Yakin Keseimbangan Primer Bisa Surplus Pak Jokowi?

Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
28 February 2019 15:15
Yakin Keseimbangan Primer Bisa Surplus Pak Jokowi?
Foto: Infografis, Arie Pratama
Jakarta, CNBC Indonesia - Tahun 2018 bisa dikatakan sebagai periode yang baik bagi pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Betapa tidak, dalam postur realisasi APBN 2018, pemerintah mampu menekan angka defisit keseimbangan primer menjadi hanya sebesar Rp 1,8 triliun.

Bayangkan saja, hanya dalam waktu setahun, defisit keseimbangan primer (primary balance) bisa ditekan 98,5% dari 2017 yang mencapai Rp 124,4 triliun. Capaian itu merupakan yang terbaik sejak 2011 ketika pemerintah mampu menghasilkan surplus keseimbangan primer Rp 8,9 triliun saat itu.

Keseimbangan primer dalam APBN merupakan penerimaan dikurangi belanja negara, namun tidak memasukkan komponen pembayaran bunga utang. Artinya, bila keseimbangan primer bisa surplus, pemerintah tidak memerlukan utang baru untuk membayar pokok cicilan utang yang lama.



Salah satu faktor penting yang menyebabkan hal tersebut adalah peningkatan Peningkatan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) 2018 yang cukup signifikan yakni 30,81% dibanding tahun sebelumnya (YoY). Bahkan, peningkatan PNBP tahun lalu adalah yang tertinggi sejak 2008, yang saat itu tumbuh 49,04% YoY.

Harga beberapa komoditas, terutama batu bara dan minyak bumi yang naik menjadi alasan di balik tingginya PNBP 2018. Faktor ini juga dikonfirmasi oleh Kementerian Keuangan dalam presentasi realisasi APBN 2018 pada Januari lalu.



Memang benar. Harga rata-rata tahunan batu bara tercatat naik sekitar 18% YoY ke posisi US$ 119,9/metrik ton pada 2018, sedangkan harga rata-rata minyak jenis Brent juga meningkat 20% ke level US$ 71,67/barel. Alhasil, PNBP hasil migas meroket 75,2% YoY menjadi Rp 143,3 triliun, dan PNBP hasil non-migas naik 37,8% YoY.

Harga rata-rata beberapa komoditas lain juga naik tahun lalu, seperti timah (+0,4% YoY), tembaga (+5,7%), dan emas (0,9%).

Selain itu, depresiasi rupiah tahun lalu juga menjadi berkah bagi PNBP. Pasalnya, bila harga dolar meningkat, pembayaran royalti perdagangan yang diterima oleh pemerintah juga ikut terkerek naik. Pada 2018, rata-rata nilai tukar rupiah terhadap dolar berada di posisi Rp 14.229, melemah 6,34% YoY dan berada di atas asumsi makro yang ditetapkan pemerintah Rp 13.400/dolar AS.



Bagaimana Nasib tahun 2019?
Berlanjut ke halaman selanjutnya >>
Kondisi ini semestinya membuat pemerintah perlu meningkatkan alarm kewaspadaan mengingat harga-harga komoditas memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap penerimaan negara. Pasalnya, harga beberapa komoditas andalan Indonesia berpotensi tak akan sebagus tahun lalu karena dipengaruhi kondisi perekonomian global yang masih tak pasti.

Hal ini bisa dicermati jika melihat harga minyak dunia. Harga 'emas hitam' masih terus diliputi oleh bayang-bayang banjirnya pasokan akibat pasokan dari AS yang terus meningkat. Produksi minyak Negeri Paman Sam sudah meningkat lebih dari 2 juta barel/hari sejak awal 2018 dan telah mencetak rekor baru (12 juta barel/hari) beberapa waktu lalu.



Bahkan kemarin (26/2/2019), Presiden AS Donald Trump mengatakan bahwa harga minyak sudah terlampau mahal.

"Harga minyak naik terlalu tinggi. OPEC, mohon rileks dan santai saja. Dunia tidak bisa menanggung kenaikan harga [minyak]. Terlalu riskan!" tulis Trump melalui akun Twitter pribadinya.

Cuitan Trump tersebut mampu membuat harga minyak anjlok lebih dari 3% dalam satu malam. Sebab bila AS terus meningkatkan produksi, keseimbangan di pasar global bisa terganggu.



Selain itu, harga batu bara yang masih berada di level yang rendah juga perlu diwaspadai. Apalagi komoditas ini merupakan andalan Indonesia yang menyumbang sekitar 15% dari total ekspor non-migas pada tahun 2018.

Harga batu bara asal Newcastle, Australia yang seringkali dijadikan acuan, sudah terpangkas sekitar 6% sejak awal tahun 2019 dan masih belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan yang signifikan.

Dalang utamanya adalah pertumbuhan ekonomi China tahun 2018 yang berada di posisi paling rendah sejak 1990. Hal tersebut terjadi lantaran perekonomian China banyak ditopang oleh industri manufaktur yang masif. Saat ekonomi China melambat, maka permintaan batu bara juga berpotensi turun.

Terlebih, separuh dari konsumsi batu bara dunia dipegang oleh Negeri Panda. Dengan begini, pemerintah perlu menyiapkan strategi yang sekiranya dapat mencegah defisit keseimbangan primer. Bila tidak, siap-siap gali lubang tutup lubang lagi untuk membiayai utang.



TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular