Rapor 5 Tahun Kabinet Jokowi

Rapor Menteri Jonan: Listrik-BBM Oke, Waspada Subsidi Jebol!

Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
11 July 2019 08:12
Rapor Menteri Jonan: Listrik-BBM Oke, Waspada Subsidi Jebol!
Foto: Launching Bahan Bakar B 30 (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Sektor energi sering disebut sebagai tulang punggung perekonomian Indonesia.

Pasalnya, energi merupakan bahan bakar berbagai industri yang berkontribusi pada perekonomian. Tanpa adanya listrik, pabrik-pabrik tidak dapat beroperasi. Transportasi akan lumpuh dengan ketidakhadiran bahan bakar minyak.

Berbicara soal energi di Indonesia, pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memegang peranan yang sangat penting.

Bahkan Undang Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 33 dengan tegas mengatakan bahwa, "Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat."

Pada era kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi), pucuk pimpinan Kementerian ESDM sempat beberapa kali berpindah tangan.

Awalnya Jokowi memberi amanah kepada Sudirman Said, untuk menjabat sebagai Menteri ESDM. Namun pada Juli 2016, setelah hampir dua tahun menjabat, Jokowi memutuskan untuk mengoper jabatan Menteri ESDM pada Archandra Tahar.

Dua bulan berselang, tepatnya Agustus 2016, Jokowi menugaskan mantan Menteri Perhubungan, Ignasius Jonan, untuk menjadi Menteri ESDM. Artinya boleh dibilang, keberjalanan Kementerian ESDM di era Jokowi I lebih banyak dikomandoi oleh Jonan.

Mengingat Jokowi kembali terpilih sebagai presiden untuk periode 2019-2024, ada baiknya untuk melihat capaian kerja Kementerian ESDM dalam 5 tahun terakhir.

BERLANJUT KE HALAMAN 2>>>

Salah satu tugas utama dari Kementerian ESDM adalah menjamin peningkatan ketersediaan energi dan bahan baku di Indonesia.

Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) pemerintah telah menargetkan rasio elektrifikasi nasional sebesar 97,5% hingga akhir tahun 2019.

Sebagai informasi, pada awal masa jabatan Jokowi, rasio elektrifikasi nasional masih di level 84,35%. Sedangkan hingga Juni 2019 telah naik menjadi 98,81%. Artinya saat ini sudah hampir 100% masyarakat Indonesia yang bisa menikmati layanan listrik.

Hal itu tidak terlepas dari megaproyek pembangunan kapasitas listrik tambahan sebesar 35.000 Mega Watt (MW). Memang, per Juni 2019, baru 10% saja dari kapasitas tersebut yang sudah beroperasi.

Namun, 57% di antaranya sedang dalam masa konstruksi. Sementara secara total, sudah 93,83% yang sudah mendapat kontrak jual beli tenaga listrik (Power Purchasing Agreement/PPA)kepada Perusahaan Listrik Negara (PLN).

Soal ketersediaan listrik, Kementerian ESDM boleh dibilang berhasil, atau bahkan melampaui target yang dicanangkan sebelumnya.Kini, Kementerian ESDM tengah menargetkan rasio elektrifikasi sebesar 99% hingga akhir tahun 2019.



Selain soal listrik, Kementerian ESDM juga tercatat berhasil mengaplikasikan program BBM satu harga di wilayah nusantara. Sebagaimana yang telah diketahui, adanya program BBM satu harga membuat harga Premium di semua daerah rata Rp 6.450/liter, sementara Solar Rp 5.150/liter.

Sebelum adanya program tersebut, tercatat harga Premium di beberapa daerah seperti Nunukan, Kalimantan Utara dan Nduga, Papua mencapai lebih dari Rp 40.000/liter.

Adanya program tersebut terbukti bagus untuk menunjang kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat kemiskinan Indonesia per September 2018 sudah turun ke level 9,66% dari yang semula 11,22% di bulan Maret 2015.

Selain itu, rasio gini (gini ratio) yang mencerminkan ketimpangan antara si kaya dan si miskin per September 2018 telah turun menjadi tinggal 0,384. Sebelumnya gini ratio masih sebesar 0,402 pada Maret 2015.

Harga BBM memang punya pengaruh besar pada kemiskinan dan ketimpangan di Indonesia. Pasalnya harga bensin merupakan komoditas bukan makaan yang memiliki pengaruh terbesar kedua terhadap garis kemiskinan. Saat harga BBM dapat dijaga, tingkat kemiskinan akan terkendali.

Namun ke depan, kerja Kementerian ESDM bukan tanpa tantangan.

Salah satu yang terberat mungkin adalah produksi minyak dan gas (migas) nasional yang lesu. Setidaknya dalam tiga tahun terakhir, produksi migas Indonesia selalu berkurang dari tahun ke tahun. Hal itu disebabkan kondisi sumur-sumur migas yang bisa dibilang sudah tua.

Bahkan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) memproyeksi penurunan produksi akan terus terjadi hingga tahun 2050 apabila tidak ditemukan cadangan migas baru yang cukup besar.

Bahayanya, konsumsi BBM masyarakat tidak bisa ikut turun. Artinya ada risiko terjadi peningkatan impor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Terlebih, saat ini harga minyak mentah dunia sedang tinggi. Tercatat rata-rata harga Brent sepanjang semester I-2019 mencapai US$ 66,09/barel.

Memang masih lebih rendah dibanding rata-rata sepanjang tahun 2018 sebesar US$ 71,67/barel. Akan tetapi beberapa analis memprediksi harga minyak akan berada di kisaran US$ 60-70/barel tahun 2019.

Harga itu jauh lebih tinggi dibanding tahun 2016 yang hanya US$ 54,76/barel.

Jika terus mempertahankan subsidi energi untuk mempertahankan harga pada level yang sama, ada kemungkinan beban subsidi pemerintah membengkak. Hal itu juga sudah terjadi pada tahun 2018, dimana realisasi subsidi energi melonjak hingga 162% dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Untuk itu, pemerintah perlu untuk mendorong solusi alternatif demi menjaga ketersediaan energi dalam negeri, tanpa membebani anggaran terlalu banyak. Salah satu contohnya adalah percepatan aplikasi program B30 atau bahkan B100.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular