Pesangon Bikin Pusing: Pengusaha Usul Bisa Dicicil

S. Pablo I. Pareira, CNBC Indonesia
25 June 2019 21:52
Hal yang bikin pusing pengusaha: upah minimum, polemik upah sektoral, pesangon, dan kontrak kerja.
Foto: Warga menukarkan sejumlah uang di mobil kas keliling dari sejumlah bank yang terparkir di Lapangan IRTI Monas, Jakarta, Senin (13/5/2019). (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Awal pekan ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memanggil para menteri membahas tentang revisi undang-undang ketenagakerjaan. Revisi soal UU No 13 tahun 2003 ini menjadi masukan yang dari para pengusaha yang sempat dikumpulkan Jokowi sebelumnya.

Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia bidang Hubungan Internasional, Shinta Kamdani menjelaskan mengapa pengusaha menilai Undang Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan harus direvisi.



"Saya rasa buruh mungkin tidak keberatan [revisi UU Ketenagakerjaan], tapi mereka mau tahu perubahan-perubahan yang ada seperti apa. Sebenarnya yang diharapkan dari pemberi kerja itu kan fairness, bagaimana hubungan industrial antara pemberi dan penerima kerja," kata Shinta kepada CNBC Indonesia.

Ada beberapa hal yang menurut Shinta masih menimbulkan keraguan bagi investor untuk berinvestasi di Indonesia dari sisi ketenagakerjaan, antara lain upah minimum, polemik upah sektoral, pesangon, dan kontrak kerja.

Terkait penentuan upah minimum, pelaku usaha menyambut baik adanya formula perhitungan tetap (fix formula) sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Masalahnya, dalam pelaksanaannya ternyata aturan ini tidak diikuti oleh semua daerah.

"Itu saja sudah salah, ini kan bentuk hukumnya sudah PP. Harusnya diikuti semua," ujarnya.

Pengusaha juga keberatan dengan adanya upah sektoral yang menambah beban biaya bagi industri. Menurut Shinta, upah sektoral tentu secara konsep jelas berbeda dengan upah minimum yang sudah diatur. Pemerintah pun sebaiknya hanya mengatur upah minimum yang berlaku sebagai jaring pengaman (safety net) bagi buruh.

"Safety net itu memang harus ada untuk buruh. Kita melihat safety net ini yang minimumnya. Tapi seharusnya pemerintah cuma mengatur itu. Di atas itu, seharusnya menjadi urusan pemberi dan penerima kerja. Mestinya begitu. Ini yang saya rasa mesti clear, jangan lagi ditambah dengan upah sektoral dan lain-lain. Ini dulu yang kita harus sepakati," jelas Shinta yang saat ini juga menjabat sebagai CEO Sintesa Group.

Selain itu, formula perhitungan upah minimum seharusnya juga memasukkan angka inflasi daerah (regional inflation) sebagai indikator, bukan hanya angka pertumbuhan daerah saja.



"Jadi jangan hanya melihat pertumbuhan daerah, tapi juga tingkat inflasi daerah itu. Ini yang perlu diperhatikan, bagaimana kita mengkaji ulang dengan kepentingan bersama. Kita juga ingin ini diterima buruh, tapi yang adil lah," imbuhnya.

Kemudian, terkait masalah pesangon, pengusaha mengusulkan adanya semacam asuransi PHK (unemployment insurance) sebagai mekanisme bagi pengusaha untuk mencicil pesangon, tidak membayar secara keseluruhan langsung setelah PHK seperti aturan saat ini. Tujuannya agar pengusaha tidak terbebani biaya yang besar dalam satu waktu bila terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK).

"Selama ini kan pesangon itu selain jumlahnya, pembayarannya kan langsung setelah retire. Kita usulkan ada unemployment insurance. Dengan kata lain, dicicil oleh pengusaha, supaya mereka tidak berat langsung harus membayar sebesar itu. Kalau ada unemployment insurance saya rasa bisa membantu," jelas Shinta.



Terkait kontrak kerja, Shinta menilai perlu adanya kajian terkait periode kontrak kerja yang saat ini diatur maksimal dua tahun.

"Ini masalah-masalah klasik tapi membutuhkan keseriusan agar ada kesepakatan antara pemberi dan penerima kerja. Ini harusnya diatur juga melalui aturan main yang fair. Makanya kami merasa UU 13/2003 itu perlu diperbaiki," katanya.

Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri tak memungkiri, bahwa payung hukum ketenagakerjaan memang sudah tak lagi mencerminkan kondisi saat ini, termasuk terhadap industri padat karya. 

"Selama ini kan industri padat karya ini jadi takut misalnya untuk rekrut banyak karena konsekuensinya pada saat mereka harus sesuaikan bisnis dan ada PHK kan dari sisi prosedur dan sisi pesangon mahal," tegas Hanif.



(hoi/hoi) Next Article Bos Buruh Tak Rela Aturan Upah Minimum 2022 Dirombak Total!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular