Debat Pamungkas

Tax Ratio Jangan Cuma Buat Gagah-gagahan

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
14 April 2019 10:12
<i>Tax Ratio</i> Jangan Cuma Buat Gagah-gagahan
Debat Capres dan Cawapres Kelima(REUTERS/Edgar Su)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pajak menjadi salah satu isu yang dibahas dalam Debat Capres-Cawapres Kelima yang berlangsung malam tadi, Sabtu (13/4/2019). Maklum, pajak adalah isu seksi yang tentu menarik untuk diutarakan. 

Capres nomor urut 02 Prabowo Subianto mengatakan rasio penerimaan pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) atau tax ratio Indonesia terus menurun. Kala Orde Baru, menurut Prabowo, tax ratio bisa mencapai 16% tetapi sekarang tinggal sekitar 10%.


"Kita kehilangan US$ 60 miliar per tahun," tegas Prabowo.
 

Bagaimana caranya menaikkan penerimaan pajak? Sandiaga Salahuddin Uno, Cawapres nomor urut 02, mengatakan cara menaikkan tax ratio adalah dengan menurunkan tarif Pajak Penghasilan (PPh) badan dan menaikkan angka Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). 

"Pajak korporasi bisa kita turunkan, kita bisa bersaing dengan negara lain untuk menciptakan lapangan kerja. Kemudian kami mengusulkan menaikkan batasan PTKP. Tujuannya agar banyak duit di masyarakat sehingga meningkatkan daya beli masyarakat dan bisa menciptakan lapangan kerja," papar Sandi.


Saat ini, tarif PPh badan di Indonesia adalah 25%. Sementara PTKP adalah Rp 54 juta/tahun atau Rp 4,5 juta/bulan untuk orang pribadi berstatus jomlo, eh lajang. Jadi jika penghasilan Anda di bawah Rp 4,5 juta/bulan (dan jomblo, eh lajang), maka tidak perlu membayar PPh. 

Kalau tarif PPh badan turun sementara setoran PPh orang pribadi juga berkurang karena kenaikan PTKP, bukankah jadinya penerimaan pajak semakin anjlok sehingga tax ratio turun lagi? Atau mungkin Mas Sandi adalah seorang visioner yang berpikir ke depan, di mana saat tarif PPh badan turun dan PTKP naik maka kepatuhan pajak akan meningkat dan basis pajak bisa semakin luas? Entah lah... 

Apa pun itu, isu tax ratio memang menjadi barang dagangan yang laris setiap pilpres. Bahkan Capres no urut 1 Joko Widodo (Jokowi) yang juga presiden petahana pernah menjanjikan tax ratio 16% saat berkampanye. 

Namun hal yang jarang disentuh adalah, apakah tax ratio yang tinggi itu sepenuhnya bermanfaat? Apakah tidak ada mudaratnya? 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Manfaat tax ratio yang tinggi tentu ada. Negara akan punya modal yang lebih banyak untuk menjalankan pembangunan. Infrastruktur, kesehatan, pendidikan, kesejahteraan sosial, semua bisa lebih dibangun dengan optimal jika negara punya kas yang memadai. 

Selain itu, penerimaan pajak yang tinggi juga bisa mengurangi kebutuhan untuk berutang. Bukan apa-apa, rasio utang terhadap PDB di Indonesia terus naik meski (katanya) masih dalam batas aman. 

 

Akan tetapi, menaikkan tax ratio juga bisa menjadi senjata makan tuan. Setidaknya ada dua alasan. 

Pertama, menaikkan tax ratio, apalagi dibarengi dengan menaikkan PTKP, berarti akan membuat wajib pajak badan alias korporasi alias pengusaha menjadi tumpuan utama penerimaan pajak. Mereka betul-betul akan dioptimalkan oleh petugas pajak, dikejar-kejar, ditagih-tagih. 



Kira-kira apakah itu akan menciptakan iklim bisnis yang nyaman? Apakah tidak akan malah membuat pengusaha kabur? 

Kalau pun PTKP tidak naik, tetapi pemerintah tentu akan lebih 'galak' dalam memungut pajak jika dikejar target tax ratio tinggi. Mau pengusaha atau karyawan biasa, siapa yang mau digalaki oleh petugas pajak? 

Intinya, pemerintah akan melakukan penegakan hukum yang lebih tegas saat dibebani kenaikan target tax ratio. Itu adalah hal yang bagus, tidak ada yang melarang, tetapi tentunya tidak nyaman bagi masyarakat dan dunia usaha. 

Kedua, harus jujur diakui bahwa pemerintah bukanlah agen pendorong pertumbuhan ekonomi yang baik. Walau pemerintah punya anggaran raksasa, tetapi kalau tidak dibelanjakan dengan baik ya sama saja bohong. Tidak akan berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. 

Kalau dipakai pemerintah, uang Rp 1.000 keluarnya ya Rp 1.000 juga. Namun kalau dimanfaatkan oleh dunia usaha, uang Rp 1.000 bisa keluar berlipat-lipat karena ada daya ungkit (leverage) dengan menarik pembiayaan dari luar. 

Jadi meski pemerintah punya anggaran yang besar hasil dari peningkatan tax ratio, hasilnya belum tentu sepadan. Mungkin (sekali lagi, mungkin) ada baiknya uang itu tetap berada di sistem perekonomian dan dimanfaatkan oleh BUMN dan swasta agar dampaknya bisa lebih optimal.



Kesimpulannya adalah tax ratio yang tinggi bisa menjadi hal positif jika itu membuat negara lebih punya kapasitas untuk menyesejahteraan rakyat. Namun di sisi lain, beban tax ratio tinggi akan membuat masyarakat dan dunia usaha tidak nyaman karena merasa napas petugas pajak selalu terasa di tengkuk mereka.

Selain itu, memang ada jaminan pemerintah bisa belanja dengan baik dan benar setelah penerimaan pajak naik?  

Oleh karena itu, perdebatan soal tax ratio sebaiknya diakhiri saja kalau maksudnya hanya untuk gagah-gagahan.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular