
Duh! Nilai Tukar Petani Turun, Bagaimana Kesejahteraannya?
Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
05 March 2019 14:08

Jakarta, CNBC Indonesia - Pada tanggal 1 Maret 2019, Badan Pusat Statistik (BPS) kembali merilis data Nilai Tukar Petani (NTP) periode Februari 2019.
Sebagai informasi, NTP adalah angka perbandingan antar Indeks Harga yang Diterima Petani (IT), dengan Indeks Harga yang Dibayar Petani (IB) dan dinyatakan dalam persentase. Bila angka NTP lebih besar dari 100, maka kondisi petani sedang mengalami surplus. Sedangkan bila kurang dari 100 artinya petani mengalami defisit.
Salah satu kegunaan NTP adalah untuk mengukur tingkat kesejahteraan petani. Semakin besar surplusnya, maka kesejahteraan petani juga meningkat.
Sayangnya, gabungan secara keseluruhan NTP periode Februari yang telah dibacakan oleh BPS turun sebesar 0,37% dibanding bulan sebelumnya. Ini mengindikasikan terjadi penurunan tingkat kesejahteraan pada petani.
Salah satu penyebab turunnya NTP adalah berkurangya indeks harga hasil produksi pertanian. Mudahnya hasil jual pertanian yang didapat berkurang, sehingga penerimaan terpangkas. Bisa disebabkan oleh turunnya harga, maupun turunnya volume penjualan.
Secara umum, penghasilan yang diterima petani pada bulan Februari berkurang 0,53%. Namun tidak semuanya. Hanya subsektor tanaman pangan, hortikultura, dan peternakan yang mengalami penurunan penerimaan.
Penurunan penerimaan yang paling parah terjadi pada subsektor hortikultura, dengan nilai IT turun sampai 1,57%. Tidak jauh berbeda, IT subsektor tanaman pangan juga turun sampai 0,97%.
Pada subsektor tanaman pangan, penurunan penerimaan petani tidak terlepas dari Harga Gabah Kering Panen (GKP) yang turun sebesar 4,45%. Seperti diketahui, harga GKP merupakan harga di tingkat petani, yang mana masih memiliki kadar air cukup besar (sekitar 18%). Tak heran penghasilan petani turun. Harga jual komoditasnya turun.
Namun anehnya, menurut BPS komoditas beras di bulan Februari masih dominan menyumbang inflasi dengan andil sebesar 0,01%, yang artinya ada kenaikan harga di tingkat konsumen.
Tampaknya rantai pasokan yang panjang pada komoditas beras masih menjadi momok yang membuat petani kian mendapat tekanan. Berdasarkan Survei Poldis 2018 yang dilakukan BPS, besaran persentasi Margin Perdagangan dan Pengangkutan (MPP) beras yang mencerminkan kenaikan harga dari penggilingan padi (bukan petani) sampai ke konsumen akhir mencapai 25,35%.
Sedangkan, pada subsektor hortikultura memang terjadi deflasi di tingkat konsumen, sperti cabai merah, bawang merah, cabai rawit, wortel, dan jeruk. Terjadinya deflasi sudah tentu akan membuat harga di tingkat petani juga terdampak. Pasalnya deflasi mengindikasikan terjadi kelebihan pasokan di saat permintaan tidak meningkat.
Nasib yang sedikit lebih baik dialami oleh sub sektor perkebunan dengan peningkatan NTP sebesar 0,71%. Seperti yang diketahui, harga-harga komoditas perkebunan pada bulan Februari memang tercatat meningkat dibanding bulan Januari.
Contohnya harga yang rata-rata bulanan komoditas karet yang naik 2,16%, sedangkan minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) juga terangkat 2,16%.
(Beralnjut ke Halaman Selanjutnya)
Sebagai informasi, NTP adalah angka perbandingan antar Indeks Harga yang Diterima Petani (IT), dengan Indeks Harga yang Dibayar Petani (IB) dan dinyatakan dalam persentase. Bila angka NTP lebih besar dari 100, maka kondisi petani sedang mengalami surplus. Sedangkan bila kurang dari 100 artinya petani mengalami defisit.
Salah satu kegunaan NTP adalah untuk mengukur tingkat kesejahteraan petani. Semakin besar surplusnya, maka kesejahteraan petani juga meningkat.
Salah satu penyebab turunnya NTP adalah berkurangya indeks harga hasil produksi pertanian. Mudahnya hasil jual pertanian yang didapat berkurang, sehingga penerimaan terpangkas. Bisa disebabkan oleh turunnya harga, maupun turunnya volume penjualan.
Secara umum, penghasilan yang diterima petani pada bulan Februari berkurang 0,53%. Namun tidak semuanya. Hanya subsektor tanaman pangan, hortikultura, dan peternakan yang mengalami penurunan penerimaan.
Penurunan penerimaan yang paling parah terjadi pada subsektor hortikultura, dengan nilai IT turun sampai 1,57%. Tidak jauh berbeda, IT subsektor tanaman pangan juga turun sampai 0,97%.
Pada subsektor tanaman pangan, penurunan penerimaan petani tidak terlepas dari Harga Gabah Kering Panen (GKP) yang turun sebesar 4,45%. Seperti diketahui, harga GKP merupakan harga di tingkat petani, yang mana masih memiliki kadar air cukup besar (sekitar 18%). Tak heran penghasilan petani turun. Harga jual komoditasnya turun.
Namun anehnya, menurut BPS komoditas beras di bulan Februari masih dominan menyumbang inflasi dengan andil sebesar 0,01%, yang artinya ada kenaikan harga di tingkat konsumen.
Tampaknya rantai pasokan yang panjang pada komoditas beras masih menjadi momok yang membuat petani kian mendapat tekanan. Berdasarkan Survei Poldis 2018 yang dilakukan BPS, besaran persentasi Margin Perdagangan dan Pengangkutan (MPP) beras yang mencerminkan kenaikan harga dari penggilingan padi (bukan petani) sampai ke konsumen akhir mencapai 25,35%.
Sedangkan, pada subsektor hortikultura memang terjadi deflasi di tingkat konsumen, sperti cabai merah, bawang merah, cabai rawit, wortel, dan jeruk. Terjadinya deflasi sudah tentu akan membuat harga di tingkat petani juga terdampak. Pasalnya deflasi mengindikasikan terjadi kelebihan pasokan di saat permintaan tidak meningkat.
Nasib yang sedikit lebih baik dialami oleh sub sektor perkebunan dengan peningkatan NTP sebesar 0,71%. Seperti yang diketahui, harga-harga komoditas perkebunan pada bulan Februari memang tercatat meningkat dibanding bulan Januari.
Contohnya harga yang rata-rata bulanan komoditas karet yang naik 2,16%, sedangkan minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) juga terangkat 2,16%.
(Beralnjut ke Halaman Selanjutnya)
Pages
Most Popular