Tak Ada yang Tak Mungkin, Ini Cara Prabowo Push Tax Ratio 16%

Iswari Anggit Pramesti, CNBC Indonesia
18 January 2019 17:54
Pemerintahan Jokowi - Jusuf Kalla menargetkan tax ratio pada tahun 2019 sebesar 12,2% dalam APBN
Foto: Debat Capres dan Cawapres RI (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintahan Jokowi - Jusuf Kalla menargetkan tax ratio pada tahun 2019 sebesar 12,2% dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Namun, menurut Juru Bicara Calon Presiden dan Wakil Presiden nomor urut 02 Dradjad Wibowo, penerimaan tax ratio saat ini justru anjlok, jika dibandingkan dengan era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

"Untuk rasio pajak dalam arti luas, pada akhir pemerintahan pak SBY mencapai 13,7% tahun 2015. Di masa pak Jokowi angkanya justru anjlok terus," ujar Dradjad pada tim CNBC Indonesia, Jumat (18/1/2019).

Di samping itu, Dradjad mengungkapkan kalau terpilih menjadi Presiden RI, Prabowo dan Sandiaga Uno memiliki target untuk meningkatkan penerimaan tax ratio menjadi 16%. Meskipun pihaknya mengakui kalau meningkatkan tax ratio bukanlah perkara mudah.



"Harus diakui, menaikkan rasio pajak itu adalah pekerjaan yang amat sangat berat sekali. Ini karena basis pajak kita masih relatif rendah, antara lain karena kesadaran dan ketaatan pajak yang rendah. Oleh sebab itu, kita harus berani mengambil langkah terobosan dalam menaikkan basis pajak. Langkah yang ditempuh adalah memanfaatkan Kurva Laffer."

Dradjad menjelaskan kalau Kurva Laffer ini diperkenalkan oleh Arthur B. Laffer, yang merupakan seorang ekonom Amerika Serikat dan pernah menjadi anggota Economic Policy Advisory Board dari Presiden Ronald Reagan. Perlu diketahui bahwa Kurva Laffer ini mengambil gagasan dan observasi dari Ibnu Khaldun.

"Inti dari observasi Ibnu Khaldun itu adalah pada awal dinasti diperoleh penerimaan perpajakan yang besar dari tarif yang rendah. Pada akhir dinasti, penerimaan perpajakannya rendah, berasal dari tarif yang tinggi."

Menurut Dradjad, secara logika Kurva Laffer ini memungkinkan peningkatan basis dan tax ratio Indonesia. Terdapat lima alasan yang dianggap Dradjad logis sehingga pihaknya memilih Kurva Laffer untuk meningkatkan basis dan tax ratio Indonesia.

Tak Ada yang Tak Mungkin, Ini Cara Prabowo Push Tax Ratio 16%Foto: Debat Pertama Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden RI (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)


Berikut penjelasan lengkap Dradjad Wibowo, terkait lima alasan mengapa secara logika Kurva Laffer dinilai mampu meningkatkan tax ratio Indonesia:

Pertama, salah satu penyebab rendahnya basis pajak karena maraknya profit shifting (pemindahan keuntungan) oleh perusahaan ke negara, dengan tarif pajak yang jauh lebih rendah dari Indonesia. Jika tarif pajak Indonesia dibuat kompetitif, mereka akan rugi melakukan profit shifting, karena, biaya transaksi, administrasi, kepatuhan dan lain-lain menjadi relatif mahal dibanding pajak yang dihemat.

Kedua, saat ini tarif pajak terlalu tinggi, sehingga para wajib pajak lebih senang ber-KKN dengan aparat pajak maupun hakim pengadilan pajak. Biaya menyogok mereka jauh lebih murah dibanding membayar pajak dengan benar.

"Jika tarifnya turun, buat apa menyogok lagi?" kata Dradjad.

Ketiga, melalui tarif yang rendah, kampanye kesadaran pajak bisa lebih efektif. Demikian juga dengan penegakan aturan perpajakan.

"Orang atau badan yang mampu tapi malas membayar pajak akan malu dengan kampanye itu. Sudah tarifnya rendah, kok masih ngemplang pajak. Berarti Anda memang kebangetan."

Di samping itu, negara juga mempunyai posisi psikologis yang lebih kuat untuk menegakkan aturan perpajakan, mulai dari intelijen pajak, pemeriksaan hingga tindakan hukum.

Keempat, tarif pajak saat ini relatif kurang kompetitif, jika dibandingkan dengan negara tetangga. Drajad menyebutkan kalau tarif pajak negara tetangga lebih rendah tapi rasio pajaknya lebih besar dari Indonesia.

Kelima, penurunan tarif pajak yang optimal dapat memicu pertumbuhan penerimaan menjadi 6% atau lebih; "Jadi kue yang bisa dipajaki melalui PPh, PPN, pajak perdagangan, PBB, bea dan cukai akan membesar jauh lebih cepat."

Jika semua itu sudah dilakukan, maka peningkatan tax ratio kemungkinan bisa mencapai target. Namun, Dradjad juga mengakui kalau penerapan Kurva Laffer saja tidaklah cukup untuk meningkatkan tax ratio.

"Itu alasan logisnya. Tentu tidak cukup hanya mengandalkan Kurva Laffer saja. Perlu penerapan teknologi informasi secara masif di seluruh Indonesia sehingga lubang pajak bisa dikurangi. Perlu penegakan hukum yang tegas terhadap kasus yang inkracht, karena ada tagihan puluhan triliun di sini."

"Perlu penyederhanaan ketentuan umum dan prosedur perpajakan, agar masyarakat nyaman masuk ke sistem pajak. Perlu penguatan SDM pajak dan pengawasan internal, sehingga intelijen dan pemeriksaan pajak bisa lebih efektif. Perlu perlindungan fisik terhadap aparat pajak di daerah yang rawan. Perlu lebih mengefektifkan obyek pajak, termasuk dalam PBB," terang Dradjad.

"Banyak sekali memang pekerjaan rumahnya. Tapi ya harus dilakukan, jika ingin APBN kita lebih kokoh ditopang oleh rasio pajak yang meningkat," tandasnya.



(dru) Next Article Kenapa Tax Ratio 'Stuck' di 10-11%?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular