Tahun 2021, Pembangkit Batu Bara Lebih Mahal Dibanding EBT

Anastasia Arvirianty, CNBC Indonesia
05 November 2018 17:28
Pembangkit batu bara bisa telan ongkos lebih mahal ketimbang PLTS di 2021
Foto: Ist adaro.com
Jakarta, CNBC Indonesia- Berdasarkan sebuah kajian dinamika biaya pembangkitan listrik di Indonesia, dan bagaimana tren ekonomi dan finansial global akan berdampak pada biaya pembangkitan listrik di Indonesia, ditemukan bahwa pada 2021 akan lebih murah bagi Indonesia untuk membangun fasilitas pembangkit tenaga listrik surya baru dibandingkan melanjutkan pembangkit listrik batu bara yang sudah ada.

"Modelling kami menunjukkan, di 2021 Indonesia akan sampai di titik dimana investasi per megawatt akan lebih murah untuk pembangkit listrik tenaga surya dibandingkan PLTU batubara. Biaya operasionalnya akan lebih mahal," ujar Kepala Kajian Ketenagalistrikan dan Pembangkitan Listrik di Carbon Tracker Matt Gray, ketika dijumpai di Jakarta (5/11/2018). 



Lebih lanjut, ia menjelaskan, kajian tersebut membandingkan energi batubara yang saat ini menjadi sumber utama di ketenagalistrikan di Indonesia dengan teknologi energi terbarukan. 

Pihaknya juga meninjau berbagai skenario global terkait penurunan emisi gas rumah kaca dan rencana negara-negara besar untuk beralih dari energi tenaga fosil seperti minyak dan batubara, serta dampaknya terhadap nilai aset PLTU batubara di berbagai negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, Vietnam dan Filipina. 

"Kajian ini menemukan bahwa rencana pengembangan PLTU batubara yang agresif di tiga negara tersebut tidak sejalan dengan tren dunia dan dapat berujung pada stranded asset atau aset terpinggirkan yang dapat mencapai US$ 60 miliar," terang Matt.

Sedangkan, lanjut Matt, di Indonesia, kajiannya menunjukkan, ada kemungkinan terjadi penurunan nilai aset dan kerugian aset PLTU batubara yang dapat mencapai US$ 34,7 miliar, dan yang menanggung beban kerugian ini akan tergantung dari struktur kepemilikan dan kontrak jual beli listrik. 

Tapi, ujar Matt, yang jelas PLN akan menanggung beban yang paling besar dan jumlahnya dapat mencapai US$ 15 milar. 

Matt pun mencontohkan, jika melihat di Eropa, misalnya, di daerah ini teknologi energi baru terbarukan (EBT) dibuka untuk dicari yang angkanya paling murah, itu yg dimenangkan. Sedangkan, kalau di Amerika, sumber daya alamnya melimpah, sehingga pembangkit EBT menjadi lebih murah dan punya daya saing.

"Jadi bedanya dengan pasar listrik di Indonesia, dari hulu ke hilir semua diatur oleh PLN. Tidak dengan di AS, yang terbuka. Setiap hari ada bid document. Di sisi pembangkitan ada swasta, biasanya transmisinya baru diatur oleh negara. Jadi tidak ada monopoli di sana," pungkas Matt.

Adapun, Analis Energy Finance dari Institute for Energy Economics and Financial Analysis Elrika Hamdi menambahkan, bila dilihat dari sisi harga terakhir PPA untuk pembangkit surya sudah jauh lebih kompetitif, sedangkan biaya operasional dan pemeliharaan pembangkit tersebut tentu jauh lebih murah karena tidak ada biaya bahan bakar seperti batu bara, gas, atau BBM. 

Karena itu, lanjut Elrika, maka levelized cost of electricity (LCOE) dari pembangkit surya hampir dapat dipastikan akan dapat bersaing dan bisa mencapai tingkat kekonomisan yang sama atau lebih rendah dibanding pembangkit berbahan bakar fosil tersebut dalam waktu yang lebih cepat dari 2028.

"Terlebih lagi dengan menjulang tingginya harga minyak gas dan batu bara dalam setahun terakhir, ditambah dengan melemahnya rupiah terhadap dolar AS yg menjadi nilai tukar pembelian bahan bakar tersebut. Ke depannya, perlu dipertimbangkan hal-hal ini agar tidak terjebak dalam investasi yang ujungnya malah merugikan," tutup Elrika.
(gus/gus) Next Article Selama Lebaran Produksi Listrik PLTU Cirebon Unit I Turun 50%

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular