RAPOR 5 TAHUN KABINET JOKOWI
Ibu Sri Mulyani, Ini PR Anda Jika Jadi Menteri Keuangan Lagi
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
11 July 2019 15:56

Lebih lanjut, PR Sri Mulyani yang kedua adalah terkait dengan insentif pajak. Asal tahu saja, perekonomian Indonesia saat ini sedang loyo. Pada tahun 2015, dalam APBNP ditargetkan bahwa pertumbuhan ekonomi adalah sebesar 5,7%. Kenyataannya, perekonomian hanya tumbuh sebesar 4,79%, dilansir dari data yang disajikan Refinitiv.
Pada tahun 2016, APBNP menyebut bahwa target pertumbuhan ekonomi berada di level 5,2%. Namun, realisasinya ternyata hanya sebesar 5,02%.
Kini mari beralih ke tahun 2017 dan 2018 untuk mengukur performa Sri Mulyani. Dalam APBN 2017, target pertumbuhan dipatok di level 5,1%. Tak puas sampai di situ, pemerintah seolah menyombongkan diri dengan menaikkan target menjadi 5,2% dalam APBNP 2017. Padahal, biasanya target justru diturunkan dari yang dicanangkan di APBN. Kenyataannya, realisasi pertumbuhan ekonomi hanyalah 5,07%.
Untuk tahun 2018, pemerintah tidak mengajukan APBNP ke Dewan Pewakilan Rakyat (DPR). Dalam APBN 2018, pertumbuhan ekonomi dipatok di level 5,4% dan yang terealisasi hanyalah 5,17%.
Celakanya, untuk tahun ini perekonomian justru bisa lebih merana lagi. Dalam APBN 2019, pertumbuhan ekonomi dipatok di level 5,3%. Namun, sekuritas-sekuritas besar berbendera asing justru memproyeksikan bahwa perekonomian Indonesia akan tumbuh di bawah 5%. Ya, di bawah 5% seperti pada tahun 2015 silam.
Melansir konsensus yang dihimpun oleh Bloomberg, JPMorgan Chase dan Goldman Sachs Group memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh 4,9% pada tahun ini, sementara Deutsche Bank menaruh proyeksinya di level 4,8%.
Lantas, menjadi jelas bahwa insentif fiskal yang bisa menstimulasi dunia usaha perlu ditebar. Sebagai informasi, foreign direct investment (FDI) atau penanaman modal asing (PMA) tercatat ambruk hingga 8,8% pada tahun 2018, dari yang sebelumnya melejit nyaris 10% pada tahun 2017. Pada kuartal I-2019, FDI kembali jatuh sebesar 0,92% secara tahunan, jauh memburuk dibandingkan capaian periode kuartal I-2018 yakni pertumbuhan sebesar 12,27%.
Opsi yang tampak paling oke untuk kondisi saat ini adalah pemangkasan tarif pajak penghasilan (PPh) korporasi. Sejatinya, wacana pemangkasan tarif PPh korporasi sudah begitu lama dilontarkan sendiri oleh pemerintah, bahkan sejak awal-awal pemerintahan Jokowi. Rencananya, tarif PPh korporasi Indonesia yang berada di level 25% akan dipangkas menjadi 18% supaya kompetitif dengan Singapura. Namun, hingga kini realisasinya nol besar.
Memang, jika dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan Asia, ada yang tarif PPh korporasinya lebih rendah.
Jika disandingkan dengan dunia usaha yang saat ini sedang lesu, tentu pemerintah, dalam hal ini termasuk juga Kementerian Keuangan, perlu mencari solusinya. Kalau bisa, jangan hanya ke 20%, pangkaslah tarif PPh korporasi sebanyak mungkin supaya Indonesia dipadang ‘seksi’ oleh investor.
Apalagi, selama ini insentif fiskal yang diberikan pemerintah berupa tax holiday dan tax allowance bisa dibilang ‘kentang’, hampir tak ada dampaknya sama sekali.
Untuk periode 2017, Menteri Keuangan Sri Mulyani bahkan menyatakan bahwa tak ada satupun perusahaan yang mengajukan diri untuk mendapatkan tax allowance dan tax holiday. Kok bisa? Rupanya, persyaratannya terlalu sulit dipenuhi. Pemerintah seakan tak tulus memberikan insentif bagi pengusaha.
Kalangan pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) pernah menyatakan bahwa untuk mendapatkan insentif pajak di Indonesia, seperti tax holiday, tidaklah mudah. Selain terbatas di sektor industri tertentu, batas minimal nilai investasi yang harus dikucurkan juga sangat besar, yakni Rp 1 triliun.
Memang, batas minimal investasi bisa diturunkan hingga menjadi Rp 500 miliar. Namun, investor harus memperkenalkan teknologi tingkat tinggi dan insentif yang bisa diberikan hanyalah pengurangan PPh paling banyak 50% saja. Hal ini memicu minimnya partisipasi pelaku usaha.
Kini, Jokowi diketahui telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) nomor 45 Tahun 2019. Ini merupakan aturan 'Super Deductible Tax' atau pengurangan pajak di atas 100%.
PP Ini merupakan perubahan atas peraturan pemerintah nomor 94 tahun 2019 tentang penghitungan penghasilan kena pajak dan pelunasan pajak penghasilan.
Poin baru dalam aturan ini adalah fasilitas pembebasan atau pengurangan pajak penghasilan badan dan fasilitas pengurangan penghasilan neto dalam rangka penanaman modal serta pengurangan penghasilan bruto dalam rangka kegiatan tertentu,demikiandikutipCNBC Indonesia dari PP Nomor 45 Tahun 2019, Selasa (9/7/2019).
Namun, kalau peraturan turunan dari PP yang diteken Jokowi itu masih saja ‘kentang’, ya hasilnya sama saja. Perekonomian tetap akan lemah-letih-lesu, tak ada gairahnya.
Kalau dipikir lebih jauh, tentu pemangkasan tarif PPh korporasi bukan tanpa risiko. Penerimaan negara (yang saat ini saja sudah sulit mencapai target) bisa dibuat turun karenanya.
Sejatinya, Sri Mulyani dan koleganya di Kementerian Keuangan tak perlu takut jika hal tersebut terjadi. Pasalnya, ruang fiskal masih sangat lebar. Jika berbicara mengenai utang, satu hal yang sering disebutkan oleh Sri Mulyani adalah rasio utang pemerintah terhadap PDB yang masih rendah.
Hal ini memang benar. Bahkan jika dibandingkan negara-negara Asia lainnya, rasio utang pemerintah Indonesia terhadap PDB merupakan yang terendah.
Lantas, sudah waktunya pemerintah memaksimalkan ruang fiskal yang ada.
Kalau yang dipermasalahkan adalah peringkat surat utang, dengan rasio utang terhadap PDB yang jauh lebih tinggi dari Indonesia saja, toh peringkat surat utang Malaysia nyatanya berada dua level di atas Indonesia (S&P).
Jadi, itulah PR seorang Sri Mulyani jika benar dirinya kembali diberi mandat untuk mengarsiteki keuangan negara. Segeralah eksekusi rencana untuk memajaki para pelaku usaha digital. Bukan hanya semata untuk menaikkan penerimaan pajak, namun juga demi asas keadilan.
Kemudian, pangkaslah tingkat pajak korporasi guna menstimulasi dunia usaha. Bukan hanya menjadi 20%, namun serendah mungkin. Selain itu, seriuslah kala menebar insentif fiskal lainnya seperti tax allowance dan tax holiday. Jangan sampai insentif yang sudah begitu digembar-gemborkan ternyata ‘kentang’.
Good luck bu!
TIM RISET CNBC INDONESIA (ank/dru)
Pada tahun 2016, APBNP menyebut bahwa target pertumbuhan ekonomi berada di level 5,2%. Namun, realisasinya ternyata hanya sebesar 5,02%.
Kini mari beralih ke tahun 2017 dan 2018 untuk mengukur performa Sri Mulyani. Dalam APBN 2017, target pertumbuhan dipatok di level 5,1%. Tak puas sampai di situ, pemerintah seolah menyombongkan diri dengan menaikkan target menjadi 5,2% dalam APBNP 2017. Padahal, biasanya target justru diturunkan dari yang dicanangkan di APBN. Kenyataannya, realisasi pertumbuhan ekonomi hanyalah 5,07%.
Celakanya, untuk tahun ini perekonomian justru bisa lebih merana lagi. Dalam APBN 2019, pertumbuhan ekonomi dipatok di level 5,3%. Namun, sekuritas-sekuritas besar berbendera asing justru memproyeksikan bahwa perekonomian Indonesia akan tumbuh di bawah 5%. Ya, di bawah 5% seperti pada tahun 2015 silam.
Melansir konsensus yang dihimpun oleh Bloomberg, JPMorgan Chase dan Goldman Sachs Group memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh 4,9% pada tahun ini, sementara Deutsche Bank menaruh proyeksinya di level 4,8%.
Lantas, menjadi jelas bahwa insentif fiskal yang bisa menstimulasi dunia usaha perlu ditebar. Sebagai informasi, foreign direct investment (FDI) atau penanaman modal asing (PMA) tercatat ambruk hingga 8,8% pada tahun 2018, dari yang sebelumnya melejit nyaris 10% pada tahun 2017. Pada kuartal I-2019, FDI kembali jatuh sebesar 0,92% secara tahunan, jauh memburuk dibandingkan capaian periode kuartal I-2018 yakni pertumbuhan sebesar 12,27%.
Opsi yang tampak paling oke untuk kondisi saat ini adalah pemangkasan tarif pajak penghasilan (PPh) korporasi. Sejatinya, wacana pemangkasan tarif PPh korporasi sudah begitu lama dilontarkan sendiri oleh pemerintah, bahkan sejak awal-awal pemerintahan Jokowi. Rencananya, tarif PPh korporasi Indonesia yang berada di level 25% akan dipangkas menjadi 18% supaya kompetitif dengan Singapura. Namun, hingga kini realisasinya nol besar.
Memang, jika dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan Asia, ada yang tarif PPh korporasinya lebih rendah.
Jika disandingkan dengan dunia usaha yang saat ini sedang lesu, tentu pemerintah, dalam hal ini termasuk juga Kementerian Keuangan, perlu mencari solusinya. Kalau bisa, jangan hanya ke 20%, pangkaslah tarif PPh korporasi sebanyak mungkin supaya Indonesia dipadang ‘seksi’ oleh investor.
Apalagi, selama ini insentif fiskal yang diberikan pemerintah berupa tax holiday dan tax allowance bisa dibilang ‘kentang’, hampir tak ada dampaknya sama sekali.
Untuk periode 2017, Menteri Keuangan Sri Mulyani bahkan menyatakan bahwa tak ada satupun perusahaan yang mengajukan diri untuk mendapatkan tax allowance dan tax holiday. Kok bisa? Rupanya, persyaratannya terlalu sulit dipenuhi. Pemerintah seakan tak tulus memberikan insentif bagi pengusaha.
Kalangan pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) pernah menyatakan bahwa untuk mendapatkan insentif pajak di Indonesia, seperti tax holiday, tidaklah mudah. Selain terbatas di sektor industri tertentu, batas minimal nilai investasi yang harus dikucurkan juga sangat besar, yakni Rp 1 triliun.
Memang, batas minimal investasi bisa diturunkan hingga menjadi Rp 500 miliar. Namun, investor harus memperkenalkan teknologi tingkat tinggi dan insentif yang bisa diberikan hanyalah pengurangan PPh paling banyak 50% saja. Hal ini memicu minimnya partisipasi pelaku usaha.
Kini, Jokowi diketahui telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) nomor 45 Tahun 2019. Ini merupakan aturan 'Super Deductible Tax' atau pengurangan pajak di atas 100%.
PP Ini merupakan perubahan atas peraturan pemerintah nomor 94 tahun 2019 tentang penghitungan penghasilan kena pajak dan pelunasan pajak penghasilan.
Poin baru dalam aturan ini adalah fasilitas pembebasan atau pengurangan pajak penghasilan badan dan fasilitas pengurangan penghasilan neto dalam rangka penanaman modal serta pengurangan penghasilan bruto dalam rangka kegiatan tertentu,demikiandikutipCNBC Indonesia dari PP Nomor 45 Tahun 2019, Selasa (9/7/2019).
Kalau dipikir lebih jauh, tentu pemangkasan tarif PPh korporasi bukan tanpa risiko. Penerimaan negara (yang saat ini saja sudah sulit mencapai target) bisa dibuat turun karenanya.
Sejatinya, Sri Mulyani dan koleganya di Kementerian Keuangan tak perlu takut jika hal tersebut terjadi. Pasalnya, ruang fiskal masih sangat lebar. Jika berbicara mengenai utang, satu hal yang sering disebutkan oleh Sri Mulyani adalah rasio utang pemerintah terhadap PDB yang masih rendah.
Hal ini memang benar. Bahkan jika dibandingkan negara-negara Asia lainnya, rasio utang pemerintah Indonesia terhadap PDB merupakan yang terendah.
Lantas, sudah waktunya pemerintah memaksimalkan ruang fiskal yang ada.
Kalau yang dipermasalahkan adalah peringkat surat utang, dengan rasio utang terhadap PDB yang jauh lebih tinggi dari Indonesia saja, toh peringkat surat utang Malaysia nyatanya berada dua level di atas Indonesia (S&P).
Jadi, itulah PR seorang Sri Mulyani jika benar dirinya kembali diberi mandat untuk mengarsiteki keuangan negara. Segeralah eksekusi rencana untuk memajaki para pelaku usaha digital. Bukan hanya semata untuk menaikkan penerimaan pajak, namun juga demi asas keadilan.
Kemudian, pangkaslah tingkat pajak korporasi guna menstimulasi dunia usaha. Bukan hanya menjadi 20%, namun serendah mungkin. Selain itu, seriuslah kala menebar insentif fiskal lainnya seperti tax allowance dan tax holiday. Jangan sampai insentif yang sudah begitu digembar-gemborkan ternyata ‘kentang’.
Good luck bu!
TIM RISET CNBC INDONESIA (ank/dru)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular