bhima Yudhistira memandang Rini Soemarno memang masuk list teratas yang terancam didepak Jokowi.
"Menteri BUMN juga kocar kacir melihat Direksi beberapa BUMN tersandung kasus korupsi misalnya Dirut PLN Sofyan Basir dan terbaru adalah laporan keuangan Garuda Indonesia yang sudah terbukti bermasalah," paparnya.
Simak Rapor Para Menteri Ekonomi Jokowi di Sini >>> Rapor Menteri Ekonomi
Selain Garuda, Rini juga menjadi orang yang bertanggung jawab terhadap keuangan Pertamina.
Praktik serupa terlihat di Pertamina yang mencatatkan piutang pemerintah sebagai pendapatan, sehingga meraih laba bersih US$2,6 miliar (Rp 37,2 triliun) pada 2018. Pemicunya tak lain adalah pos pendapatan lainnya senilai US$3,9 miliar, yang muncul berkat kompensasi pemerintah atas selisih harga jual BBM Premium dalam program BBM Satu Harga.
Artinya, tidak ada uang kas yang bisa dipegang dari keuntungan tersebut, karena masih menunggu setoran dari APBN ke Pertamina. Tanpa itu, Pertamina merugi!
Meski tak menyalahi aturan, praktik ini tidak perlu terjadi jika pemerintah realistis dengan tak mewajibkan Holding BUMN Energi ini menjual BBM satu harga di seluruh Indonesia dan memasok premium di area Jawa, Madura, dan Bali (Jamali). Betul bahwa APBN menambal pengeluaran ini, tapi ini tentu langkah mundur karena subsidi BBM bakal membengkak lagi.
Menurut estimasi Tim Riset CNBC Indonesia, alokasi subsidi energi tahun ini bakal membengkak sekitar Rp 40 triliun pada semester kedua tahun ini, dari alokasi awal Rp 157 triliun menjadi Rp 197 triliun. Dari mana untuk menambal itu? Di tengah minimnya rasio pajak di kisaran 11%, utanglah jawabannya.
Ekonom UI, Fithra Faisal Hastiadi mengemukakan Menteri lain yang posisinya terancam. Adalah Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto, dan Menteri Pertanian Amran Sulaiman.
![]() |
"Kinerja Kementerian Perdagangan, Perindustrian, dan Pertanian itu masalahnya memang ada di sektoral. Memang harus ada Menteri dari kalangan profesional untuk mengurus masalah di sektoral, tidak bisa buangan," kata Fithra.
"Dari Kementerian Keuangan sebetulnya sudah bagus, karena mengeluarkan berbagai kebijakan. Tapi tidak cukup hanya dari kebijakan makro," tuturnya.
![]() |
Senada dengan Fithra, dari kacamata Bhima Yudhistira lagi, terlihat jelas kinerja Menteri tersebut.
"Menteri Perdagangan kinerja ekspornya sampai April anjlok -9,39%. Defisit perdagangan terus berlanjut. Menteri pertanian belum berhasil ciptakan swasembada. Daya beli petani juga rendah terlihat dari NTP [Nilai Tukar Petani] yang naik turun di 101-102. Karena belum mampu swasembada, impor pangan nya masih tinggi," katanya.
Kembali ke Ekonom Fithra, salah satu yang perlu digaris bawahi juga adalah Kementerian Koperasi dan UKM. Di bawah Komando Menteri Ngurah Puspayoga, Fithra menganggap Kementerian ini harusnya mendapat rapor merah.
"Diisi benar-benar dari orang buangan. Padahal ini penting. Bahkan mungkin tidak semua tahu siapa menteri koperasi UKM. Tak ada kerjanya. Peran UKM ini penting untuk dikembangkan, apalagi kalau kita bicara mengenai start up dan UMKM," terang Fithra.
Fithra juga menyoroti Menteri ESMD Ignasius Jonan. Justru, Fithra menjelaskan juga rapor merah bisa didapatkan Menteri ESDM.
"Menterinya dapat rapor merah karena mengeluarkan kebijakan yang anti investor. Misalnya kebijakan gross split, dan pertambangan yang dikeluhkan investor, Pak Jonan dan Pak Wamen harus diganti. Pak Jonan itu bagus di BUMN, tapi tidak di ESDM," terang Fithra.
![]() |
Direktur Riset CORE Indonesia, Piter Abdullah menjelasakan seluruh Kementerian memang harus ada peningkatan kinerja. Sejauh ini belum ada menteri yang menurut Piter mampu melakukan lompatan.
"Kenapa? Karena masing-masing kerja sendiri-sendiri. Memang ada menteri yang kinerjanya baik seperti Menteri Basuki, Sri Mulyani. Tapi karena sendiri-sendiri tidak sinergi maka dampaknya tidak luar biasa," tutur Piter.
Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede mengatakan kinerja perekonomian di bawah kepemimpinan Jokowi pada dasarnya periode pertama cukup memuaskan seiring dengan kesehatan performa fiskal Indonesia di tengah ekspansi pembangunan infrastruktur Indonesia.
Namun demikian, masih ada beberapa masalah perekonomian yang masih menjadi catatan bagi pemerintahan Jokowi. "Salah satu diantaranya ialah adanya kurangnya koordinasi antara beberapa Kementerian/Lembaga sehingga data satu sama lain berbeda dan menghasilkan kebijakan yang kurang efisien," kata Josua.
"Sektor keuangan mengalami anomali yang menyebabkan suku bunga perbankan yang sangat tinggi dan membebani perekonomian. Yang lebih buruk lagi menyebabkan sistem insentif yang tidak optimal," paparnya.
Investasi di sektor riil menjadi tidak menarik karena biaya tinggi sementara investasi di sektor keuangan menarik tetapi tidak meningkatkan output.
Apa anda setuju Menteri-menteri tersebut diganti? Atau ada lagi yang lain?
(dru/miq) Next Article Ini yang Buat Jokowi Jengkel Sama Menteri, Sabar Ya Pak!
Most Popular