
Proyek Masela Ditandatangani, Cermati 2 Risiko Berikut ini
Anastasia Arvirianty, CNBC Indonesia
17 June 2019 14:33

Jakarta, CNBC Indonesia - Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dan INPEX Corporartion (INPEX) telah melaksanakan penandatanganan perjanjian awal atau Head of Agreement (HOA) tentang pengembangan lapangan hulu migas Abadi di Blok Masela, di Kepulauan Tanimbar, Maluku.
HOA tersebut ditandatangani pada pertemuan G20 di Jepang, Minggu (16/6/2019), dan dilakukan antara Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto dengan Presiden Direktur INPEX Indonesia Shunichiro Sugaya.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Riset Wood Mackenzie Andrew Harwood, ada dua risiko yang akan dihadapi dalam pengerjaan proyek Lapangan Gas Abadi tersebut.
Pertama, lanjutnya, Final Investment Decision (FID) proyek tersebut direncanakan pada 2022 mendatang, ketika itu, mitra proyek akan menghadapi pasar konstruksi dan rekayasa (engineering) yang ramai.
Risiko kedua, ketika proyek onstream di 2027, saat itu ada potensi yang mana kondisi pasar akan lebih banyak diisi oleh penjual dibanding pembeli karena ada pasokan LNG dari pemain lain yang sudah masuk pasar terlebih dahulu.
"Secara global, saat ini terdapat beberapa proyek LNG di dunia dengan total kapasitas 90 juta ton per tahun yang akan mencapai keputusan akhir investasi (final investment decision/FID) pada 2019-2020. Hal ini mendorong adanya gelombang baru investasi hingga lebih dari 200 miliar untuk pengembangan proyek LNG hingga 2025 nanti," ujar Andrew, Senin (17/6/2019).
"Dengan peningkatan aktivitas ini, operator LNG akan berada dalam tekanan untuk menghindari pembengkakan biaya dan proyek mundur yang selama ini terjadi di industri LNG," tambahnya.
Proyek yang akan mencapai tahap FID, lanjut Andrew, yakni yang memiliki biaya rendah, telah memiliki kontrak jangka panjang dengan pembeli, atau proyek yang memiliki nilai strategis bagi stakeholder kunci.
"INPEX telah meningkatkan output dari proyek LNG pertama yang dioperasikan, Ichthys di Australia, dan akan memiliki arus kas yang kuat untuk melaksanakan proyek LNG kedua," pungkas Andrew.
Adapun, sebelumnya, pendiri Reforminer Institute sekaligus pengamat energi Pri Agung Rakhmanto mengatakan, Indonesia harus melihat kondisi dunia dalam hal bisnis migas, termasuk untuk pengerjaan proyek-proyek kilang LNG, seperti IDD dan Lapangan Abadi. Sebab, nantinya dua proyek tersebut tetap harus bisa bersaing dengan proyek LNG dunia.
"Semakin ditunda, keekonomiannya akan terpengaruh. Padahal ada berbagai proyek di luar negeri. Kadang yang kita takutkan begitu," kata dia di Jakarta, Selasa (21/5/2019) malam.
Dengan banyaknya proyek LNG, Pri Agung menambahkan, hal lain yang perlu dikhawatirkan adalah terjadinya buyer market atau pasar dikendalikan pembeli. Sebab, dengan banyak proyek yang beroperasi dalam rentang waktu tak jauh berbeda, maka pasar LNG dunia akan jenuh atau kelebihan pasokan.
"Didikte oleh buyer, bukan seller ini yang ditakutkan. Kalau hilang momentum, itu bubar (proyek). Lihatlah dunia luar, investasi hulu migas itu bukan lokal saja," tandasnya.
[Gambas:Video CNBC]
(miq/miq) Next Article Mantap! SKK Migas & Inpex Sepakati Investasi Masela Rp 288 T
HOA tersebut ditandatangani pada pertemuan G20 di Jepang, Minggu (16/6/2019), dan dilakukan antara Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto dengan Presiden Direktur INPEX Indonesia Shunichiro Sugaya.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Riset Wood Mackenzie Andrew Harwood, ada dua risiko yang akan dihadapi dalam pengerjaan proyek Lapangan Gas Abadi tersebut.
Risiko kedua, ketika proyek onstream di 2027, saat itu ada potensi yang mana kondisi pasar akan lebih banyak diisi oleh penjual dibanding pembeli karena ada pasokan LNG dari pemain lain yang sudah masuk pasar terlebih dahulu.
"Secara global, saat ini terdapat beberapa proyek LNG di dunia dengan total kapasitas 90 juta ton per tahun yang akan mencapai keputusan akhir investasi (final investment decision/FID) pada 2019-2020. Hal ini mendorong adanya gelombang baru investasi hingga lebih dari 200 miliar untuk pengembangan proyek LNG hingga 2025 nanti," ujar Andrew, Senin (17/6/2019).
"Dengan peningkatan aktivitas ini, operator LNG akan berada dalam tekanan untuk menghindari pembengkakan biaya dan proyek mundur yang selama ini terjadi di industri LNG," tambahnya.
Proyek yang akan mencapai tahap FID, lanjut Andrew, yakni yang memiliki biaya rendah, telah memiliki kontrak jangka panjang dengan pembeli, atau proyek yang memiliki nilai strategis bagi stakeholder kunci.
"INPEX telah meningkatkan output dari proyek LNG pertama yang dioperasikan, Ichthys di Australia, dan akan memiliki arus kas yang kuat untuk melaksanakan proyek LNG kedua," pungkas Andrew.
Adapun, sebelumnya, pendiri Reforminer Institute sekaligus pengamat energi Pri Agung Rakhmanto mengatakan, Indonesia harus melihat kondisi dunia dalam hal bisnis migas, termasuk untuk pengerjaan proyek-proyek kilang LNG, seperti IDD dan Lapangan Abadi. Sebab, nantinya dua proyek tersebut tetap harus bisa bersaing dengan proyek LNG dunia.
"Semakin ditunda, keekonomiannya akan terpengaruh. Padahal ada berbagai proyek di luar negeri. Kadang yang kita takutkan begitu," kata dia di Jakarta, Selasa (21/5/2019) malam.
Dengan banyaknya proyek LNG, Pri Agung menambahkan, hal lain yang perlu dikhawatirkan adalah terjadinya buyer market atau pasar dikendalikan pembeli. Sebab, dengan banyak proyek yang beroperasi dalam rentang waktu tak jauh berbeda, maka pasar LNG dunia akan jenuh atau kelebihan pasokan.
"Didikte oleh buyer, bukan seller ini yang ditakutkan. Kalau hilang momentum, itu bubar (proyek). Lihatlah dunia luar, investasi hulu migas itu bukan lokal saja," tandasnya.
[Gambas:Video CNBC]
(miq/miq) Next Article Mantap! SKK Migas & Inpex Sepakati Investasi Masela Rp 288 T
Most Popular