
Derita Peternak Ayam Potong, Ada Pembiaran Pemerintah?
Samuel Pablo, CNBC Indonesia
29 March 2019 09:52

Jakarta, CNBC Indonesia - Kondisi industri peternakan ayam potong (broiler) rakyat dan mandiri semakin memprihatinkan. Dalam tujuh bulan terakhir, kerugian sektor ini disinyalir mencapai Rp 1,4 miliar akibat harga jual ayam potong hidup (live birds) yang terus anjlok di pasaran.
Saat ini, harga jual rata-rata live birds menyentuh posisi terendah dalam beberapa tahun terakhir, yakni Rp 10.800-11.000/kilogram (kg). Kondisi itu sangat jauh dari rata-rata harga pokok produksi (HPP), yakni Rp 19.500/kg.
Faktornya beragam, mulai dari tingginya biaya sarana produksi akibat naiknya harga bibit ayam (day old chicken/DOC) dan harga pakan hingga kelebihan produksi (oversupply) ayam broiler di pasaran.
Kelebihan produksi ini terjadi akibat banjirnya produk dari perusahaan peternakan terintegrasi (integrator), serta diikuti oleh lemahnya permintaan di tingkat konsumen.
"Harga live birds saat ini di Jawa Tengah, Jogja dan Solo bahkan berada di kisaran Rp 10.500 per kg. Di Bogor dan sekitarnya Rp 14.000 per kg, sementara di Pantura itu sekitar Rp 13.000 per kg. Artinya harga-harga itu masih jauh di bawah biaya pokok produksi," ujar Sekretaris Jenderal Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional (Gopan) Sugeng Wahyudi di kantor Kementerian Perdagangan, Rabu (26/3/2019).
Ketua Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (Pinsar) Jawa Tengah, Parjuni menjelaskan bahwa pihaknya sudah merugi mencapai Rp 1,4 miliar dengan kerugian sekitar Rp 200 juta per bulan selama tujuh bulan terakhir.
"Kerugian kami 100 persen. Dalam tujuh bulan ini bisa empat kali panen. Dengan modal kami Rp 20.000/kg, setiap panen kami rugi Rp 5.000/kg. Dengan empat kali panen kami sudah rugi Rp 20.000/kg, sudah 100% hitungan pasarnya," ujar Parjuni.
"Kalau saya punya 100.000 ekor, saya sudah rugi Rp 200 juta di September tahun lalu dan itu terus berlanjut hingga hari ini. Dalam tujuh bulan berarti sudah mencapai Rp 1,4 miliar. Saya sudah jual ruko dan mobil, utang saya belum ketutup," lanjutnya.
Beberapa waktu lalu, para peternak sudah mengadukan nasib mereka ke Ombudsman RI (ORI) sebab kondisi seperti ini sudah berulang kali terjadi dalam tiga tahun terakhir dan menyebabkan banyak peternak rakyat dan mandiri gulung tikar.
Komisioner ORI Alamsyah Saragih mengatakan, berdasarkan laporan peternak, pihaknya menemukan dua indikasi yang dapat dianggap sebagai maladministrasi pemerintah dalam membiarkan peternak mandiri merugi.
Pertama, kerugiannya sudah nyata, dan kedua, ada pembiaran karena tidak ada regulasi untuk melindungi 20% pangsa pasar produksi peternak rakyat.
"Kami lihat ini terlalu bebas, tidak ada pembedaan segmen pasar bagi produk perusahaan peternakan terintegrasi (integrator) dan peternak rakyat," jelas Alamsyah.
Dia menilai, absennya regulasi yang melindungi peternak rakyat disebabkan pemerintah ingin menjamin harga daging ayam yang murah di tingkat konsumen.
Seperti diketahui, perusahaan peternakan terintegrasi (integrator) saat ini menguasai bisnis peternakan dari sektor hulu hingga ke hilir, mulai dari pembibitan DOC (breeding), pabrik pakan (feedmill), produksi obat-obatan dan vitamin untuk ternak, bahkan sampai ke budidaya ayam broiler untuk dijual langsung ke konsumen.
Selama ini, peternak mandiri tidak memiliki pilihan lain selain membeli bibit ayam, pakan hingga obat-obatan ke perusahaan integrator demi mengembangkan budidaya ayam mereka. Di saat yang sama, perusahaan juga diperbolehkan melakukan budidaya dan menjual produknya ke pasar.
"Masalahnya, hampir semuanya sama pasarnya dengan kami, yakni pasar tradisional. Sementara biaya produksi mereka lebih rendah," ujar Samadi, perwakilan Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (Pinsar) dalam rapat dengan Ombudsman.
Saat ini, kira-kira 80% produksi ayam broiler secara nasional dikuasai perusahaan integrator, dengan hanya 20% pangsa produksi peternak mandiri.
Saat ini, harga jual rata-rata live birds menyentuh posisi terendah dalam beberapa tahun terakhir, yakni Rp 10.800-11.000/kilogram (kg). Kondisi itu sangat jauh dari rata-rata harga pokok produksi (HPP), yakni Rp 19.500/kg.
Faktornya beragam, mulai dari tingginya biaya sarana produksi akibat naiknya harga bibit ayam (day old chicken/DOC) dan harga pakan hingga kelebihan produksi (oversupply) ayam broiler di pasaran.
"Harga live birds saat ini di Jawa Tengah, Jogja dan Solo bahkan berada di kisaran Rp 10.500 per kg. Di Bogor dan sekitarnya Rp 14.000 per kg, sementara di Pantura itu sekitar Rp 13.000 per kg. Artinya harga-harga itu masih jauh di bawah biaya pokok produksi," ujar Sekretaris Jenderal Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional (Gopan) Sugeng Wahyudi di kantor Kementerian Perdagangan, Rabu (26/3/2019).
Ketua Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (Pinsar) Jawa Tengah, Parjuni menjelaskan bahwa pihaknya sudah merugi mencapai Rp 1,4 miliar dengan kerugian sekitar Rp 200 juta per bulan selama tujuh bulan terakhir.
"Kerugian kami 100 persen. Dalam tujuh bulan ini bisa empat kali panen. Dengan modal kami Rp 20.000/kg, setiap panen kami rugi Rp 5.000/kg. Dengan empat kali panen kami sudah rugi Rp 20.000/kg, sudah 100% hitungan pasarnya," ujar Parjuni.
"Kalau saya punya 100.000 ekor, saya sudah rugi Rp 200 juta di September tahun lalu dan itu terus berlanjut hingga hari ini. Dalam tujuh bulan berarti sudah mencapai Rp 1,4 miliar. Saya sudah jual ruko dan mobil, utang saya belum ketutup," lanjutnya.
Beberapa waktu lalu, para peternak sudah mengadukan nasib mereka ke Ombudsman RI (ORI) sebab kondisi seperti ini sudah berulang kali terjadi dalam tiga tahun terakhir dan menyebabkan banyak peternak rakyat dan mandiri gulung tikar.
Komisioner ORI Alamsyah Saragih mengatakan, berdasarkan laporan peternak, pihaknya menemukan dua indikasi yang dapat dianggap sebagai maladministrasi pemerintah dalam membiarkan peternak mandiri merugi.
Pertama, kerugiannya sudah nyata, dan kedua, ada pembiaran karena tidak ada regulasi untuk melindungi 20% pangsa pasar produksi peternak rakyat.
"Kami lihat ini terlalu bebas, tidak ada pembedaan segmen pasar bagi produk perusahaan peternakan terintegrasi (integrator) dan peternak rakyat," jelas Alamsyah.
![]() |
Dia menilai, absennya regulasi yang melindungi peternak rakyat disebabkan pemerintah ingin menjamin harga daging ayam yang murah di tingkat konsumen.
Seperti diketahui, perusahaan peternakan terintegrasi (integrator) saat ini menguasai bisnis peternakan dari sektor hulu hingga ke hilir, mulai dari pembibitan DOC (breeding), pabrik pakan (feedmill), produksi obat-obatan dan vitamin untuk ternak, bahkan sampai ke budidaya ayam broiler untuk dijual langsung ke konsumen.
Selama ini, peternak mandiri tidak memiliki pilihan lain selain membeli bibit ayam, pakan hingga obat-obatan ke perusahaan integrator demi mengembangkan budidaya ayam mereka. Di saat yang sama, perusahaan juga diperbolehkan melakukan budidaya dan menjual produknya ke pasar.
"Masalahnya, hampir semuanya sama pasarnya dengan kami, yakni pasar tradisional. Sementara biaya produksi mereka lebih rendah," ujar Samadi, perwakilan Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (Pinsar) dalam rapat dengan Ombudsman.
Saat ini, kira-kira 80% produksi ayam broiler secara nasional dikuasai perusahaan integrator, dengan hanya 20% pangsa produksi peternak mandiri.
(tas) Next Article Peternak Ayam di Titik Nadir, Ini Solusi Harga Acuan Terbaru!
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular