
Data Beras Kacau! Surplus di Atas Kertas, Defisit di Lapangan
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
21 September 2018 11:35

Jakarta, CNBC Indonesia - Badan Urusan Logistik (Bulog) di bawah kepemimpinan Direktur Utama Budi Waseso menolak keras impor beras. Adapun izin impor beras yang diterbitkan oleh pemerintah pada tahun ini sebanyak 2 juta ton, yang ditugasi ke Bulog.
Menurut Buwas yang juga mantan kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) itu, Indonesia sebetulnya memang tidak perlu mengimpor beras. Salah satu alasan yang dilemparkan Bulog adalah data yang tidak akurat. Budi Waseso mengatakan perkiraan konsumsi beras di Indonesia tidak menggambarkan kondisi riil.
"Kebutuhan masyarakat Indonesia per bulan 2,4-2,7 juta ton. [Itu] cara perhitungan BPS [dengan] 260 juta masyarakat Indonesia, [diyakini] setiap orang mengonsumsi 130 kg/tahun", ujar Budi Waseso yang akrab dipanggil Buwas.
"Harusnya [hitungan juga] dibagi per usia, jangan dipukul rata. Bayi kan ga makan nasi, paling makan bubur, berapa sih berasnya. Sehingga seolah-olah tidak akan pernah cukup produksinya," tambahnya.
Lebih lanjut, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution, mengungkapkan bahwa Indonesia belum punya data beras sahih. Setiap tahunnya data beras yang dirilis Kementerian Pertanian (Kementan) selalu meleset.
Lantas, seberapa parah carut marut data beras nasional sebenarnya?
Dari sisi Kementan, dari dahulu data yang ditampilkan selalu optimis. Merujuk buku Statistik Pertanian 2017, produksi padi (kualitas gabah kering giling) terus meningkat sejak tahun 2013.
Berdasarkan data realisasi terakhir, produksi padi RI mencapai 79,35 juta ton pada 2016, naik sekitar 8,07 juta ton (11,32%) sejak tahun 2013.
Pada tahun 2017, Kementan malah meramalkan produksi bakal naik lebih kencang lagi, yakni sebesar 2,03 juta ton (2,56%) ke angka 81,38 juta ton. Mengutip keterangan resmi Kementan, nilai produksi tahun 2017 tersebut merupakan Angka Ramalan II yang merupakan hasil rakor pembahasan Kementan-Badan Pusat Statistik (BPS).
Apabila menggunakan rasio konversi gabah ke beras teranyar yang digunakan Kementan sebesar 58,13%, maka produksi beras pada tahun 2017 setidaknya mencapai 47,31 juta ton.
Di sisi lain, konsumsi beras dan olahannya juga menunjukkan kenaikan secara substansial dari tahun ke tahun. Berdasarkan data BPS, konsumsi beras per kapita mencapai 114,6 kg/kapita pada tahun 2017. Jumlah itu meningkat sekitar 16,95 kg/kapita sejak tahun 2012.
Apabila menggunakan jumlah penduduk yang diproyeksikan BPS sebesar 261,89 juta orang pada 2017 (mengacu pada Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035), total konsumsi beras pada tahun lalu mencapai 30,01 juta ton.
Jumlah total konsumsi sebesar itu naik sekitar 5,78 juta ton (sekitar 24%) sejak tahun 2013 lalu. Peningkatannya bahkan lebih signifikan dibandingkan dengan kenaikan produksi yang hanya sebesar 11% di periode yang sama.
Apabila mengacu pada data-data Kementan dan BPS di atas, sebenarnya total produksi beras pada tahun 2017 (47,31 juta ton) masih jauh mengungguli besaran konsumsi sebesar 30,01 juta ton. Dengan kata lain, sebenarnya di tahun lalu RI menikmati surplus beras sebesar 17,29 juta ton.
Bahkan, tidak hanya di tahun 2017 saja, negeri ini sebenarnya sudah menikmati surplus beras dalam jumlah raksasa dari tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2016, surplus beras malah mencapai jumlah yang amat masif, yakni sebesar 20,11 juta ton.
Sebagai catatan, tim riset CNBC Indonesia tidak menghiraukan nilai ekspor, karena jumlahnya relatif amat kecil, yakni hanya sebesar 3.500 ton saja pada tahun 2017. Pada tahun sebelumnya, volume ekspornya 1.000 ton saja tidak sampai.
Jika data Kementan dan BPS ini benar, impor beras yang tiap tahun "hobi" dilakukan pemerintah lantas menimbulkan tanda tanya besar. Tahun ini, pemerintah secara resmi telah mengeluarkan izin impor beras sebesar 2 juta ton. Lantas ke mana perginya surplus belasan juta ton pada tahun 2017?
Lalu jika pada tahun 2016 surplus beras mencapai 20,11 juta ton, mengapa pemerintah masih mengimpor 1,3 juta ton beras?
Hipotesis yang muncul adalah data ramalan Kementan pada tahun 2017, termasuk data-data produksi yang dikeluarkan BPS dan Kementan beberapa tahun terakhir, cenderung over-estimated. Atau bahasa gaulnya "lebay".
Atau bisa juga data konsumsi beras per kapita yang dirilis BPS cenderung under-estimated. Artinya, realisasi konsumsi beras di dunia nyata jauh lebih tinggi dibandingkan ukuran data BPS.
Buktinya, kondisi surplus beras yang disampaikan Kementan dan BPS justru bertolak belakang dengan data yang dirilis Kementerian Perdagangan (Kemendag). Data teranyar dari Kemendag justru menunjukkan bahwa RI jauh dari kata negeri agraris. Tidak ada namanya beras asal Indonesia melimpah ruah.
Menurut data Kemendag, stok beras dalam negeri justru terus anjlok sejak bulan April 2017. Pada bulan Januari 2018 dan Februari 2018 bahkan sudah membukukan defisit masing-masing sebesar 48 ribu ton dan 246 ribu ton. Selepas Maret, baru data beras menunjukkan adanya perbaikan, namun jumlahnya tetap minim.
Per September 2018, stok beras RI tercatat sebesar 1,83 juta ton. Jumlah itu terdiri dari stok beras dalam negeri yang hanya sebesar 339 ribu ton, serta stok beras eks impor sebesar 1,49 juta ton. Klaim Kementan terkait surplus belasan juta ton pada tahun 2017 sama sekali tidak tercermin pada data Kemendag.
Perlu dicatat bahwa belum tentu data BPS dan Kementan merupakan biang kerok polemik beras saat ini. Angka ramalan Kementan di tahun 2017 memang bisa saja meleset. Namanya saja ramalan. Tapi, jika menuduh data produksi dan konsumsi yang dikeluarkan BPS dan Kementan pada beberapa tahun sebelumnya itu salah total, sebenarnya tidak bijak juga.
Jangan lupa, setidaknya hingga tahun 2015, BPS tetap lembaga sah yang mengeluarkan angka-angka tersebut. Artinya, surplus beras periode 2013-2016 yang disampaikan di atas setidaknya dapat dilegitimasi. Toh, data itu sudah direstui oleh BPS, dalam rakor dengan Kementan.
Kenyataannya, dengan data surplus yang terlegitimasi itu, pemerintah selalu melakukan impor dalam beberapa tahun terakhir. Alhasil, sebenarnya muncul hipotesis yang lain. Data BPS dan Kementan sebenarnya sudah valid, akan tetapi ada "penyelewengan" yang dilakukan. Impor beras memang sengaja dilakukan hanya untuk memuaskan nafsu para pemburu rente.
Sebagai penutup, apapun hipotesis yang muncul, tidak pernah ada solusi yang bisa diterapkan jika data beras masih carut marut seperti ini. Selama tidak ada "one data" yang disepakati secara bersama, maka polemik akan selalu terjadi. Pada akhirnya, misteri impor beras negara agraris tidak akan pernah terpecahkan.
(RHG/ray) Next Article Ombudsman Turun Tangan, Ada Tak Beres Rencana Impor Beras!
Menurut Buwas yang juga mantan kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) itu, Indonesia sebetulnya memang tidak perlu mengimpor beras. Salah satu alasan yang dilemparkan Bulog adalah data yang tidak akurat. Budi Waseso mengatakan perkiraan konsumsi beras di Indonesia tidak menggambarkan kondisi riil.
"Kebutuhan masyarakat Indonesia per bulan 2,4-2,7 juta ton. [Itu] cara perhitungan BPS [dengan] 260 juta masyarakat Indonesia, [diyakini] setiap orang mengonsumsi 130 kg/tahun", ujar Budi Waseso yang akrab dipanggil Buwas.
Lebih lanjut, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution, mengungkapkan bahwa Indonesia belum punya data beras sahih. Setiap tahunnya data beras yang dirilis Kementerian Pertanian (Kementan) selalu meleset.
Lantas, seberapa parah carut marut data beras nasional sebenarnya?
Dari sisi Kementan, dari dahulu data yang ditampilkan selalu optimis. Merujuk buku Statistik Pertanian 2017, produksi padi (kualitas gabah kering giling) terus meningkat sejak tahun 2013.
Berdasarkan data realisasi terakhir, produksi padi RI mencapai 79,35 juta ton pada 2016, naik sekitar 8,07 juta ton (11,32%) sejak tahun 2013.
Pada tahun 2017, Kementan malah meramalkan produksi bakal naik lebih kencang lagi, yakni sebesar 2,03 juta ton (2,56%) ke angka 81,38 juta ton. Mengutip keterangan resmi Kementan, nilai produksi tahun 2017 tersebut merupakan Angka Ramalan II yang merupakan hasil rakor pembahasan Kementan-Badan Pusat Statistik (BPS).
Apabila menggunakan rasio konversi gabah ke beras teranyar yang digunakan Kementan sebesar 58,13%, maka produksi beras pada tahun 2017 setidaknya mencapai 47,31 juta ton.
Di sisi lain, konsumsi beras dan olahannya juga menunjukkan kenaikan secara substansial dari tahun ke tahun. Berdasarkan data BPS, konsumsi beras per kapita mencapai 114,6 kg/kapita pada tahun 2017. Jumlah itu meningkat sekitar 16,95 kg/kapita sejak tahun 2012.
Apabila menggunakan jumlah penduduk yang diproyeksikan BPS sebesar 261,89 juta orang pada 2017 (mengacu pada Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035), total konsumsi beras pada tahun lalu mencapai 30,01 juta ton.
Jumlah total konsumsi sebesar itu naik sekitar 5,78 juta ton (sekitar 24%) sejak tahun 2013 lalu. Peningkatannya bahkan lebih signifikan dibandingkan dengan kenaikan produksi yang hanya sebesar 11% di periode yang sama.
Apabila mengacu pada data-data Kementan dan BPS di atas, sebenarnya total produksi beras pada tahun 2017 (47,31 juta ton) masih jauh mengungguli besaran konsumsi sebesar 30,01 juta ton. Dengan kata lain, sebenarnya di tahun lalu RI menikmati surplus beras sebesar 17,29 juta ton.
Bahkan, tidak hanya di tahun 2017 saja, negeri ini sebenarnya sudah menikmati surplus beras dalam jumlah raksasa dari tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2016, surplus beras malah mencapai jumlah yang amat masif, yakni sebesar 20,11 juta ton.
Sebagai catatan, tim riset CNBC Indonesia tidak menghiraukan nilai ekspor, karena jumlahnya relatif amat kecil, yakni hanya sebesar 3.500 ton saja pada tahun 2017. Pada tahun sebelumnya, volume ekspornya 1.000 ton saja tidak sampai.
Jika data Kementan dan BPS ini benar, impor beras yang tiap tahun "hobi" dilakukan pemerintah lantas menimbulkan tanda tanya besar. Tahun ini, pemerintah secara resmi telah mengeluarkan izin impor beras sebesar 2 juta ton. Lantas ke mana perginya surplus belasan juta ton pada tahun 2017?
Lalu jika pada tahun 2016 surplus beras mencapai 20,11 juta ton, mengapa pemerintah masih mengimpor 1,3 juta ton beras?
Hipotesis yang muncul adalah data ramalan Kementan pada tahun 2017, termasuk data-data produksi yang dikeluarkan BPS dan Kementan beberapa tahun terakhir, cenderung over-estimated. Atau bahasa gaulnya "lebay".
Atau bisa juga data konsumsi beras per kapita yang dirilis BPS cenderung under-estimated. Artinya, realisasi konsumsi beras di dunia nyata jauh lebih tinggi dibandingkan ukuran data BPS.
Buktinya, kondisi surplus beras yang disampaikan Kementan dan BPS justru bertolak belakang dengan data yang dirilis Kementerian Perdagangan (Kemendag). Data teranyar dari Kemendag justru menunjukkan bahwa RI jauh dari kata negeri agraris. Tidak ada namanya beras asal Indonesia melimpah ruah.
Menurut data Kemendag, stok beras dalam negeri justru terus anjlok sejak bulan April 2017. Pada bulan Januari 2018 dan Februari 2018 bahkan sudah membukukan defisit masing-masing sebesar 48 ribu ton dan 246 ribu ton. Selepas Maret, baru data beras menunjukkan adanya perbaikan, namun jumlahnya tetap minim.
Per September 2018, stok beras RI tercatat sebesar 1,83 juta ton. Jumlah itu terdiri dari stok beras dalam negeri yang hanya sebesar 339 ribu ton, serta stok beras eks impor sebesar 1,49 juta ton. Klaim Kementan terkait surplus belasan juta ton pada tahun 2017 sama sekali tidak tercermin pada data Kemendag.
Perlu dicatat bahwa belum tentu data BPS dan Kementan merupakan biang kerok polemik beras saat ini. Angka ramalan Kementan di tahun 2017 memang bisa saja meleset. Namanya saja ramalan. Tapi, jika menuduh data produksi dan konsumsi yang dikeluarkan BPS dan Kementan pada beberapa tahun sebelumnya itu salah total, sebenarnya tidak bijak juga.
Jangan lupa, setidaknya hingga tahun 2015, BPS tetap lembaga sah yang mengeluarkan angka-angka tersebut. Artinya, surplus beras periode 2013-2016 yang disampaikan di atas setidaknya dapat dilegitimasi. Toh, data itu sudah direstui oleh BPS, dalam rakor dengan Kementan.
Kenyataannya, dengan data surplus yang terlegitimasi itu, pemerintah selalu melakukan impor dalam beberapa tahun terakhir. Alhasil, sebenarnya muncul hipotesis yang lain. Data BPS dan Kementan sebenarnya sudah valid, akan tetapi ada "penyelewengan" yang dilakukan. Impor beras memang sengaja dilakukan hanya untuk memuaskan nafsu para pemburu rente.
Sebagai penutup, apapun hipotesis yang muncul, tidak pernah ada solusi yang bisa diterapkan jika data beras masih carut marut seperti ini. Selama tidak ada "one data" yang disepakati secara bersama, maka polemik akan selalu terjadi. Pada akhirnya, misteri impor beras negara agraris tidak akan pernah terpecahkan.
(RHG/ray) Next Article Ombudsman Turun Tangan, Ada Tak Beres Rencana Impor Beras!
Most Popular