
Defisit Triliunan Hingga Iuran, Dilema BPJSK di Tahun Politik
Muhammad Choirul Anwar, CNBC Indonesia
12 December 2018 10:51

Jakarta, CNBC Indonesia - Komisi IX DPR menggelar rapat kerja dengan Kementerian Keuangan, Kementerian Kesehatan, serta sejumlah lembaga terkait untuk membahas persoalan BPJS Kesehatan di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (11/12/2018).
Dalam rapat yang digelar selama enam jam tersebut, terungkap bahwa BPJS Kesehatan diperkirakan masih mengalami defisit pada 2019 mendatang. Tak tanggung-tanggung, Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris menyebut potensi defisit mencapai Rp 16,5 triliun.
"Kalau ini rumusan sederhana. Kita punya [hitungan] rata-rata menggunakan kondisi hari ini. Misalnya frekuensi penggunaan dari 1.000 orang, baru 34/1.000 per bulan. Ini kan akan bergerak," ungkapnya, menjelaskan frekuensi pemanfaatan rawat jalan.
Menurut Fahmi, frekuensi itu akan bertambah seiring sosialisasi yang dilakukan BPJS Kesehatan. Dikatakan, masyarakat akan semakin memahami pemanfaatan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) karena akses kian terbuka.
"Ini akan berpengaruh terhadap jumlah pemanfaatan. Itu di rawat jalan, di rawat inap pun seperti itu," kata Fahmi.
"Kita punya angka mature. Pengalaman pada saat programnya sudah berjalan lama khususnya PNS ya, 45 tahun berjalan itu 7/1.000. Belum lagi nanti pasti akan ada unit cost yang kita hitung," ujarnya.
Saat ini, jumlah peserta BPJS Kesehatan sekitar 200 juta orang dan diprediksi bertambah menjadi 216 juta orang pada 2019 nanti. Dengan begitu, dia menyebut setidaknya akan ada pemakaian 90 ribu orang per bulan.
"Dikali costnya, ini kan biaya. Ada hitung-hitungan aktuaria yang memprediksi semuanya," uar Fahmi.
Apalagi, pengalaman menunjukkan hampir setiap tahun BPJS Kesehatan masih membutuhkan bantuan pendanaan. Yang paling mutakhir, DPR mendukung bailout BPJS Kesehatan tahap II sebesar Rp 5,26 triliun.
Pembayaran dana bailout ini dilakukan dalam dua tahap, yakni 5 Desember sebesar Rp 3 triliun dan 14 Desember sebesar Rp 2,26 triliun. DPR mendesak dana talangan itu langsung digunakan untuk membayar tagihan rumah sakit (RS).
Lantas, seberapa akurat prediksi defisit tahun depan? BPJS Kesehatan masih akan menunggu hasil audit menyeluruh dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Komisi IX DPR telah meminta BPKP menyampaikan laporan awal audit 2018 paling lambat 21 Januari 2019.
"Itu baru proyeksi. Ini sangat tergantung dari audit sistem yang ada. Audit sistem akan melihat semuanya, kemudian akan satu per satu disisir semua tagihan yang jatuh tempo itu, termasuk juga memastikan apakah tagihan itu cukup meyakinkan Menteri Kesehatan dan Keuangan," katanya.
"Kita tunggu dulu itu baru kita lihat lagi secara utuh ke depan," imbuh Fahmi.
Di sisi lain, opsi kenaikan iuran peserta BPJS Kesehatan juga kembali dibahas dalam rapat kemarin. Dalam salah satu poin kesimpulan rapat, DPR mendukung dan mendorong perbaikan sistem jaminan kesehatan.
Caranya dengan evaluasi iuran dengan pendekatan aktuaria, skema khusus penangan penyakit katastropik hingga membangun sistem IT untuk basis data dan pelayanan kesehatan yang komprehensif, kredibel dan akuntabel.
Fahmi menambahkan tingkat urgensi evaluasi iuran tersebut. "Ini pesan ya, ada rekomendasi kuat dari lembaga internasional, asosiasi jaminan sosial dunia, karena kita bicara jangka panjang. Intinya begini, kita ingin program yang sustainable, transparan, publik perlu tahu proyeksi yang ada," katanya.
(miq/miq) Next Article GP Farmasi Curhat ke Istana Soal Tunggakan BPJS Kesehatan
Dalam rapat yang digelar selama enam jam tersebut, terungkap bahwa BPJS Kesehatan diperkirakan masih mengalami defisit pada 2019 mendatang. Tak tanggung-tanggung, Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris menyebut potensi defisit mencapai Rp 16,5 triliun.
"Kalau ini rumusan sederhana. Kita punya [hitungan] rata-rata menggunakan kondisi hari ini. Misalnya frekuensi penggunaan dari 1.000 orang, baru 34/1.000 per bulan. Ini kan akan bergerak," ungkapnya, menjelaskan frekuensi pemanfaatan rawat jalan.
Menurut Fahmi, frekuensi itu akan bertambah seiring sosialisasi yang dilakukan BPJS Kesehatan. Dikatakan, masyarakat akan semakin memahami pemanfaatan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) karena akses kian terbuka.
"Ini akan berpengaruh terhadap jumlah pemanfaatan. Itu di rawat jalan, di rawat inap pun seperti itu," kata Fahmi.
"Kita punya angka mature. Pengalaman pada saat programnya sudah berjalan lama khususnya PNS ya, 45 tahun berjalan itu 7/1.000. Belum lagi nanti pasti akan ada unit cost yang kita hitung," ujarnya.
![]() |
Saat ini, jumlah peserta BPJS Kesehatan sekitar 200 juta orang dan diprediksi bertambah menjadi 216 juta orang pada 2019 nanti. Dengan begitu, dia menyebut setidaknya akan ada pemakaian 90 ribu orang per bulan.
"Dikali costnya, ini kan biaya. Ada hitung-hitungan aktuaria yang memprediksi semuanya," uar Fahmi.
Apalagi, pengalaman menunjukkan hampir setiap tahun BPJS Kesehatan masih membutuhkan bantuan pendanaan. Yang paling mutakhir, DPR mendukung bailout BPJS Kesehatan tahap II sebesar Rp 5,26 triliun.
Pembayaran dana bailout ini dilakukan dalam dua tahap, yakni 5 Desember sebesar Rp 3 triliun dan 14 Desember sebesar Rp 2,26 triliun. DPR mendesak dana talangan itu langsung digunakan untuk membayar tagihan rumah sakit (RS).
Lantas, seberapa akurat prediksi defisit tahun depan? BPJS Kesehatan masih akan menunggu hasil audit menyeluruh dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Komisi IX DPR telah meminta BPKP menyampaikan laporan awal audit 2018 paling lambat 21 Januari 2019.
"Itu baru proyeksi. Ini sangat tergantung dari audit sistem yang ada. Audit sistem akan melihat semuanya, kemudian akan satu per satu disisir semua tagihan yang jatuh tempo itu, termasuk juga memastikan apakah tagihan itu cukup meyakinkan Menteri Kesehatan dan Keuangan," katanya.
"Kita tunggu dulu itu baru kita lihat lagi secara utuh ke depan," imbuh Fahmi.
Di sisi lain, opsi kenaikan iuran peserta BPJS Kesehatan juga kembali dibahas dalam rapat kemarin. Dalam salah satu poin kesimpulan rapat, DPR mendukung dan mendorong perbaikan sistem jaminan kesehatan.
Caranya dengan evaluasi iuran dengan pendekatan aktuaria, skema khusus penangan penyakit katastropik hingga membangun sistem IT untuk basis data dan pelayanan kesehatan yang komprehensif, kredibel dan akuntabel.
Fahmi menambahkan tingkat urgensi evaluasi iuran tersebut. "Ini pesan ya, ada rekomendasi kuat dari lembaga internasional, asosiasi jaminan sosial dunia, karena kita bicara jangka panjang. Intinya begini, kita ingin program yang sustainable, transparan, publik perlu tahu proyeksi yang ada," katanya.
![]() |
(miq/miq) Next Article GP Farmasi Curhat ke Istana Soal Tunggakan BPJS Kesehatan
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular