
"Jika Pemerintah Punya Nyali, Potong Subsidi BBM"
Anastasia Arvirianty, CNBC Indonesia
17 October 2018 16:00

Jakarta, CNBC Indonesia- Kuota subsidi BBM dan LPG dalam APBN 2018 jebol. Berdasar data Kementerian Keuangan, per 30 September 2018 realisasi subsidi BBM capai Rp 54,3 triliun atau 115,9% dari target.
Dengan realisasi saat ini, subsidi BBM dan LPG naik 96,7% dibanding realisasi di periode serupa tahun lalu yang hanya Rp 27,6 triliun. Prediksinya di akhir tahun subsidi BBM akan meroket jika tak dikendalikan, apalagi jika harga minyak dunia terus meroket.
Pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia (UI), Fithra Faisal Hastiadi, menuturkan pembengkakan subsidi ini bisa dihindari. "Jika saja pemerintah punya nyali, solusi paling pragmatisnya adalah dengan memotong subsidi BBM," kata Fithra saat dihubungi, Rabu (17/10/2018).
"Solusi inilah yang bisa menekan defisit neraca migas yang pada gilirannya bisa meredakan tekanan pada neraca semasa, berikut rupiah yang bisa lebih panjang nafasnya," lanjutnya.
Ia pun melakukan simulasi perhitungan jika dilakukan pemangkasan subsidi BBM. Kontraksi output, dengan skenario pengurangan subsidi BBM sebesar 10%, maksimal hanya akan menyentuh 0,042% atau setara dengan Rp 11 triliun. Sementara itu, pendapatan masyarakat hanya akan berkurang 0,05% atau setara Rp1 triliun.
Untuk inflasi pun, memang akan meningkat, tetapi tidak terlalu besar peningkatannya. Berdasarkan beberapa hitungan, apabila subsidi dipotong 10% berarti ada kenaikan harga 10%, inflasinya kurang lebih bisa meningkat 0,4%. Memang, kalau dibandingkan dengan year to date akan signifikan kenaikannya, tetapi masih ada dalam rentang skenario inflasi pemerintah.
"Melihat dampaknya yang minimal dan tingkat efektivitasnya yang tinggi, maka usaha ini harus dilakukan," tandas Fithra.
Terus naiknya harga minyak dunia diikuti konsumsi bahan bakar yang masih tinggi, membuat pemerintah kewalahan membendung pertumbuhan pos belanja subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan LPG yang terus membengkak.
Pengamat energi Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto menjelaskan, berdasarkan asumsi makro energi, sensitivitas RAPBN 2019 terhadap fluktuasi (peningkatan) harga minyak cukup besar. Ia mengatakan, simulasi Reforminer menemukan, tambahan subsidi BBM (solar, minyak tanah), dari setiap kenaikan harga minyak sebesar US$ 1/barel adalah sekitar Rp 3,11 triliun.
Sementara jika nilai tukar rupiah melemah sebesar Rp 100 per dolar AS, maka kebutuhan anggaran subsidi BBM akan meningkat sekitar Rp 1,51 triliun.
Jika pada kondisi tertentu secara bersamaan harga minyak meningkat sebesar US$ 1/barel, dan nilai tukar rupiah melemah sebesar Rp 100 per dolar AS, kebutuhan anggaran subsidi energi dari BBM akan meningkat sekitar Rp 4,63 triliun.
(wed) Next Article Jokowi Siapkan Kebijakan Tak Populer, Harga BBM Jadi Contoh
Dengan realisasi saat ini, subsidi BBM dan LPG naik 96,7% dibanding realisasi di periode serupa tahun lalu yang hanya Rp 27,6 triliun. Prediksinya di akhir tahun subsidi BBM akan meroket jika tak dikendalikan, apalagi jika harga minyak dunia terus meroket.
"Solusi inilah yang bisa menekan defisit neraca migas yang pada gilirannya bisa meredakan tekanan pada neraca semasa, berikut rupiah yang bisa lebih panjang nafasnya," lanjutnya.
Ia pun melakukan simulasi perhitungan jika dilakukan pemangkasan subsidi BBM. Kontraksi output, dengan skenario pengurangan subsidi BBM sebesar 10%, maksimal hanya akan menyentuh 0,042% atau setara dengan Rp 11 triliun. Sementara itu, pendapatan masyarakat hanya akan berkurang 0,05% atau setara Rp1 triliun.
Untuk inflasi pun, memang akan meningkat, tetapi tidak terlalu besar peningkatannya. Berdasarkan beberapa hitungan, apabila subsidi dipotong 10% berarti ada kenaikan harga 10%, inflasinya kurang lebih bisa meningkat 0,4%. Memang, kalau dibandingkan dengan year to date akan signifikan kenaikannya, tetapi masih ada dalam rentang skenario inflasi pemerintah.
"Melihat dampaknya yang minimal dan tingkat efektivitasnya yang tinggi, maka usaha ini harus dilakukan," tandas Fithra.
Terus naiknya harga minyak dunia diikuti konsumsi bahan bakar yang masih tinggi, membuat pemerintah kewalahan membendung pertumbuhan pos belanja subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan LPG yang terus membengkak.
![]() |
Pengamat energi Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto menjelaskan, berdasarkan asumsi makro energi, sensitivitas RAPBN 2019 terhadap fluktuasi (peningkatan) harga minyak cukup besar. Ia mengatakan, simulasi Reforminer menemukan, tambahan subsidi BBM (solar, minyak tanah), dari setiap kenaikan harga minyak sebesar US$ 1/barel adalah sekitar Rp 3,11 triliun.
Sementara jika nilai tukar rupiah melemah sebesar Rp 100 per dolar AS, maka kebutuhan anggaran subsidi BBM akan meningkat sekitar Rp 1,51 triliun.
Jika pada kondisi tertentu secara bersamaan harga minyak meningkat sebesar US$ 1/barel, dan nilai tukar rupiah melemah sebesar Rp 100 per dolar AS, kebutuhan anggaran subsidi energi dari BBM akan meningkat sekitar Rp 4,63 triliun.
(wed) Next Article Jokowi Siapkan Kebijakan Tak Populer, Harga BBM Jadi Contoh
Most Popular