
India Naikkan Bea Impor, Apa Dampaknya ke RI?
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
01 October 2018 13:05

Jakarta, CNBC Indonesia - India pada hari Rabu (26/9/2018) menaikkan tarif impor terhadap 19 "barang tidak penting". Negara itu pun semakin cenderung proteksionis karena mencoba mengurangi melebarnya defisit transaksi berjalan dan depresiasi tajam rupee, mata uangnya.
Hingga perdagangan hari ini, mata uang rupee India sudah melemah nyaris 14% terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di sepanjang tahun ini. Mata uang Negeri Bollywood terdepresiasi paling parah di Asia.
Tidak hanya itu, defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) juga menjadi yang terparah di Benua Kuning. Pada kuartal II-2018, CAD India mencapai US$15,81 miliar, masih lebih parah dibandingkan negara-negara dengan rapor CAD merah lainnya di Asia.
Sebut saja Indonesia dengan CAD US$8,03 miliiar, Filipina US$2,93 miliar, atau Pakistan US$5,8 miliar, di periode yang sama.
Susunan tarif impor baru yang mulai diterapkan pada hari Kamis (27/9/2018) akan menaikkan bea masuk untuk barang-barang, seperti penyejuk udara (Air Conditioner/AC), lemari pendingin, sepatu, pengeras suara, koper, dan bahan bakar turbin penerbangan.
Tidak hanya itu, pemerintah India juga memutuskan untuk menaikkan bea masuk terhadap berlian dan batu mulia impor, serta produk perhiasan. Khusus untuk komoditas ini, beberapa pihak merasa khawatir akan dampak negatif bagi industri sektor permata dan perhiasan India yang besar.
Lantas, bagaimana dampaknya bagi Indonesia? Simak ulasan tim riset CNBC Indonesia.
(NEXT) Untuk sebagian produk yang disebutkan sebelumnya, Indonesia merupakan salah satu pemasok utama ke India. Pada tahun 2017, India mengimpor lemari pendingin hingga US$27,75 juta (Rp 388,5 miliar) dari RI. Dengan capaian itu Indonesia berada di posisi ke-3 eksportir lemari pendingin terbesar ke India.
Kemudian, India juga mengimpor produk alas kaki dari RI dalam jumlah yang cukup signifikan, yakni mencapai US$16,8 juta (Rp 235,2 miliar) di tahun lalu.
Lantas, Indonesia berada di posisi ke-5 eksportir produk alas kaki ke Negeri Bollywood. Sementara itu, barang perhiasan dan alat pengeras suara made in Indonesia diimpor India masing-masing sebesar US$10,14 juta (Rp141,96 miliar) dan US$11,07 (Rp154,98 miliar).
Jumlah yang lumayan besar, meski RI bukanlah pemasok utama ke India untuk dua produk tersebut. Untuk produk-produk lainnya, ekspor RI ke India sebenarnya tidak terlalu signifikan. Misalnya saja produk AC yang hanya diimpor India senilai US$70 ribu (Rp 980 juta), ataupun koper/tas yang “hanya” sebesar US$970 ribu (Rp 13,58 miliar). Indonesia malah sama sekali tidak mengekspor bahan bakar turbin penerbangan ke India.
Meski demikian, secara nilai impor, Indonesia masih kalah jauh dari negara-negara lainnya. Sehingga, sebenarnya RI masih bisa agak bernafas dengan kebijakan kenaikan bea masuk terbaru Negeri Bollywood.
Negara-negara yang berpotensi lebih terpukul adalah China, Uni Emirat Arab (UEA), Korea Selatan, dan Singapura. Akan tetapi, negara yang akan menderita paling parah tentunya China.
Pasalnya, hampir seluruh impor India untuk produk-produk yang disebutkan di atas didominasi oleh Negeri Tirai Bambu. Sebut saja AC yang diimpor hingga US$557,25 juta (Rp7,8 triliun) dari China. Atau impor mikrofon/alat pengeras dan produk alas kaki yang diimpor masing-masing senilai US$443,81 juta (Rp6,21 triliun) dan US$417,29 miliar (Rp5,84 triliun).
Itu belum menghitung impor koper/tas dan lemari pendingin dari Beijing, dengan total US$562,24 juta (Rp7,88 triliun). Dengan jumlah semasif itu, sudah jelas Negeri Panda menjadi negara paling rentan terhadap bea impor baru India.
Khusus untuk negara-negara selain China, ancaman datang dari bea masuk terhadap bahan bakar turbin penerbangan. India mengimpor komoditas ini hingga US$3,11 miliar (Rp43,5 triliun). Negara yang menjadi pemasok terbesar adalah UEA (US$799,84 juta), Korea Selatan (US$599,3 juta), dan Singapura (US$439,94 juta).
Kesimpulannya, secara keseluruhan Indonesia relatif masih aman dari aman dari bea impor teranyar India. Memang, ada dampak yang akan dirasakan RI (khususnya untuk produk lemari pendingin dan alas kaki), namun efeknya relatif masih terbatas.
Sebagai informasi, Indonesia hanya menyumbang 2,7% bagi impor alas kaki India di tahun lalu. Sementara, sumbangan bagi impor lemari pendingin India hanya berkisar 5% di periode yang sama.
Sejauh ini, RI justru berpotensi tertekan oleh bea impor bagi produk besi/baja yang dinaikkan oleh India pada awal bulan ini. Pasalnya, nilai impor India untuk besi/baja made in Indonesia mencapai US$288,41 juta (Rp4,04 triliun) pada tahun lalu. Nilainya bahkan jauh lebih besar dibandingkan impor produk alas kaki dan lemari pendingin. (NEXT)
Meski demikian, RI masih perlu waspada. Pasalnya, masih ada kemungkinan India menaikkan bea impor untuk produk-produk lainnya.
Berdasarkan penelusuran tim riset CNBC Indonesia, produk utama yang diekspor RI ke India adalah batu bara dan minyak kelapa sawit. Masing-masing diimpor sebesar US$5,95 miliar (Rp83,3 triliun) dan US$5,14 miliar (Rp71,96 triliun) pada tahun 2017.
Selain dua produk utama itu masih ada produk made in Indonesia lainnya yang diimpor dalam jumlah besar oleh India, di antaranya bijih tembaga, karet alam, dan asam lemak industri.
India sebenarnya sudah menaikkan bea impor CPO dan produk turunannya pada pertengahan tahun ini, masing-masing menjadi 44% dan 54%. Padahal semula bea impor CPO hanya sebesar 30%, dan untuk produk turunannya sebanyak 40%. Hal ini sudah cukup membuat RI ketar-ketir, pasalnya permintaan pun bisa menurun drastis.
Jika tiba-tiba India memutuskan menaikkan bea impor untuk produk-produk lainnya di atas, RI harus pasang status siaga I. Apalagi jika yang disasar adalah batu bara. Semoga saja tidak…
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/RHG) Next Article Impor Anjlok 19%, Neraca Dagang April 2020 Tekor US$ 350 Juta
Hingga perdagangan hari ini, mata uang rupee India sudah melemah nyaris 14% terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di sepanjang tahun ini. Mata uang Negeri Bollywood terdepresiasi paling parah di Asia.
Tidak hanya itu, defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) juga menjadi yang terparah di Benua Kuning. Pada kuartal II-2018, CAD India mencapai US$15,81 miliar, masih lebih parah dibandingkan negara-negara dengan rapor CAD merah lainnya di Asia.
Susunan tarif impor baru yang mulai diterapkan pada hari Kamis (27/9/2018) akan menaikkan bea masuk untuk barang-barang, seperti penyejuk udara (Air Conditioner/AC), lemari pendingin, sepatu, pengeras suara, koper, dan bahan bakar turbin penerbangan.
Tidak hanya itu, pemerintah India juga memutuskan untuk menaikkan bea masuk terhadap berlian dan batu mulia impor, serta produk perhiasan. Khusus untuk komoditas ini, beberapa pihak merasa khawatir akan dampak negatif bagi industri sektor permata dan perhiasan India yang besar.
Lantas, bagaimana dampaknya bagi Indonesia? Simak ulasan tim riset CNBC Indonesia.
(NEXT) Untuk sebagian produk yang disebutkan sebelumnya, Indonesia merupakan salah satu pemasok utama ke India. Pada tahun 2017, India mengimpor lemari pendingin hingga US$27,75 juta (Rp 388,5 miliar) dari RI. Dengan capaian itu Indonesia berada di posisi ke-3 eksportir lemari pendingin terbesar ke India.
Kemudian, India juga mengimpor produk alas kaki dari RI dalam jumlah yang cukup signifikan, yakni mencapai US$16,8 juta (Rp 235,2 miliar) di tahun lalu.
Lantas, Indonesia berada di posisi ke-5 eksportir produk alas kaki ke Negeri Bollywood. Sementara itu, barang perhiasan dan alat pengeras suara made in Indonesia diimpor India masing-masing sebesar US$10,14 juta (Rp141,96 miliar) dan US$11,07 (Rp154,98 miliar).
Jumlah yang lumayan besar, meski RI bukanlah pemasok utama ke India untuk dua produk tersebut. Untuk produk-produk lainnya, ekspor RI ke India sebenarnya tidak terlalu signifikan. Misalnya saja produk AC yang hanya diimpor India senilai US$70 ribu (Rp 980 juta), ataupun koper/tas yang “hanya” sebesar US$970 ribu (Rp 13,58 miliar). Indonesia malah sama sekali tidak mengekspor bahan bakar turbin penerbangan ke India.
Meski demikian, secara nilai impor, Indonesia masih kalah jauh dari negara-negara lainnya. Sehingga, sebenarnya RI masih bisa agak bernafas dengan kebijakan kenaikan bea masuk terbaru Negeri Bollywood.
Negara-negara yang berpotensi lebih terpukul adalah China, Uni Emirat Arab (UEA), Korea Selatan, dan Singapura. Akan tetapi, negara yang akan menderita paling parah tentunya China.
Pasalnya, hampir seluruh impor India untuk produk-produk yang disebutkan di atas didominasi oleh Negeri Tirai Bambu. Sebut saja AC yang diimpor hingga US$557,25 juta (Rp7,8 triliun) dari China. Atau impor mikrofon/alat pengeras dan produk alas kaki yang diimpor masing-masing senilai US$443,81 juta (Rp6,21 triliun) dan US$417,29 miliar (Rp5,84 triliun).
Itu belum menghitung impor koper/tas dan lemari pendingin dari Beijing, dengan total US$562,24 juta (Rp7,88 triliun). Dengan jumlah semasif itu, sudah jelas Negeri Panda menjadi negara paling rentan terhadap bea impor baru India.
Khusus untuk negara-negara selain China, ancaman datang dari bea masuk terhadap bahan bakar turbin penerbangan. India mengimpor komoditas ini hingga US$3,11 miliar (Rp43,5 triliun). Negara yang menjadi pemasok terbesar adalah UEA (US$799,84 juta), Korea Selatan (US$599,3 juta), dan Singapura (US$439,94 juta).
Kesimpulannya, secara keseluruhan Indonesia relatif masih aman dari aman dari bea impor teranyar India. Memang, ada dampak yang akan dirasakan RI (khususnya untuk produk lemari pendingin dan alas kaki), namun efeknya relatif masih terbatas.
Sebagai informasi, Indonesia hanya menyumbang 2,7% bagi impor alas kaki India di tahun lalu. Sementara, sumbangan bagi impor lemari pendingin India hanya berkisar 5% di periode yang sama.
Sejauh ini, RI justru berpotensi tertekan oleh bea impor bagi produk besi/baja yang dinaikkan oleh India pada awal bulan ini. Pasalnya, nilai impor India untuk besi/baja made in Indonesia mencapai US$288,41 juta (Rp4,04 triliun) pada tahun lalu. Nilainya bahkan jauh lebih besar dibandingkan impor produk alas kaki dan lemari pendingin. (NEXT)
Meski demikian, RI masih perlu waspada. Pasalnya, masih ada kemungkinan India menaikkan bea impor untuk produk-produk lainnya.
Berdasarkan penelusuran tim riset CNBC Indonesia, produk utama yang diekspor RI ke India adalah batu bara dan minyak kelapa sawit. Masing-masing diimpor sebesar US$5,95 miliar (Rp83,3 triliun) dan US$5,14 miliar (Rp71,96 triliun) pada tahun 2017.
Selain dua produk utama itu masih ada produk made in Indonesia lainnya yang diimpor dalam jumlah besar oleh India, di antaranya bijih tembaga, karet alam, dan asam lemak industri.
India sebenarnya sudah menaikkan bea impor CPO dan produk turunannya pada pertengahan tahun ini, masing-masing menjadi 44% dan 54%. Padahal semula bea impor CPO hanya sebesar 30%, dan untuk produk turunannya sebanyak 40%. Hal ini sudah cukup membuat RI ketar-ketir, pasalnya permintaan pun bisa menurun drastis.
Jika tiba-tiba India memutuskan menaikkan bea impor untuk produk-produk lainnya di atas, RI harus pasang status siaga I. Apalagi jika yang disasar adalah batu bara. Semoga saja tidak…
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/RHG) Next Article Impor Anjlok 19%, Neraca Dagang April 2020 Tekor US$ 350 Juta
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular