Disinggung Jokowi, Apakah Wajar RI Alami Defisit Migas?

Anastasia Arvirianty, CNBC Indonesia
10 July 2019 08:25
Persoalan impor migas dan defisit neraca migas kembali mencuat.
Foto: ist
Jakarta, CNBC Indonesia - Persoalan impor migas dan defisit neraca migas kembali mencuat. Ini setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) lagi-lagi menyinggung soal impor migas yang masih tinggi.

Kinerja perdagangan sektor migas sebenarnya sudah mulai membaik, terbantu oleh kebijakan pemerintah yang memberi mandat kepada Pertamina untuk membeli minyak jatah ekspor hasil produksi Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang sebelumnya dijual ke luar negeri. Hanya saja, hal ini juga membuat ekspor migas mengalami penurunan.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada periode Mei 2019, ekspor minyak mentah RI tercatat sebesar US$ 167,9 juta, turun 5,48% (mtm) dan turun 69,63% (yoy). Sementara ekspor hasil minyak US$ 55,8 juta atau turun 52,57% (mtm) dan turun 73,64% (mtm).

Disinggung Jokowi, Apakah Wajar RI Alami Defisit Migas?Foto: Infografis/ PaK Jokowi, januari-mei 2019 impor migas turun/Aristya Rahadian Krisabella


Adapun, PT Pertamina (Persero) mencatat hingga Juni 2019 telah membeli 116,9 ribu barel per hari minyak mentah atau crude. Angka ini naik signifikan sejak diinstruksikan pada 2018 lalu, yang awal-awalnya bisa menyerap 12,8 ribu barel sehari.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan menilai, seharusnya, ekspor yang diandalkan adalah ekspor manufaktur yang mengonsumsi gas alam serta listrik. Sektor inilah yang mestinya berperan lebih besar ketimbang migas,

Sebab, jika negara harus ekspor migas atau sumber daya alam yang dimiliki maka kebutuhan bahan bakar dalam negeri yang akan dikorbankan.

"Jika gas alam diekspor, industri dan listrik di dalam negeri mau pakai energi apa lagi saat ini?," pungkasnya.



Di sisi lain, pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi menyebutkan, defisit migas adalah hal yang lumrah terjadi bahkan di negara-negara maju seperti Jepang, Korea Selatan, juga di beberapa negara penghasil minyak.

Alasannya, karena negara tersebut memang minim sumber daya alam dan memperlakukan migas sebagai energi pendorong pembangunan, bukan sebagai devisa. Itulah, kata Fahmy, yang kini dilakukan oleh RI.

"Defisitnya neraca migas itu sesungguhnya merupakan konsekuensi untuk menjadikan komoditi migas sebagai pendorong pembangunan, bukan penghasil devisa untuk APBN."




Namun, bukan berarti defisit migas RI bisa diabaikan begitu saja. 


Menurut pengamat migas dan pendiri Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto, kekhawatiran Presiden dalam hal ini benar dan sangat mendasar.

Meskipun katakanlah ada data penurunan impor migas, secara fundamental belum tentu menandakan bahwa sudah ada perbaikan mendasar di dalam masalah defisit neraca migas. 


"Bisa saja hanya karena penjadwalan impor di periode tertentu," ujar Pri Agung kepada CNBC Indonesia saat dihubungi Selasa (9/7/2019).


"Permasalahan mendasar di sektor hulu migas ini yang mestinya ditangani secara struktural, fundamental dan serius oleh pemerintah. Sudah lama kan itu, sejak 2004 sudah nett importir minyak. Sejak 2011 kita sudah selalu negatif juga kok dalam neraca perdagangan migas. Hanya tidak diatasi sungguh-sungguh ya makin lama akan makin besar pasti," lanjutnya.

(miq/miq) Next Article Jokowi Sindir Menteri Soal Defisit Migas, Begini Faktanya

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular