
Rupiah Anjlok, Beranikah Pertamina Buka Laporan Keuangan?
Gustidha Budiartie & Anastasia Arvirianty, CNBC Indonesia
01 November 2018 11:43

Jakarta, CNBC Indonesia- Memasuki kuartal terakhir tahun 2018, PT Pertamina (Persero) belum juga membuka laporan keuangan mereka dari kinerja selama semester satu 2018.
Ini di luar kebiasaan perseroan, yang biasanya percaya diri mengumumkan kinerjanya dan menunjukkan laba yang bisa di kantongi perusahaan. Tahun lalu misalnya, di bawah kepemimpinan Elia Massa Manik, Pertamina pada Agustus mengumumkan berhasil bukukan laba sebanyak Rp 18,73 triliun.
Laba ini sebenarnya turun 24% dibanding perolehan periode serupa tahun sebelumnya yang bisa mencapai Rp 24,3 triliun. Alasannya karena harga minyak naik, tapi harga bbm tak bisa naik. Padahal saat itu harga minyak Indonesia (ICP) realisasinya masih di US$ 48,9 per barel.
Nah, kini harga minyak masih merangkak naik bahkan sempat menyentuh level US$ 80 per barel, meski sudah turun lagi ke level US$ 76 per barel. Lalu, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS juga terus melemah dan tembus level Rp 15.000.
Beberapa hari lalu, PT PLN (Persero) juga tak ragu melaporkan kondisi keuangannya yang merugi hingga Rp 18, 4 triliun akibat selisih kurs dan naiknya harga komoditas bahan bakar.
Beban terbesar masih berasal dari beban bahan bakar dan pelumas yang naik dari Rp 85,28 triliun menjadi Rp 101,88 triliun. PLN juga menderita pembengkakan kerugian karena selisih kurs. Jika pada kuartal III-2017 rugi dari selisih kurs mencapai Rp 2,23 triliun, maka pada kuartal III-2018 menjadi Rp 17,33 triliun.
Jika PLN merugi hingga belasan triliun, maka pertanyaan berikutnya adalah bagaimana nasib Pertamina yang setiap hari impor 700 ribu barel minyak (mentah dan BBM) dalam dolar dan dijual di dalam negeri dengan rupiah berharga murah?
Sampai saat ini Pertamina belum mau buka suara, Saat ditanya soal laporan semester satu, Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati masih bungkam dan enggan menjawabnya. "Kita tidak bahas soal itu jadi saya tidak perlu bahas," ujarnya saat ditemui di lingkungan istana negara usai rapat bersama jajaran menteri dan presiden, Rabu (31/10/2018).
Hanya, ia memastikan bahwa kondisi di sektor hulu masih cukup bagus. Didorong lagi oleh media soal kapan akan membuka, Nicke hanya menjawab sambil terkekeh.
Berdasarkan informasi yang diterima CNBC Indonesia, keuangan Pertamina saat ini masih seret. Tidak merugi, tapi keuntungan yang dipetik merosot sangat dalam dibanding kinerja tahun lalu. Kabarnya, Pertamina hanya mencetak laba US$ 60 juta di kuartal III-2018.
Untuk semester I perusahaan disebut hanya sanggup bukukan laba di bawah Rp 5 triliun. Hal itu sebagaimana pernah diungkap Deputi Bidang Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian BUMN Fajar Harry Sampurno.
Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi mengakui, memang kondisi yang berat pun dialami Pertamina, namun ia berpendapat, kondisi Pertamina relatif bisa lebih baik, karena dibantu dengan industri di hulu migas perusahaan. "Yang terjadi hanya untungnya saja yang berkurang," imbuh Komaidi.
Manajer Advokasi dan Pengembangan Program Publish What You Pay juga menekankan pentingnya Pertamina untuk buka-bukaan soal laporan keuangannya, terkait dengan transparansi sebagai perusahaan pelat merah.
"Ini mandat dari Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). BUMN yang kuasai sektor strategis seperti Pertamina dan PLN sudah sewajarnya menyampaikan laporan keuangan ke publik. Jangan sampai jadi gunung es, tiba-tiba kondisi keuangan buruk tak ada upaya mitigasi dan antisipasi," jelasnya.
(gus/roy) Next Article Sudah Setor Dividen, Kapan Pertamina Rilis Laporan Keuangan?
Ini di luar kebiasaan perseroan, yang biasanya percaya diri mengumumkan kinerjanya dan menunjukkan laba yang bisa di kantongi perusahaan. Tahun lalu misalnya, di bawah kepemimpinan Elia Massa Manik, Pertamina pada Agustus mengumumkan berhasil bukukan laba sebanyak Rp 18,73 triliun.
Nah, kini harga minyak masih merangkak naik bahkan sempat menyentuh level US$ 80 per barel, meski sudah turun lagi ke level US$ 76 per barel. Lalu, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS juga terus melemah dan tembus level Rp 15.000.
Beberapa hari lalu, PT PLN (Persero) juga tak ragu melaporkan kondisi keuangannya yang merugi hingga Rp 18, 4 triliun akibat selisih kurs dan naiknya harga komoditas bahan bakar.
Beban terbesar masih berasal dari beban bahan bakar dan pelumas yang naik dari Rp 85,28 triliun menjadi Rp 101,88 triliun. PLN juga menderita pembengkakan kerugian karena selisih kurs. Jika pada kuartal III-2017 rugi dari selisih kurs mencapai Rp 2,23 triliun, maka pada kuartal III-2018 menjadi Rp 17,33 triliun.
Jika PLN merugi hingga belasan triliun, maka pertanyaan berikutnya adalah bagaimana nasib Pertamina yang setiap hari impor 700 ribu barel minyak (mentah dan BBM) dalam dolar dan dijual di dalam negeri dengan rupiah berharga murah?
![]() |
Sampai saat ini Pertamina belum mau buka suara, Saat ditanya soal laporan semester satu, Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati masih bungkam dan enggan menjawabnya. "Kita tidak bahas soal itu jadi saya tidak perlu bahas," ujarnya saat ditemui di lingkungan istana negara usai rapat bersama jajaran menteri dan presiden, Rabu (31/10/2018).
Hanya, ia memastikan bahwa kondisi di sektor hulu masih cukup bagus. Didorong lagi oleh media soal kapan akan membuka, Nicke hanya menjawab sambil terkekeh.
Berdasarkan informasi yang diterima CNBC Indonesia, keuangan Pertamina saat ini masih seret. Tidak merugi, tapi keuntungan yang dipetik merosot sangat dalam dibanding kinerja tahun lalu. Kabarnya, Pertamina hanya mencetak laba US$ 60 juta di kuartal III-2018.
Untuk semester I perusahaan disebut hanya sanggup bukukan laba di bawah Rp 5 triliun. Hal itu sebagaimana pernah diungkap Deputi Bidang Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian BUMN Fajar Harry Sampurno.
Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi mengakui, memang kondisi yang berat pun dialami Pertamina, namun ia berpendapat, kondisi Pertamina relatif bisa lebih baik, karena dibantu dengan industri di hulu migas perusahaan. "Yang terjadi hanya untungnya saja yang berkurang," imbuh Komaidi.
Manajer Advokasi dan Pengembangan Program Publish What You Pay juga menekankan pentingnya Pertamina untuk buka-bukaan soal laporan keuangannya, terkait dengan transparansi sebagai perusahaan pelat merah.
"Ini mandat dari Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). BUMN yang kuasai sektor strategis seperti Pertamina dan PLN sudah sewajarnya menyampaikan laporan keuangan ke publik. Jangan sampai jadi gunung es, tiba-tiba kondisi keuangan buruk tak ada upaya mitigasi dan antisipasi," jelasnya.
(gus/roy) Next Article Sudah Setor Dividen, Kapan Pertamina Rilis Laporan Keuangan?
Most Popular