Status Siaga, Letusan Anak Krakatau & Potensi Tsunami

Muhammad Choirul Anwar, CNBC Indonesia
28 December 2018 09:14
Sesekali, suara dentuman letusan masih terdengar.
Foto: REUTERS/Stringer
Jakarta, CNBC Indonesia - Hingga Kamis (27/12/2018) sore, Gunung Anak Krakatau terus memperlihatkan erupsi dengan tinggi asap letusan sampai 2,5 km. Sesekali, suara dentuman letusan masih terdengar.

Demikian laporan Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Rudy Suhendar dari Pos Pemantauan Gunung Api (PGA) kepada Menteri ESDM Ignasius Jonan yang diterima oleh CNBC Indonesia, Kamis (27/12/2018).

"Kondisi tidak ada perubahan yang signifikan. Gunung jelas-tertutup kabut, sesekali terdengar suara dentuman letusan. Tercium bau belerang karena angin bertiup ke arah timur dan timur laut. Teramati kolom asap letusan dengan tinggi mencapai 2.000 meter sampai 2.500 meter," tambahnya.

Selain itu, lanjut Rudy, abu vulkanik teramati bergerak ke arah timur dan timur laut. Adapun gempa tremor masih terjadi terus menerus dengan amplitudo maksimum 15 mm. "Kendala komunikasi di Pos PGA Pasauran, sinyal GSM buruk sekali," jelasnya.

Status Gunung Anak Krakatau meningkat dari waspada menjadi siaga sejak kemarin. Terkait hal itu, Sekretaris Badan Geologi Kementerian ESDM Antonius Ratdomopurbo, penaikan status Gunung Anak Krakatau dilakukan setelah Badan Geologi Kementerian ESDM melakukan pemantauan beberapa hari belakangan.

"Pertimbangan munculnya abu tadi malam. Sebagai antisipasi eskalasi lebih lanjut maka statusnya dinaikkan karena memberikan potensi bahaya yang lebih luas dibandingkan status waspada," ujarnya, Kamis (27/12/2018) di Kementerian ESDM.

Dia pun menegaskan, perlu meningkatkan kewaspadaan pada potensi longsor di lereng gunung yang dapat menyebabkan tsunami.Dikatakan, khusus untuk letusan strombolian dari erupsi, tidak akan berdampak langsung terhadap potensi tsunami.

Selain itu, aliran magma akibat erupsi mengalir secara perlahan ke bibir pantai juga tidak terlalu dikhawatirkan menyebabkan tsunami. Magma itu mengalir pelan-pelam masuk menyentuh air.

"Itu tidak akan menimbulkan tsunami. Itulah mengapa efek langsung dari gunung terhadap tsunami itu tidak ada. Karena magma itu berjalan pelan-pelan ke lereng, dan kemudian ke laut,"ujarnya lagi.

Hanya saja, menurut Antonius, pada sisi lereng gunung yang curam, ada potensi longsor yang dapat menyebabkan tsunami. Hal ini yang sulit diprediksi titik mana saja dan kapan kemungkinan terjadinya.

Menurutnya, longsor sangat mudah dipahami sebagai ilmu pengetahuan, namun sulit diprediksi dalam keadaan riil. Karena itu, pihaknya terus berkoordinasi dengan BMKG untuk memantau potensi tsunami ke depan.

"Menurut UU yang harus memberi early warning itu adalah BMKG. Situasinya adalah kita mau mendeteksi longsor dengan jungkir balik, jangan-jangan longsor di sini, gak tahunya yang longsor sebelahnya. Berarti cara yang paling akurat itu adalah mendeteksi efek dari longsor itu sedini mungkin," urainya.

Yang dimaksud efek dari longsor adalah naiknya gelombang air laut atau bahkan terjadinya tsunami. Atas pertimbangan itu, dia memberikan rekomendasi kepada BMKG untuk memasang alat di lokasi yang radiusnya tidak terlalu jauh dari Anak Krakatau.

"Misal ambil di Pulau Panjang, kan masih jauh jarak ke pantai [Anyer] kan 42 km. Jadi kita deteksi efek dari longsor secepatnya, sedekat-dekatnya," pungkasnya.


(hps/hps) Next Article BMKG: Waspada Cuaca Ekstrem & Gelombang Tinggi dari Krakatau

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular