RAPOR 5 TAHUN KABINET JOKOWI

Ibu Sri Mulyani, Ini PR Anda Jika Jadi Menteri Keuangan Lagi

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
11 July 2019 15:56
Ibu Sri Mulyani, Ini PR Anda Jika Jadi Menteri Keuangan Lagi
Foto: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (CNBC Indonesia/Chandra Gian Asmara)
Jakarta, CNBC Indonesia - Joko Widodo (Jokowi) dipastikan melenggang ke periode keduanya sebagai presiden pasca Mahkamah Konstitusi (MK) belum lama ini memutuskan untuk menolak segala tuntutan pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno terkait dengan hasil pemilihan presiden (Pilpres) edisi 2019.

Kini, spekulasi mengenai kocok ulang (reshuffle) komposisi kabinet sudah menyeruak. Bahkan, ada sebuah pesan berantai yang beredar di aplikasi pesan instan (instant messenger) milik para pelaku pasar yang berisikan komposisi lengkap kabinet Jokowi-Ma'ruf Amin untuk periode 2019-2024.

Nah, salah satu nama yang disebut-sebut aman adalah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Dirinya disebut-sebut masih akan diberi mandat untuk menjadi pengelola kas negara untuk lima tahun ke depan.

Sekedar mengingatkan, sebelum menjabat sebagai menteri keuangan di kabinet Jokowi, Sri Mulyani sempat juga menjabat sebagai menteri keuangan pada era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (periode satu).

Sejauh ini, kepemimpinan Sri Mulyani dalam periode keduanya sebagai menteri keuangan terbilang kurang oke. Ada kekurangan-kekurangan yang bisa didapati dari kepemimpinan menteri keuangan terbaik dunia tahun 2019 versi The Banker tersebut.


Seandainya benar terpilih lagi, kira-kira apa kebijakan yang harus diambil Sri Mulyani?

Tim Riset CNBC Indonesia akan menjabarkannya dalam artikel ini.

Kalau berbicara mengenai Kementerian Keuangan, rasanya yang paling pertama harus dibahas adalah penerimaan negara. Ya, salah satu fungsi utama Kementerian Keuangan adalah mengumpulkan penerimaan, baik yang berupa pajak maupun non-pajak, untuk kemudian disalurkan seefektif mungkin guna menyejahterakan masyarakat Indonesia.

Sri Mulyani kembali ke Indonesia sebagai menteri keuangan pada Juli 2016 sehingga tidak fair jika menilai kinerjanya berdasarkan realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) periode 2016, lantaran dirinya baru menjabat selepas tengah tahun. Oleh karena itu, kinerja Sri Mulyani akan dievaluasi menggunakan data realisasi APBN/APBNP tahun 2017 dan 2018.

Pada tahun 2015 dan 2016 kala posisi menteri keuangan ditempati oleh Bambang Brodjonegoro, realisasi penerimaan negara tercatat masing-masing sebesar 85,6% dan 87,1% dari target. Sementara itu, realisasi belanja negara adalah masing-masing sebesar 91,1% dan 89,5% dari target.

Beralih ke era Sri Mulyani, pada tahun 2017 dan 2018 realisasi penerimaan negara tercatat melonjak menjadi masing-masing sebesar 96% dan 102,6% dari target. Sementara itu, realisasi belanja negara juga melonjak menjadi masing-masing sebesar 94,1% dan 99,7% dari target.


Sekilas, terlihat bahwa Sri Mulyani begitu capable dalam mendongkrak penerimaan negara bukan? Namun kalau diamati lebih jauh, terlihat jelas bahwa ada faktor keberuntungan yang menaungi kembalinya Sri Mulyani ke Indonesia.

Di era Sri Mulyani, penerimaan negara terdongkrak naik seiring dengan derasnya Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Sebagai informasi, pos PNBP didominasi oleh bagi hasil yang didapatkan pemerintah dari pengelolaan sumber daya alam yang dilakukan oleh badan usaha. Pada tahun 2018, realisasi PNBP bahkan mencapai 148,6% dari target.


Wajar jika realisasi PNBP meningkat deras di era Sri Mulyani. Pasalnya, harga komoditas andalan Indonesia yakni minyak mentah dan batu bara melesat di periode keduanya sebagai Menteri Keuangan.


Berdasarkan perhitungan kami, jika PNBP pada tahun 2017 dan 2018 diasumsikan hanya 100% dari target, maka realisasi penerimaan negara secara keseluruhan akan turun menjadi masing-masing sebesar 93% dan 95,5% dari target. Tak ada lagi ceritanya penerimaan negara melampaui 100% dari target seperti yang terjadi pada tahun 2018.

Lantas, Sri Mulyani tak boleh kelewat berbangga. Dirinya diuntungkan oleh melesatnya harga komoditas. Menteri keuangan terbaik dunia itu harus memutar otak untuk mendongkrak penerimaan pajak supaya kala harga komoditas jatuh, penerimaan negara secara keseluruhan tetap aman. Nah di sini, pemerintah jelas punya pekerjaan rumah yang tak ringan yakni meningkatkan rasio penerimaan pajak terhadap PDB.

Rasio penerimaan pajak terhadap PDB atau yang biasa dikenal dengan tax ratio memang merosot sejak tahun 2015. Tax ratio pernah tembus 13,7% yakni pada tahun 2014, namun kemudian terus menurun dalam kurun waktu 3 tahun berikutnya.

Pada tahun 2015, tax ratio Indonesia anjlok ke angka 11,6% sebelum kemudian kembali turun menjadi 10,8% pada tahun 2016. Pada tahun 2017, tax ratio kembali turun ke angka 10,7%. Pada tahun 2018, tax ratio tercatat berada di level 11,5%.

Jika dibandingkan dengan capaian negara-negara lain di kawasan regional maupun global, tax ratio Indonesia terbilang rendah. Hal ini bahkan diakui sendiri oleh Sri Mulyani.

"Tax ratio kita sekitar 11,5%, meningkat signifikan dibanding sebelumnya yang mana di bawah 11%, tapi ini tetap di bawah standar regional, serta standar global," kata Sri Mulyani pada Februari lalu dalam acara IndoGAS 2019 di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, dikutip dari detik finance.

Angka itu pun sejatinya merupakan tax ratio dalam arti luas. Jika dihitung dalam artian sempit (hanya memasukkan penerimaan yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak/DJP), tax ratio pada tahun 2018 hanya menyentuh level 10,3%.

(LANJUT HALAMAN BERIKUTNYA)




Salah satu usaha yang bisa digalakkan oleh Sri Mulyani adalah memajaki pelaku usaha digital. Seperti yang diketahui, pola konsumsi masyarakat Indonesia dalam beberapa tahun terakhir mengalami perubahan yang signifikan. Toko-toko konvensional mulai ditinggalkan dan kegiatan jual-beli beralih menggunakan platform digital.

Mulai dari pakaian, perangkat telekomunikasi, hingga Fast-Moving Consumer Goods (FMCG) semua bisa diperoleh dengan mudah dengan beberapa kali sentuhan di perangkat smartphone.

Namun sejauh ini, pemerintah belum berani memajaki pelaku usaha digital. Sejatinya, Sri Mulyani sempat mengarahkan supaya pelaku usaha digital dipajaki dengan meneken PMK-210/PMK.010/2018 mengenai Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik (e-Commerce) yang ditetapkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 31 Desember 2018 lalu.

Namun kacaunya, kebijakan itu ditarik hanya beberapa hari menjelang penerapan.

"Saya ingin sampaikan pengumuman pada media, pertama selama ini banyak yang memberitakan soal PMK 210 seolah-olah pemerintah buat pajak baru," kata Sri Mulyani di Kantor Pajak Tebet, Jumat (29/3/2019).

"Begitu banyak simpang siur. Kami sudah koordinasi dengan Kementerian/Lembaga dan banyak yang collect info dari perusahaan marketplace. Dengan simpang siur kami anggap perlu sosialisasi lebih lagi pada seluruh stakeholder, masyarakat, perusahaan, memahami seluruhnya."

"Saya memutuskan menarik PMK 210/2018. Itu kita tarik dengan demikian yang simpang siur tanggal 1 April ada pajak e-commerce itu nggak benar, kami putuskan tarik PMK-nya," kata Sri Mulyani.

Padahal, sudah waktunya pemerintah bersikap tegas terhadap pelaku usaha digital. Kalau berbicara mengenai asas keadilan, sikap pemerintah saat ini sangatlah tidak fair terhadap pelaku usaha konvensional yang bisnisnya direnggut oleh maraknya kehadiran marketplace di tanah air.

Kalau hal ini terus dibiarkan, bukan tak mungkin kepatuhan wajib pajak di Indonesia akan menjadi semakin rendah lantaran ada rasa cemburu melihat perlakuan pemerintah terhadap pelaku usaha digital.

