Investasi Masih Kecil, Nasib Energi Baru RI Masih Tanda Tanya

Anastasia Arvirianty, CNBC Indonesia
16 November 2018 10:40
Investasi EBT di RI masih tergolong kecil, sulit kejar target energi baru di masa depan
Foto: Menteri ESDM Ignasius Jonan (dok ESDM)
Jakarta, CNBC Indonesia- Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan khawatir target bauran energi sebesar 23% hingga 2025 tidak bisa tercapai. Ia mengatakan, paling tidak, hanya bisa terwujud sampai 20% saja.

"Saya khawatir tidak bisa mencapai 23% kalau lihat perkembangannya," kata Jonan kepada media saat ditemui di Jakarta, Kamis (15/11/2018).

Lebih lanjut, Jonan mengatakan, alasan kekhawatirannya tersebut disebabkan nilai investasi dari energi baru, terbarukan (EBT) itu sendiri. Pasalnya, lanjut Jonan, biaya pengembangan EBT yang mahal bisa berimbas pada kenaikan tarif listrik.



"Ya satu, mengenai nilai investasinya berapa, apakah ini bisa memberikan dampak yang serius pada kenaikan tarif listrik ini yang kami hindari," jelasnya.

Selain itu, yang perlu diperhatikan lagi yakni mengenai sektor transportasi yang belum memungkinkan untuk menggunakan EBT, misalnya bahan bakar ramah lingkungan. Hal ini tidak terlepas dari ketersediaan bahan bakunya yang masih rendah.

Jonan mencontohkan, misalnya, penggunaan ethanol di Indonesia. Ethanol bahan bakunya adalah bahan-bahan seperti tebu, gula, singkong, dan sebagainya. Dengan bahan baku ini, bisa menimbulkan persaingan dengan konsumsi manusia, pakan ternak, dan lainnya.

"Mungkin kalau skalanya kecil-kecil bisa, tapi coba kalau skalanya nasional? Sampai sekarang sih belum bisa," sambungnya.

Jonan juga menekankan sila ke-5 dalam Pancasila, yakni Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, dalam mengembangkan EBT.

Jonan melanjutkan, dalam mengembangkan EBT, masalah pertumbuhan ekonomi perlu jadi pertimbangan. Ia berpandangan, di belahan bumi manapun, masalah ketahanan ekonomi, PDB per kapita, disparitas, dan gini ratio tidak sama. Sehingga, tidak adil jika subsidi dicabut dan dialihkan untuk EBT di saat rasio gini masih tinggi.

"Ini jadi faktor kalau kita mau bahas transisi energi ke EBT. Bahwa betul timbul kesejahteraan usaha, ciptakan teknologi, tapi juga timbulkan biaya-biaya baru," tutur Jonan.


Lebih lanjut, Jonan mengatakan, dalam transisi energi, faktor pasokan dan permintaan juga menjadi pertimbangan. Dari sisi permintaan (demand), Indonesia harus bersyukur karena memiliki generasi muda mayoritas mau di desa atau kota yang semuanya mendukung energi bersih. Jonan menilai, segala sesuatu yang didukung generasi muda, pasti akan berjalan baik.

Sedangkan, dari sisi pasokan, apa yang ditawarkan harus bisa terjangkau (affordable). Jonan menyebut, Uni Eropa bisa menjalankan EBT karena mendapat subsidi besar untuk transisi energi mereka.

"Perdebatan panjang di parlemen, mau disediakan seperti apa insentif ini. Kalau besar-besar harus disiapkan anggarannya. Tantangannya kalau insentif besar, rasio elektrifikasi itu harus 100% penuh, kalau tidak ada yang protes. Sekarang rasio elektrifikasi 98% ada 2% yang belum terlistriki, itu banyak lima juta lebih. Disparitas masih lebar," tambah Jonan.

Menanggapi hal ini, ditemui di kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan, justru EBT merupakan solusi akan kurangnya rasio elektrifikasi di daerah-daerah yang belum ada listriknya.

"Daripada PLN terus terbeban untuk melistriki daerah tertinggal, mending subsidi atau insentifnya dialihkan untuk pengembangan EBT di sana, untuk melistriki daerah itu," pungkas Fabby.

(gus) Next Article Tagihan Listrik Bisa Turun 80%, Jonan Buka Rahasianya

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular