
Analisis
Lain Dulu Lain Sekarang, BI Kini 'Behind The Curve'?
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
10 July 2019 07:39

Jakarta, CNBC Indonesia - Ahead the curve, jargon ini lah yang acap kali disebutkan Perry Warjiyo semenjak mengambil alih kepemimpinan Bank Indonesia (BI) dari Agus Martowardojo.
Dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) pertamanya sebagai BI-1 pada pertengahan Mei 2018, Perry memutuskan untuk mengerek naik tingkat suku bunga acuan alias BI 7-day Reverse Repo Rate sebesar 25 bps, dari 4,25% menjadi 4,5%.
Kemudian secara mengejutkan, Perry memutuskan untuk menggelar RDG insidentil pada akhir Mei 2018. Hasilnya, tingkat suku bunga acuan kembali dikerek naik sebesar 25 bps menjadi 4,75%.
Dalam konferensi persnya, Perry menyampaikan empat langkah kebijakan moneter BI terbaru yang akan diadopsi di masa kepemimpinannya.
"Kebijakan suku bunga acuan akan ditempuh pre-emptif dan ahead the curve untuk stabilisasi nilai tukar di samping konsisten jaga inflasi agar terkendali,' papar Perry kala menjelaskan satu dari empat poin kebijakan moneter BI versi terbaru.
Jargon ahead the curve yang dimaksud Perry mengacu kepada sikap hawkish yang diterapkannya dalam merespons normalisasi tingkat suku bunga acuan yang dilakukan oleh The Federal Reserve (The Fed) selaku bank sentral AS.
Maklum, terhitung sejak Perry menduduki posisi BI-1 pada pertengahan Mei 2018, bank sentral Negeri Paman Sam sudah memberi sinyal yang kuat bahwa tingkat suku bunga acuan akan dikerek naik dalam pertemuan-pertemuan mendatang.
Pada Juni 2018, The Fed tercatat menaikkan federal funds rate (FFR) ke rentang 1,75%-2%, dari yang sebelumnya 1,5%-1,75%. Inilah yang disebut ahead the curve, di mana BI mengerek naik tingkat suku bunga acuan sebelum The Fed melakukan hal serupa.
Sepanjang tahun 2018, The Fed tercatat mengerek naik tingkat suku bunga acuan sebanyak empat kali dengan total 100 bps. Sementara itu, BI mengerek naik tingkat suku bunga acuan sebanyak total 175 bps.
Kala itu, Perry dihadapkan pada dua pilihan yang sangat sulit yakni stabilitas atau pertumbuhan. Pasalnya, dalam kondisi saat itu, hampir tak mungkin bank sentral memilih keduanya. Perry pun akhirnya menjatuhkan pilihannya kepada stabilitas melalui jargon ahead the curve.
Stabilitas yang dimaksud di sini tak lain adalah stabilitas nilai tukar rupiah. Maklum, kala The Fed mengerek naik tingkat suku bunga acuan di sana, tingkat suku bunga deposito juga akan terkerek naik sehingga daya tariknya bertambah. Belum lagi, naiknya tingkat suku bunga acuan secara teori akan membuat imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS terkerek naik yang lagi-lagi akan membuat investor tergiur untuk menanamkan dananya di instrumen tersebut.
Di Indonesia, fundamental rupiah terbilang bermasalah lantaran defisit transaksi berjalan/current account deficit (CAD) yang begitu dalam.
Pada saat Perry menempati posisi BI-1 (pertengahan Mei 2018), data CAD teranyar kala itu adalah untuk periode kuartal I-2018. Pada tiga bulan pertama tahun 2018, BI mencatat bahwa CAD adalah senilai US$ 5,19 miliar atau 2,01% dari Produk Domestik Bruto (PDB), jauh lebih dalam ketimbang defisit kuartal I-2017 yang sebesar 0,84% PDB saja.
Jika berbicara mengenai rupiah, pos transaksi berjalan merupakan hal yang sangat penting lantaran menggambarkan pasokan devisa yang tidak mudah berubah (dari aktivitas ekspor-impor barang dan jasa). Hal ini berbeda dengan pos transaksi finansial (yang merupakan komponen pembentuk Neraca Pembayaran Indonesia/NPI lainnya) yang bisa cepat berubah karena datang dari aliran modal portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money.
Bengkaknya CAD pada awal tahun pun pada akhirnya merembet hingga akhir tahun. Untuk keseluruhan tahun 2018, CAD Indonesia tercatat sebesar 2,98% PDB. CAD Indonesia jauh lebih dalam jika dibandingkan dengan negara-negara tetangganya. Bahkan, Thailand & Malaysia justru bisa membukukan surplus transaksi berjalan.
Sikap hawkish BI membuahkan hasil. Memang, sepanjang tahun 2018 rupiah justru terdepresiasi sebesar 5,97% melawan dolar AS di pasar spot, dari Rp 13.565/dolar AS menjadi Rp 14.375/dolar AS.
Namun kalau BI tak bersikap hawkish dan ahead the curve, bisa dipastikan depresiasi rupiah akan semakin parah. Pasalnya, tekanan bagi mata uang Garuda kala itu tak hanya bersumber dari normalisasi suku bunga acuan AS, namun juga dari panasnya bara perang dagang antara AS dengan China, dua negara dengan nilai perekonomian terbesar di planet bumi.
Tapi ya itu, ada harga yang harus dibayar BI kala mengedepankan kestabilan, yakni pertumbuhan ekonomi menjadi kurang maksimal. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2018, target pertumbuhan ekonomi dipatok di level 5,4%. Namun, realisasinya hanyalah 5,17%.
Tahun ini, perekonomian justru bisa lebih merana lagi. Dalam APBN 2019, pertumbuhan ekonomi dipatok di level 5,3%. Namun, sekuritas-sekuritas besar berbendera asing justru memproyeksikan bahwa perekonomian Indonesia akan tumbuh di bawah 5%. Ya, di bawah 5%.
Sebagai informasi, pertumbuhan ekonomi periode kuartal-I 2019 diumumkan di level 5,07% secara tahunan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), jauh lebih rendah dibandingkan konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia sebesar 5,19% YoY.
HALAMAN SELANJUTNYA >>>> 'Waktunya Putar Haluan?'
Kini, sejatinya sudah waktunya BI putar haluan dari yang tadinya hawkish menjadi dovish. Apalagi kalau mengingat jargon ahead the curve yang sudah acap kali dikatakan Perry. Seharusnya, jargon ahead the curve berlaku juga untuk melonggarkan tingkat suku bunga acuan. Kini, yang ada BI malah behind the curve.
Ya, BI bisa dibilang behind the curve lantaran The Fed sudah hampir pasti memangkas tingkat suku bunga acuan pada pertemuan bulan ini. Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak fed fund futures per 9 Juli 2019, probabilitas bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps pada pertemuan bulan ini berada di level 94,1%, sementara peluang suku bunga acuan diturunkan hingga 50 bps berada di level 5,9%. Pelaku pasar tak lagi melihat ada ruang bagi The Fed untuk mempertahankan tingkat suku bunga acuannya, pokoknya harus dipangkas.
Laju perekonomian yang relatif lesu dan rendahnya tekanan inflasi menjadi faktor yang membuat pelaku pasar yakin bahwa normalisasi akan dieksekusi pada bulan ini.
Bank sentral negara-negara lain pun sudah ‘colong start’ dengan mengeksekusi pemangkasan terlebih dulu. Malaysia misalnya, pada bulan Mei Bank Negara Malaysia (BNM) memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps ke level 3%, menandai pemangkasan pertama sejak tahun 2016 silam.
Lalu, Reserve Bank of Australia (RBA) telah menurunkan tingkat suku bunga acuannya ke level terendah sepanjang sejarah. Pada Selasa (2/7/2019), RBA memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) ke level 1%. Langkah tersebut diambil guna mencegah Negeri Kanguru itu jatuh ke dalam jurang resesi.
Sementara itu, Reserve Bank of India (RBI) kembali memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps pada pertemuan bulan Juni, menandai pemangkasan ketiga di tahun ini. Langkah dovish itu diambil setelah data terbaru menunjukkan ekonomi negara itu mencatatkan pertumbuhan paling lambat dalam empat tahun terakhir.
Lebih lanjut, walaupun sejauh ini belum memangkas tingkat suku bunga acuan, People's Bank of China (PBOC) selaku bank sentral China dan Bank of Thailand's (BoT) selaku bank sentral Thailand sudah mengirim sinyal bahwa akan ada pemangkasan tingkat suku bunga acuan di masa depan.
Pada awal bulan lalu, Gubernur PBOC Yi Gang mengatakan bahwa ada ruang yang sangat besar untuk menyesuaikan kebijakan moneter jika perang dagang antara AS dengan China semakin memanas, seperti dilansir dari Bloomberg.
Sementara itu, sinyal pemangkasan tingkat suku bunga acuan oleh BoT datang beberapa waktu yang lalu kala salah satu pejabatnya mengatakan bahwa stance kebijakan bank sentral di masa depan akan bergantung kepada data-data ekonomi, dilansir dari Bangkok Post.
Beralih lagi ke BI, selepas mengumumkan bahwa BI 7-day Reverse Repo Rate ditahan di level 6% pada bulan pertemuan bulan Juni, Perry jelas terlihat masih galau untuk mengeksekusi normalisasi yang sudah disuarakan oleh berbagai pihak, mulai dari pelaku usaha, ekonom, hingga pejabat pemerintah seperti Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
“…sementara kebijakan suku bunga kami sampaikan kami cermati kondisi pasar global dan NPI dalam pertimbangkan (pemangkasan) suku bunga,” kata Perry di Gedung BI, Kamis (20/6/2019).
NEXT >> 'Likuiditas Kering?' Seperti yang sudah disebutkan di halaman sebelumnya, efek samping dari sikap BI yang kini justru behind the curve adalah laju perekonomian menjadi mandek.
Supaya perekonomian bisa bergeliat, tentu peran dari lembaga intermediasi keuangan yakni perbankan menjadi begitu penting. Sayang, likuiditas perbankan kini kering kerontang, nyaris tak ada lagi uang tersisa untuk disalurkan menjadi kredit.
Melansir publikasi Statistik Perbankan Indonesia (SPI) yang dirilis oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), rasio penyaluran kredit terhadap DPK atau loan to deposits ratio (LDR) bank umum konvensional berada di level 94,25% per April 2019, dari yang sebelumnya 90,43% pada April 2018.
Likuiditas ketat lantaran derasnya penyaluran kredit tak diimbangi oleh derasnya aliran dana pihak ketiga (DPK) yang masuk ke kas perbankan. Hingga April 2019, OJK mencatat bahwa penyaluran kredit bank umum konvensional kepada pihak ketiga non-bank adalah senilai Rp 5.098,8 triliun, naik 11,2% jika dibandingkan dengan posisi pada periode yang sama tahun sebelumnya. Pertumbuhan tersebut lebih baik ketimbang capaian pada April 2018 yakni pertumbuhan sebesar 9% saja (year-on-year/YoY).
Sementara itu, per April 2019, DPK bank umum konvensional tercatat senilai Rp 5.098,7 triliun, naik 6,6% jika dibandingkan dengan posisi pada periode yang sama tahun sebelumnya. Pertumbuhan tersebut lebih rendah ketimbang capaian pada April 2018 yakni pertumbuhan sebesar 7,9% YoY.
Perlu diketahui, terhitung semenjak BI bulan menginjak gas pengetatan pada Mei 2018 lalu, perbankan tanah air justru enggan menaikkan tingkat suku bunga kredit. Per April 2018, rata-rata tingkat suku bunga kredit yang diberikan bank umum konvensional untuk modal kerja dan konsumsi denominasi rupiah tercatat masing-masing sebesar 10,57% dan 12,4%. Per April 2019, nilainya turun menjadi masing-masing sebesar 10,53% dan 11,62%.
Sementara itu, rata-rata tingkat suku bunga kredit yang diberikan bank umum konvensional untuk investasi denominasi rupiah hanya naik tipis menjadi 10,31% pada April 2019, dari 10,3% pada April 2018.
Di level tingkat suku bunga kredit saat ini, terlihat jelas bahwa appetite untuk menarik pinjaman itu tinggi. Ini artinya, kalau likuiditas bisa diperbesar, penyaluran kredit bisa lebih deras lagi karena sebenarnya demand-nya ada.
Jika kita lihat pergerakan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah Indonesia, belakangan ini terjadi penurunan yang signifikan. Kalau BI bernyali untuk memangkas tingkat suku bunga acuan, yield bisa turun lebih dalam lagi dan memberi ruang bagi perbankan untuk memperbesar NIM (dengan cara menurunkan tingkat suku bunga deposito), namun di saat yang bersamaan tetap menjaga daya tarik depositonya.
Pada akhirnya, bank pun senang karena NIM membesar dan penyaluran kredit bisa dipacu lebih kencang lagi.
NEXT >> 'Menunggu Pemerintah' Namun, Perry dan koleganya di MH Thamrin tak bisa sepenuhnya disalahkan atas fenomena behind the curve yang saat ini terjadi. Pasalnya tanpa dukungan kebijakan fiskal, hot money yang masuk ketika tingkat suku bunga acuan dipangkas akan mudah dibawa kabur. Sebabnya ya itu tadi, fundamental rupiah bermasalah (CAD begitu dalam). Jika ini yang terjadi, maka dampak pemangkasan tingkat suku bunga acuan ke sektor riil akan menjadi minim.
Kini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) nomor 45 Tahun 2019. Ini merupakan aturan 'Super Deductible Tax' atau pengurangan pajak di atas 100%.
PP Ini merupakan perubahan atas peraturan pemerintah nomor 94 tahun 2019 tentang penghitungan penghasilan kena pajak dan pelunasan pajak penghasilan.
Poin baru dalam aturan ini adalah fasilitas pembebasan atau pengurangan pajak penghasilan badan dan fasilitas pengurangan penghasilan neto dalam rangka penanaman modal serta pengurangan penghasilan bruto dalam rangka kegiatan tertentu, demikian dikutip CNBC Indonesia dari PP Nomor 45 Tahun 2019, Selasa (9/7/2019).
Namun, pelaku pasar keuangan agaknya akan skeptis menyambut kebijakan tersebut. Pasalnya, sebelumnya persyaratan yang sulit dipenuhi sudah membuat kebijakan macam ini sangat minim peminat.
Untuk periode 2017, Sri Mulyani bahkan menyatakan bahwa tak ada satupun perusahaan yang mengajukan diri untuk mendapatkan tax allowance dan tax holiday. Kok bisa? Rupanya, persyaratannya terlalu sulit dipenuhi. Pemerintah seakan tak tulus memberikan insentif bagi pengusaha.
Kalangan pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) pernah menyatakan bahwa untuk mendapatkan insentif pajak di Indonesia, seperti tax holiday, tidaklah mudah. Selain terbatas di sektor industri tertentu, batas minimal nilai investasi yang harus dikucurkan juga sangat besar, yakni Rp 1 triliun.
Kalau peraturan turunan dari PP yang diteken Jokowi itu masih saja ‘kentang’, ya hasilnya sama saja, ruang BI untuk memangkas tingkat suku bunga acuan sangat-sangat sempit.
Sejatinya, insentif fiskal yang bisa diharapkan untuk mendongkrak laju perekonomian Indonesia adalah pemangkasan tarif pajak penghasilan (PPh) korporasi yang saat ini berada di level 25%. Saat ini, pemerintah diketahui tengah menggodok rencana pemangkasan tarif PPh korporasi menjadi sebesar 20%.
Namun celakanya, kebijakan tersebut dipastikan tak akan berlaku pada tahun ini. Direktur Jenderal Pajak Robert Pakpahan menyebutkan bahwa RUU KUP masih dalam pembahasan di DPR.
"Enggak berlaku tahun ini. Ini perlu UU dan tahun ini kan tinggal beberapa bulan lagi," ucap Robert.
Kalau berbicara mengenai behind the curve, memang benar BI itu sekarang behind the curve. Tapi, apakah sepenuhnya salah BI? Tentu tidak. Lambatnya gerak pemerintah dalam memberikan insentif fiskal menjadi faktor yang membatasi ruang gerak BI kala ingin melakukan pelonggaran.
Sebagai informasi, RDG BI pada bulan ini akan digelar pada tanggal 17 hingga 18. Menarik untuk menantikan sikap Perry dan kolega selepas menyelenggarakan pertemuan selama dua hari tersebut, apakah masih akan behind the curve atau akankah ada kejutan berupa pemangkasan tingkat suku bunga acuan?
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/dru) Next Article Suku Bunga Ditahan, BI Pakai Jurus Ini Bantu Ekonomi Pulih!
Dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) pertamanya sebagai BI-1 pada pertengahan Mei 2018, Perry memutuskan untuk mengerek naik tingkat suku bunga acuan alias BI 7-day Reverse Repo Rate sebesar 25 bps, dari 4,25% menjadi 4,5%.
Kemudian secara mengejutkan, Perry memutuskan untuk menggelar RDG insidentil pada akhir Mei 2018. Hasilnya, tingkat suku bunga acuan kembali dikerek naik sebesar 25 bps menjadi 4,75%.
![]() |
"Kebijakan suku bunga acuan akan ditempuh pre-emptif dan ahead the curve untuk stabilisasi nilai tukar di samping konsisten jaga inflasi agar terkendali,' papar Perry kala menjelaskan satu dari empat poin kebijakan moneter BI versi terbaru.
Jargon ahead the curve yang dimaksud Perry mengacu kepada sikap hawkish yang diterapkannya dalam merespons normalisasi tingkat suku bunga acuan yang dilakukan oleh The Federal Reserve (The Fed) selaku bank sentral AS.
Maklum, terhitung sejak Perry menduduki posisi BI-1 pada pertengahan Mei 2018, bank sentral Negeri Paman Sam sudah memberi sinyal yang kuat bahwa tingkat suku bunga acuan akan dikerek naik dalam pertemuan-pertemuan mendatang.
Pada Juni 2018, The Fed tercatat menaikkan federal funds rate (FFR) ke rentang 1,75%-2%, dari yang sebelumnya 1,5%-1,75%. Inilah yang disebut ahead the curve, di mana BI mengerek naik tingkat suku bunga acuan sebelum The Fed melakukan hal serupa.
Sepanjang tahun 2018, The Fed tercatat mengerek naik tingkat suku bunga acuan sebanyak empat kali dengan total 100 bps. Sementara itu, BI mengerek naik tingkat suku bunga acuan sebanyak total 175 bps.
Kala itu, Perry dihadapkan pada dua pilihan yang sangat sulit yakni stabilitas atau pertumbuhan. Pasalnya, dalam kondisi saat itu, hampir tak mungkin bank sentral memilih keduanya. Perry pun akhirnya menjatuhkan pilihannya kepada stabilitas melalui jargon ahead the curve.
Stabilitas yang dimaksud di sini tak lain adalah stabilitas nilai tukar rupiah. Maklum, kala The Fed mengerek naik tingkat suku bunga acuan di sana, tingkat suku bunga deposito juga akan terkerek naik sehingga daya tariknya bertambah. Belum lagi, naiknya tingkat suku bunga acuan secara teori akan membuat imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS terkerek naik yang lagi-lagi akan membuat investor tergiur untuk menanamkan dananya di instrumen tersebut.
Di Indonesia, fundamental rupiah terbilang bermasalah lantaran defisit transaksi berjalan/current account deficit (CAD) yang begitu dalam.
Pada saat Perry menempati posisi BI-1 (pertengahan Mei 2018), data CAD teranyar kala itu adalah untuk periode kuartal I-2018. Pada tiga bulan pertama tahun 2018, BI mencatat bahwa CAD adalah senilai US$ 5,19 miliar atau 2,01% dari Produk Domestik Bruto (PDB), jauh lebih dalam ketimbang defisit kuartal I-2017 yang sebesar 0,84% PDB saja.
Jika berbicara mengenai rupiah, pos transaksi berjalan merupakan hal yang sangat penting lantaran menggambarkan pasokan devisa yang tidak mudah berubah (dari aktivitas ekspor-impor barang dan jasa). Hal ini berbeda dengan pos transaksi finansial (yang merupakan komponen pembentuk Neraca Pembayaran Indonesia/NPI lainnya) yang bisa cepat berubah karena datang dari aliran modal portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money.
Bengkaknya CAD pada awal tahun pun pada akhirnya merembet hingga akhir tahun. Untuk keseluruhan tahun 2018, CAD Indonesia tercatat sebesar 2,98% PDB. CAD Indonesia jauh lebih dalam jika dibandingkan dengan negara-negara tetangganya. Bahkan, Thailand & Malaysia justru bisa membukukan surplus transaksi berjalan.
Sikap hawkish BI membuahkan hasil. Memang, sepanjang tahun 2018 rupiah justru terdepresiasi sebesar 5,97% melawan dolar AS di pasar spot, dari Rp 13.565/dolar AS menjadi Rp 14.375/dolar AS.
Namun kalau BI tak bersikap hawkish dan ahead the curve, bisa dipastikan depresiasi rupiah akan semakin parah. Pasalnya, tekanan bagi mata uang Garuda kala itu tak hanya bersumber dari normalisasi suku bunga acuan AS, namun juga dari panasnya bara perang dagang antara AS dengan China, dua negara dengan nilai perekonomian terbesar di planet bumi.
Tapi ya itu, ada harga yang harus dibayar BI kala mengedepankan kestabilan, yakni pertumbuhan ekonomi menjadi kurang maksimal. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2018, target pertumbuhan ekonomi dipatok di level 5,4%. Namun, realisasinya hanyalah 5,17%.
Tahun ini, perekonomian justru bisa lebih merana lagi. Dalam APBN 2019, pertumbuhan ekonomi dipatok di level 5,3%. Namun, sekuritas-sekuritas besar berbendera asing justru memproyeksikan bahwa perekonomian Indonesia akan tumbuh di bawah 5%. Ya, di bawah 5%.
Sebagai informasi, pertumbuhan ekonomi periode kuartal-I 2019 diumumkan di level 5,07% secara tahunan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), jauh lebih rendah dibandingkan konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia sebesar 5,19% YoY.
HALAMAN SELANJUTNYA >>>> 'Waktunya Putar Haluan?'
Kini, sejatinya sudah waktunya BI putar haluan dari yang tadinya hawkish menjadi dovish. Apalagi kalau mengingat jargon ahead the curve yang sudah acap kali dikatakan Perry. Seharusnya, jargon ahead the curve berlaku juga untuk melonggarkan tingkat suku bunga acuan. Kini, yang ada BI malah behind the curve.
Ya, BI bisa dibilang behind the curve lantaran The Fed sudah hampir pasti memangkas tingkat suku bunga acuan pada pertemuan bulan ini. Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak fed fund futures per 9 Juli 2019, probabilitas bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps pada pertemuan bulan ini berada di level 94,1%, sementara peluang suku bunga acuan diturunkan hingga 50 bps berada di level 5,9%. Pelaku pasar tak lagi melihat ada ruang bagi The Fed untuk mempertahankan tingkat suku bunga acuannya, pokoknya harus dipangkas.
Laju perekonomian yang relatif lesu dan rendahnya tekanan inflasi menjadi faktor yang membuat pelaku pasar yakin bahwa normalisasi akan dieksekusi pada bulan ini.
Bank sentral negara-negara lain pun sudah ‘colong start’ dengan mengeksekusi pemangkasan terlebih dulu. Malaysia misalnya, pada bulan Mei Bank Negara Malaysia (BNM) memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps ke level 3%, menandai pemangkasan pertama sejak tahun 2016 silam.
Lalu, Reserve Bank of Australia (RBA) telah menurunkan tingkat suku bunga acuannya ke level terendah sepanjang sejarah. Pada Selasa (2/7/2019), RBA memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) ke level 1%. Langkah tersebut diambil guna mencegah Negeri Kanguru itu jatuh ke dalam jurang resesi.
Sementara itu, Reserve Bank of India (RBI) kembali memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps pada pertemuan bulan Juni, menandai pemangkasan ketiga di tahun ini. Langkah dovish itu diambil setelah data terbaru menunjukkan ekonomi negara itu mencatatkan pertumbuhan paling lambat dalam empat tahun terakhir.
Lebih lanjut, walaupun sejauh ini belum memangkas tingkat suku bunga acuan, People's Bank of China (PBOC) selaku bank sentral China dan Bank of Thailand's (BoT) selaku bank sentral Thailand sudah mengirim sinyal bahwa akan ada pemangkasan tingkat suku bunga acuan di masa depan.
Pada awal bulan lalu, Gubernur PBOC Yi Gang mengatakan bahwa ada ruang yang sangat besar untuk menyesuaikan kebijakan moneter jika perang dagang antara AS dengan China semakin memanas, seperti dilansir dari Bloomberg.
Sementara itu, sinyal pemangkasan tingkat suku bunga acuan oleh BoT datang beberapa waktu yang lalu kala salah satu pejabatnya mengatakan bahwa stance kebijakan bank sentral di masa depan akan bergantung kepada data-data ekonomi, dilansir dari Bangkok Post.
Beralih lagi ke BI, selepas mengumumkan bahwa BI 7-day Reverse Repo Rate ditahan di level 6% pada bulan pertemuan bulan Juni, Perry jelas terlihat masih galau untuk mengeksekusi normalisasi yang sudah disuarakan oleh berbagai pihak, mulai dari pelaku usaha, ekonom, hingga pejabat pemerintah seperti Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
“…sementara kebijakan suku bunga kami sampaikan kami cermati kondisi pasar global dan NPI dalam pertimbangkan (pemangkasan) suku bunga,” kata Perry di Gedung BI, Kamis (20/6/2019).
NEXT >> 'Likuiditas Kering?' Seperti yang sudah disebutkan di halaman sebelumnya, efek samping dari sikap BI yang kini justru behind the curve adalah laju perekonomian menjadi mandek.
Supaya perekonomian bisa bergeliat, tentu peran dari lembaga intermediasi keuangan yakni perbankan menjadi begitu penting. Sayang, likuiditas perbankan kini kering kerontang, nyaris tak ada lagi uang tersisa untuk disalurkan menjadi kredit.
Melansir publikasi Statistik Perbankan Indonesia (SPI) yang dirilis oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), rasio penyaluran kredit terhadap DPK atau loan to deposits ratio (LDR) bank umum konvensional berada di level 94,25% per April 2019, dari yang sebelumnya 90,43% pada April 2018.
Likuiditas ketat lantaran derasnya penyaluran kredit tak diimbangi oleh derasnya aliran dana pihak ketiga (DPK) yang masuk ke kas perbankan. Hingga April 2019, OJK mencatat bahwa penyaluran kredit bank umum konvensional kepada pihak ketiga non-bank adalah senilai Rp 5.098,8 triliun, naik 11,2% jika dibandingkan dengan posisi pada periode yang sama tahun sebelumnya. Pertumbuhan tersebut lebih baik ketimbang capaian pada April 2018 yakni pertumbuhan sebesar 9% saja (year-on-year/YoY).
Sementara itu, per April 2019, DPK bank umum konvensional tercatat senilai Rp 5.098,7 triliun, naik 6,6% jika dibandingkan dengan posisi pada periode yang sama tahun sebelumnya. Pertumbuhan tersebut lebih rendah ketimbang capaian pada April 2018 yakni pertumbuhan sebesar 7,9% YoY.
Perlu diketahui, terhitung semenjak BI bulan menginjak gas pengetatan pada Mei 2018 lalu, perbankan tanah air justru enggan menaikkan tingkat suku bunga kredit. Per April 2018, rata-rata tingkat suku bunga kredit yang diberikan bank umum konvensional untuk modal kerja dan konsumsi denominasi rupiah tercatat masing-masing sebesar 10,57% dan 12,4%. Per April 2019, nilainya turun menjadi masing-masing sebesar 10,53% dan 11,62%.
Sementara itu, rata-rata tingkat suku bunga kredit yang diberikan bank umum konvensional untuk investasi denominasi rupiah hanya naik tipis menjadi 10,31% pada April 2019, dari 10,3% pada April 2018.
Di level tingkat suku bunga kredit saat ini, terlihat jelas bahwa appetite untuk menarik pinjaman itu tinggi. Ini artinya, kalau likuiditas bisa diperbesar, penyaluran kredit bisa lebih deras lagi karena sebenarnya demand-nya ada.
Jika kita lihat pergerakan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah Indonesia, belakangan ini terjadi penurunan yang signifikan. Kalau BI bernyali untuk memangkas tingkat suku bunga acuan, yield bisa turun lebih dalam lagi dan memberi ruang bagi perbankan untuk memperbesar NIM (dengan cara menurunkan tingkat suku bunga deposito), namun di saat yang bersamaan tetap menjaga daya tarik depositonya.
Pada akhirnya, bank pun senang karena NIM membesar dan penyaluran kredit bisa dipacu lebih kencang lagi.
NEXT >> 'Menunggu Pemerintah' Namun, Perry dan koleganya di MH Thamrin tak bisa sepenuhnya disalahkan atas fenomena behind the curve yang saat ini terjadi. Pasalnya tanpa dukungan kebijakan fiskal, hot money yang masuk ketika tingkat suku bunga acuan dipangkas akan mudah dibawa kabur. Sebabnya ya itu tadi, fundamental rupiah bermasalah (CAD begitu dalam). Jika ini yang terjadi, maka dampak pemangkasan tingkat suku bunga acuan ke sektor riil akan menjadi minim.
Kini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) nomor 45 Tahun 2019. Ini merupakan aturan 'Super Deductible Tax' atau pengurangan pajak di atas 100%.
PP Ini merupakan perubahan atas peraturan pemerintah nomor 94 tahun 2019 tentang penghitungan penghasilan kena pajak dan pelunasan pajak penghasilan.
Poin baru dalam aturan ini adalah fasilitas pembebasan atau pengurangan pajak penghasilan badan dan fasilitas pengurangan penghasilan neto dalam rangka penanaman modal serta pengurangan penghasilan bruto dalam rangka kegiatan tertentu, demikian dikutip CNBC Indonesia dari PP Nomor 45 Tahun 2019, Selasa (9/7/2019).
Namun, pelaku pasar keuangan agaknya akan skeptis menyambut kebijakan tersebut. Pasalnya, sebelumnya persyaratan yang sulit dipenuhi sudah membuat kebijakan macam ini sangat minim peminat.
Untuk periode 2017, Sri Mulyani bahkan menyatakan bahwa tak ada satupun perusahaan yang mengajukan diri untuk mendapatkan tax allowance dan tax holiday. Kok bisa? Rupanya, persyaratannya terlalu sulit dipenuhi. Pemerintah seakan tak tulus memberikan insentif bagi pengusaha.
Kalangan pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) pernah menyatakan bahwa untuk mendapatkan insentif pajak di Indonesia, seperti tax holiday, tidaklah mudah. Selain terbatas di sektor industri tertentu, batas minimal nilai investasi yang harus dikucurkan juga sangat besar, yakni Rp 1 triliun.
Kalau peraturan turunan dari PP yang diteken Jokowi itu masih saja ‘kentang’, ya hasilnya sama saja, ruang BI untuk memangkas tingkat suku bunga acuan sangat-sangat sempit.
Sejatinya, insentif fiskal yang bisa diharapkan untuk mendongkrak laju perekonomian Indonesia adalah pemangkasan tarif pajak penghasilan (PPh) korporasi yang saat ini berada di level 25%. Saat ini, pemerintah diketahui tengah menggodok rencana pemangkasan tarif PPh korporasi menjadi sebesar 20%.
Namun celakanya, kebijakan tersebut dipastikan tak akan berlaku pada tahun ini. Direktur Jenderal Pajak Robert Pakpahan menyebutkan bahwa RUU KUP masih dalam pembahasan di DPR.
"Enggak berlaku tahun ini. Ini perlu UU dan tahun ini kan tinggal beberapa bulan lagi," ucap Robert.
Kalau berbicara mengenai behind the curve, memang benar BI itu sekarang behind the curve. Tapi, apakah sepenuhnya salah BI? Tentu tidak. Lambatnya gerak pemerintah dalam memberikan insentif fiskal menjadi faktor yang membatasi ruang gerak BI kala ingin melakukan pelonggaran.
Sebagai informasi, RDG BI pada bulan ini akan digelar pada tanggal 17 hingga 18. Menarik untuk menantikan sikap Perry dan kolega selepas menyelenggarakan pertemuan selama dua hari tersebut, apakah masih akan behind the curve atau akankah ada kejutan berupa pemangkasan tingkat suku bunga acuan?
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/dru) Next Article Suku Bunga Ditahan, BI Pakai Jurus Ini Bantu Ekonomi Pulih!
Most Popular