Perkembangan terbaru, Sri Mulyani yang sempat mundur kini kembali menebar wacana untuk memajaki pelaku usaha digital. Pada hari Senin (8/7/2019), Sri Mulyani meresmikan dua Direktorat di bawah Ditektorat Jenderal Pajak. Keduanya adalah Direktorat Data Informasi Perpajakan serta Direktorat Teknologi Informasi dan Komunikasi yang masing-masing akan dipimpin oleh seorang Direktur.

"Saya harap bawa dua direktorat baru ini yang akan menjadi kunci di dalam menentukan kemampuan kita untuk melihat, menganalisa, mencari data, mengolahnya," ujar Sri Mulyani di Gedung Ditjen Pajak Pusat, Senin (8/07/2019).

Sri Mulyani menjelaskan kedua Direktorat ini nantinya akan difokuskan untuk perpajakan di industri digital. Nantinya, keduanya akan menghimpun data langsung dari para pelaku ekonomi digital.

Semoga Sri Mulyani kali ini bisa mantap memajaki pelaku usaha digital. Sebabnya ya itu tadi, penerimaan pajak perlu ditingkatkan supaya penerimaan negara secara keseluruhan bisa relatif aman kala harga komoditas jatuh (yang akan membuat PNBP rendah). Selain itu, asas keadilan perlu ditegakkan supaya tak ada kecemburuan dari wajib pajak yang selama ini sudah rajin melakukan kewajibannya. Lebih lanjut, PR Sri Mulyani yang kedua adalah terkait dengan insentif pajak. Asal tahu saja, perekonomian Indonesia saat ini sedang loyo. Pada tahun 2015, dalam APBNP ditargetkan bahwa pertumbuhan ekonomi adalah sebesar 5,7%. Kenyataannya, perekonomian hanya tumbuh sebesar 4,79%, dilansir dari data yang disajikan Refinitiv.

Pada tahun 2016, APBNP menyebut bahwa target pertumbuhan ekonomi berada di level 5,2%. Namun, realisasinya ternyata hanya sebesar 5,02%.

Kini mari beralih ke tahun 2017 dan 2018 untuk mengukur performa Sri Mulyani. Dalam APBN 2017, target pertumbuhan dipatok di level 5,1%. Tak puas sampai di situ, pemerintah seolah menyombongkan diri dengan menaikkan target menjadi 5,2% dalam APBNP 2017. Padahal, biasanya target justru diturunkan dari yang dicanangkan di APBN. Kenyataannya, realisasi pertumbuhan ekonomi hanyalah 5,07%.

Untuk tahun 2018, pemerintah tidak mengajukan APBNP ke Dewan Pewakilan Rakyat (DPR). Dalam APBN 2018, pertumbuhan ekonomi dipatok di level 5,4% dan yang terealisasi hanyalah 5,17%.

Celakanya, untuk tahun ini perekonomian justru bisa lebih merana lagi. Dalam APBN 2019, pertumbuhan ekonomi dipatok di level 5,3%. Namun, sekuritas-sekuritas besar berbendera asing justru memproyeksikan bahwa perekonomian Indonesia akan tumbuh di bawah 5%. Ya, di bawah 5% seperti pada tahun 2015 silam.

Melansir konsensus yang dihimpun oleh Bloomberg, JPMorgan Chase dan Goldman Sachs Group memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh 4,9% pada tahun ini, sementara Deutsche Bank menaruh proyeksinya di level 4,8%.

Lantas, menjadi jelas bahwa insentif fiskal yang bisa menstimulasi dunia usaha perlu ditebar. Sebagai informasi, foreign direct investment (FDI) atau penanaman modal asing (PMA) tercatat ambruk hingga 8,8% pada tahun 2018, dari yang sebelumnya melejit nyaris 10% pada tahun 2017. Pada kuartal I-2019, FDI kembali jatuh sebesar 0,92% secara tahunan, jauh memburuk dibandingkan capaian periode kuartal I-2018 yakni pertumbuhan sebesar 12,27%.

Opsi yang tampak paling oke untuk kondisi saat ini adalah pemangkasan tarif pajak penghasilan (PPh) korporasi. Sejatinya, wacana pemangkasan tarif PPh korporasi sudah begitu lama dilontarkan sendiri oleh pemerintah, bahkan sejak awal-awal pemerintahan Jokowi. Rencananya, tarif PPh korporasi Indonesia yang berada di level 25% akan dipangkas menjadi 18% supaya kompetitif dengan Singapura. Namun, hingga kini realisasinya nol besar.

Memang, jika dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan Asia, ada yang tarif PPh korporasinya lebih rendah.

 
Jika disandingkan dengan dunia usaha yang saat ini sedang lesu, tentu pemerintah, dalam hal ini termasuk juga Kementerian Keuangan, perlu mencari solusinya. Kalau bisa, jangan hanya ke 20%, pangkaslah tarif PPh korporasi sebanyak mungkin supaya Indonesia dipadang ‘seksi’ oleh investor.

Apalagi, selama ini insentif fiskal yang diberikan pemerintah berupa tax holiday dan tax allowance bisa dibilang ‘kentang’, hampir tak ada dampaknya sama sekali.

Untuk periode 2017, Menteri Keuangan Sri Mulyani bahkan menyatakan bahwa tak ada satupun perusahaan yang mengajukan diri untuk mendapatkan tax allowance dan tax holiday. Kok bisa? Rupanya, persyaratannya terlalu sulit dipenuhi. Pemerintah seakan tak tulus memberikan insentif bagi pengusaha.

Kalangan pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) pernah menyatakan bahwa untuk mendapatkan insentif pajak di Indonesia, seperti tax holiday, tidaklah mudah. Selain terbatas di sektor industri tertentu, batas minimal nilai investasi yang harus dikucurkan juga sangat besar, yakni Rp 1 triliun.

Memang, batas minimal investasi bisa diturunkan hingga menjadi Rp 500 miliar. Namun, investor harus memperkenalkan teknologi tingkat tinggi dan insentif yang bisa diberikan hanyalah pengurangan PPh paling banyak 50% saja. Hal ini memicu minimnya partisipasi pelaku usaha.

Kini, Jokowi diketahui telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) nomor 45 Tahun 2019. Ini merupakan aturan 'Super Deductible Tax' atau pengurangan pajak di atas 100%.

PP Ini merupakan perubahan atas peraturan pemerintah nomor 94 tahun 2019 tentang penghitungan penghasilan kena pajak dan pelunasan pajak penghasilan.

Poin baru dalam aturan ini adalah fasilitas pembebasan atau pengurangan pajak penghasilan badan dan fasilitas pengurangan penghasilan neto dalam rangka penanaman modal serta pengurangan penghasilan bruto dalam rangka kegiatan tertentu,demikiandikutipCNBC Indonesia dari PP Nomor 45 Tahun 2019, Selasa (9/7/2019).
Namun, kalau peraturan turunan dari PP yang diteken Jokowi itu masih saja ‘kentang’, ya hasilnya sama saja. Perekonomian tetap akan lemah-letih-lesu, tak ada gairahnya.

Kalau dipikir lebih jauh, tentu pemangkasan tarif PPh korporasi bukan tanpa risiko. Penerimaan negara (yang saat ini saja sudah sulit mencapai target) bisa dibuat turun karenanya.

Sejatinya, Sri Mulyani dan koleganya di Kementerian Keuangan tak perlu takut jika hal tersebut terjadi. Pasalnya, ruang fiskal masih sangat lebar. Jika berbicara mengenai utang, satu hal yang sering disebutkan oleh Sri Mulyani adalah rasio utang pemerintah terhadap PDB yang masih rendah.

Hal ini memang benar. Bahkan jika dibandingkan negara-negara Asia lainnya, rasio utang pemerintah Indonesia terhadap PDB merupakan yang terendah.

 
Lantas, sudah waktunya pemerintah memaksimalkan ruang fiskal yang ada.

Kalau yang dipermasalahkan adalah peringkat surat utang, dengan rasio utang terhadap PDB yang jauh lebih tinggi dari Indonesia saja, toh peringkat surat utang Malaysia nyatanya berada dua level di atas Indonesia (S&P).

Jadi, itulah PR seorang Sri Mulyani jika benar dirinya kembali diberi mandat untuk mengarsiteki keuangan negara. Segeralah eksekusi rencana untuk memajaki para pelaku usaha digital. Bukan hanya semata untuk menaikkan penerimaan pajak, namun juga demi asas keadilan.

Kemudian, pangkaslah tingkat pajak korporasi guna menstimulasi dunia usaha. Bukan hanya menjadi 20%, namun serendah mungkin. Selain itu, seriuslah kala menebar insentif fiskal lainnya seperti tax allowance dan tax holiday. Jangan sampai insentif yang sudah begitu digembar-gemborkan ternyata ‘kentang’.

Good luck bu!

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular