
4 Tahun Berkuasa, Jokowi Dinilai Gagal Pangkas Defisit Migas
Muhammad Choirul Anwar, CNBC Indonesia
14 February 2019 17:10

Jakarta, CNBC Indonesia- Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Berly Martawardaya, menilai, empat tahun pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) gagal memangkas defisit minyak dan gas (migas). Demikian disampaikan dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (14/2/2019).
"Empat tahun Jokowi tak berhasil mengurangi defisit migas kita. Data dari 2002 sudah defisit, kita lebih banyak konsumsi ketimbang produksi. Lifting migas juga turun 30 persen sejak 2014," ungkapnya.
Dia menilai, defisit energi khususnya minyak, disebabkan karena ketergantungan terhadap BBM impor yang sangat besar yang mencapai 41% dari konsumsi BBM. Kondisi ini akan semakin parah melihat produksi migas yang cenderung menurun, lebih rendah 30 % di 2018 dibandingkan 2014.
"Investasi migas yang anjlok, khususnya di hulu sehingga sulitnya dorong produksi, dipengaruhi erat oleh kurangnya koordinasi dan kepastian kebijakan serta bolongnya undang-undang migas," tandasnya.
Di sisi lain, kebutuhan energi diperkirakan akan terus meningkat dan mencapai 2,7 juta Barrel Oil Equivalent (BOE) pada tahun 2024, sesuai data Bappenas tahun 2018. Sejalan dengan itu, impor energi sulit untuk dihindari.
"Defisit neraca perdagangan migas mencapai rekor baru pada 2018 sebesar US$ 8,57 miliar dimana US$ 12,4 miliar dari defisit migas sedangkan neraca non migas surplus USD 3,84 miliar sehingga kurs rupiah terhadap dolar tertekan di 2018 hingga menembus Rp 15200/1 USD di akhir Oktober 2018," urainya.
Ironisnya, Indonesia belum mencapai diversifikasi energi yang menjamin kemandirian energi. Suplai energi Indonesia masih didominasi oleh energi tak terbarukan yang mencapai 91,6 persen.
"Di saat yang bersamaan, pemanfaatan EBT [Energi Baru Terbarukan] baru mencapai 8,4 persen sehingga masih sangat jauh dari target 23 % EBT di 2025," jelasnya.
Karena itu, INDEF merekomendasikan pada sisi supply, perlu penuntasan revisi UU Migas. Selain itu juga perlu peningkatan insentif fisikal untuk pengembangan EBT.
"Perlu moratorium PLTU batu bara dan diesel untuk mencapai target bauran energi 2025. Akan habisnya minyak bumi dalam waktu sekitar 12 tahun dan gas bumi dalam sekitar 30 tahun hanya memberikan Indonesia waktu yang sempit untuk transisi ke energi terbarukan," bebernya.
Apabila dalam lima tahun ke depan tidak ada perubahan kebijakan nyata pada sisi supply dan demand, maka Indonesia akan menjadi pengimpor BBM terbesar dunia yang menggerus kesejahteraan masyarakat.
"Perlu dibentuk dana abadi energi yang diinvestasikan untuk mendorong kemandirian dan kedaulatan energi negara di masa depan," pungkasnya.
Simak video tentang strategi pemerintah untuk atasi defisit minyak di bawah ini:
[Gambas:Video CNBC]
(gus) Next Article Defisit Migas Desember Turun 85% ke US$ 218 Juta, Kok Bisa?
"Empat tahun Jokowi tak berhasil mengurangi defisit migas kita. Data dari 2002 sudah defisit, kita lebih banyak konsumsi ketimbang produksi. Lifting migas juga turun 30 persen sejak 2014," ungkapnya.
Dia menilai, defisit energi khususnya minyak, disebabkan karena ketergantungan terhadap BBM impor yang sangat besar yang mencapai 41% dari konsumsi BBM. Kondisi ini akan semakin parah melihat produksi migas yang cenderung menurun, lebih rendah 30 % di 2018 dibandingkan 2014.
"Investasi migas yang anjlok, khususnya di hulu sehingga sulitnya dorong produksi, dipengaruhi erat oleh kurangnya koordinasi dan kepastian kebijakan serta bolongnya undang-undang migas," tandasnya.
Di sisi lain, kebutuhan energi diperkirakan akan terus meningkat dan mencapai 2,7 juta Barrel Oil Equivalent (BOE) pada tahun 2024, sesuai data Bappenas tahun 2018. Sejalan dengan itu, impor energi sulit untuk dihindari.
"Defisit neraca perdagangan migas mencapai rekor baru pada 2018 sebesar US$ 8,57 miliar dimana US$ 12,4 miliar dari defisit migas sedangkan neraca non migas surplus USD 3,84 miliar sehingga kurs rupiah terhadap dolar tertekan di 2018 hingga menembus Rp 15200/1 USD di akhir Oktober 2018," urainya.
![]() |
Ironisnya, Indonesia belum mencapai diversifikasi energi yang menjamin kemandirian energi. Suplai energi Indonesia masih didominasi oleh energi tak terbarukan yang mencapai 91,6 persen.
"Di saat yang bersamaan, pemanfaatan EBT [Energi Baru Terbarukan] baru mencapai 8,4 persen sehingga masih sangat jauh dari target 23 % EBT di 2025," jelasnya.
Karena itu, INDEF merekomendasikan pada sisi supply, perlu penuntasan revisi UU Migas. Selain itu juga perlu peningkatan insentif fisikal untuk pengembangan EBT.
"Perlu moratorium PLTU batu bara dan diesel untuk mencapai target bauran energi 2025. Akan habisnya minyak bumi dalam waktu sekitar 12 tahun dan gas bumi dalam sekitar 30 tahun hanya memberikan Indonesia waktu yang sempit untuk transisi ke energi terbarukan," bebernya.
Apabila dalam lima tahun ke depan tidak ada perubahan kebijakan nyata pada sisi supply dan demand, maka Indonesia akan menjadi pengimpor BBM terbesar dunia yang menggerus kesejahteraan masyarakat.
"Perlu dibentuk dana abadi energi yang diinvestasikan untuk mendorong kemandirian dan kedaulatan energi negara di masa depan," pungkasnya.
Simak video tentang strategi pemerintah untuk atasi defisit minyak di bawah ini:
[Gambas:Video CNBC]
(gus) Next Article Defisit Migas Desember Turun 85% ke US$ 218 Juta, Kok Bisa?
Most Popular