Ini Hambatan RI Menuju Pertumbuhan Ekonomi 7%

Anastasia Arvirianty, CNBC Indonesia
02 February 2019 08:55
Indonesia dinilai terlalu bergantung dengan komoditas, hal inilah yang membuat pertumbuhan ekonomi negara sulit terbebas dari angka 5%.
Foto: detikcom
Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia dinilai terlalu bergantung dengan komoditas, hal inilah yang membuatĀ pertumbuhan ekonomi negara sulit terbebas dari angka 5%.

EkonomĀ Bank Mandiri Dendi Ramdani menjelaskan, pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa di atas 6% pada 2011-2012 silam disebabkan dengan harga komoditas yang kala itu tengah booming. Saat itu harga minyak US$ 100 per barel dulu, CPO ada di US$ 1000 per ton, harga batubara di atas US$ 100 dolar per ton, dan komoditas karet harganya di US$ 6-7 per kilo.

"Walaupun kita net importir, tapi ekspor kita waktu itu juga besar. Nah, waktu harga komoditas turun ya, otomatis drop (ekonomi kita)," terang Dendi dalam wawancara dengan CNBC Indonesia, Senin (28/1/2019).

Untuk itu, lanjutnya, Indonesia harus mengubah tulang punggung ekonominya, dari ketergantungan akan komoditas menjadi industrialisasi.

Masalahnya, siapkah RI?

Dendi menilai, untuk mencapai peningkatan industrialisasi juga dibutuhkan peningkatan daya saing. Ada tiga hal krusial yang perlu diperhatikan agar daya saing Indonesia meningkat.

Yang pertama, tutur Dendi, yakni masalah yang berkaitan dengan biaya logistik. Interaksi antar spot-spot ekonomi perlu didekatkan, terintegrasi, dan biaya rendah.

Kedua, yaitu masalah yang ada di lingkungan institusional, ada birokrasi, perizinan, dan prosedur yang berkaitan dengan iklim investasi. Yang ketiga, berkaitan dengan sumber daya manusia (SDM).

"Yang ini memang lebih susah lagi karena berkaitan dengan manusia, untuk SDM kita relatif cukup bagus, tapi masih bisa diperbaiki lagi. Ini tiga masalah fundamental," kata Dendi.

Ia juga mengatakan, saat ini sudah ada beberapa industri yang menunjukkan pertumbuhan yang relatif baik, terutama industri-industri yang berorietasi domestik, seperti makanan dan minuman, dan tekstil yang beberapa waktu terakhir membaik karena terbukanya peluang pasar yang lebih luas, misalnya di Amerika Serikat.

"AS tadinya tergabung dalam Trans Pacific-Partnership (TPP), tapi kemudian menarik diri. Membuat Indonesia mempunyai level playing field yang sama dengan Vietnam karena tarifnya sama," jelasnya.

"Lalu, kalau kita lihat spot-spot kawasan industri atau special economic zone, nah itu arahnya ke hilirisasi, artinya kita mengolah sumber daya alam yang kita punya, dan itu memang lg berjalan, misalnya di Sei Mangkei sudah ada pengolahan CPO, Palembang di Bagansiapi-api itu juga ada untuk pengolahan karet, dan sebagainya," tambah Dendi.

Ia mengakui, memang belum semuanya beroperasi dengan maksimal, sehingga membuat pertumbuhan industri cenderung belum berdampak signifikan. Sebab, untuk membangun investasi baru memang membutuhkan waktu yang cukup lama sampai investasi baru tersebut bisa berfungsi optimal.

"Yang underutilize ini yang perlu didorong, ada dua yang besar itu, tekstil yang jelas kita punya kapasitas, yg kedua otomotif. Kapasitas otomotif kita itu 1,9 juta unit, baru terpakai 1,3 juta," imbuh Dendi.

"Ada 1,1 juta unit untuk konsumsi domestik, sekitar 200-300 unit untuk ekspor. Jadi ada sekitar hampir 500 ribu unit dan ini yang terus diupayakan untuk bisa fully utilized," tandas Dendi.

Simak Video Hambatan dan Tantangan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia:
[Gambas:Video CNBC]
(dru) Next Article Mandiri: Ekonomi Indonesia Tetap Menarik untuk Investasi 2019

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular