
Perundingan Dagang RI-Australia, Awas Defisit Makin Besar!
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
02 September 2018 16:47

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia dan Australia sepakat mendeklarasikan selesainya perundingan dagang Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA) pada Jumat (31/8/2018).
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan perjanjian dagang itu diharapkan dapat membawa hubungan kedua negara ke tingkat yang lebih tinggi.
"Penyelesaian IA-CEPA ini merupakan tonggak sejarah baru dalam hubungan ekonomi Indonesia-Australia. IA-CEPA bukanlah Free Trade Agreement (FTA) biasa, tetapi sebuah kemitraan komprehensif kedua Negara di bidang perdagangan barang, jasa, investasi, serta kerja sama ekonomi," jelasnya seperti dikutip dari siaran pers, Sabtu (1/9/2018).
Bicara dari sisi perdagangan, ekspor RI diestimasikan bisa meningkat dengan adanya kesepakatan IA-CEPA. Sebab, Australia telah memberikan komitmen untuk mengeliminasi bea masuk impor untuk seluruh pos tarifnya menjadi 0%.
Hal ini tentunya menjadi kabar baik bagi neraca perdagangan Indonesia yang akhir-akhir ini menjadi sorotan, karena nilai tukar rupiah yang terus anjlok. Mata uang tanah air bahkan sempat mencapai Rp14.700/US$ di pasar spot, beberapa waktu belakangan.
Terlebih, defisit perdagangan RI dengan Australia terus mengalami peningkatan signifikan sejak memasuki era pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Defisit perdagangan dengan Negeri Kanguru tercatat mencapai US$3,49 miliar (Rp50,6 triliun) pada tahun 2017. Nilai itu meningkat 420% dari capaian tahun 2013 (saat pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono) yang "hanya" sebesar US$670 juta (Rp9,71 triliun).
Berdasarkan penelusuran tim riset CNBC Indonesia, beberapa ekspor barang utama (khususnya non-migas) yang berpotensi digenjot lebih besar ke Australia adalah pakaian jadi dari tekstil, kayu olahan, damar buatan (resin sintetis), kertas tissue, ban luar dan ban dalam, besi/baja, dan peralatan listrik.
Dua komoditas non-migas yang paling banyak diekspor RI ke Australia pada tahun lalu adalah pakaian jadi dari tekstil yang mencapai US$165,94 juta (Rp2,41 triliun), dan kayu olahan sebesar US$124,75 juta (Rp1,81 triliun).
Meski demikian, perlu dicatat bahwa pembebasan bea masuk juga berlaku untuk beberapa produk asal Australia. Dengan posisi Negeri Kanguru yang lebih banyak mengirim barang ke Indonesia, tentunya hal ini juga berpotensi menambah besar defisit perdagangan Indonesia.
Sebagai contoh, mengutip The Sydney Morning Herald, 500 ribu ton gandum akan dieskspor ke Indonesia dengan bebas bea masuk, di bawah kesepakatan IA-CEPA terbaru. Padahal, bukan batu bara ataupun minyak mentah, melainkan gandum yang merupakan komoditas impor terbesar RI dari Australia di tahun lalu.
Indonesia mengimpor komoditas gandum dan meslin (kode HS 041) mencapai US$1,17 miliar (Rp16,96 triliun) pada 2017. Nilainya bahkan mencapai 8 kali lipat dari ekspor pakaian jadi dari tekstil RI, yang merupakan produk ekspor non-migas utama ke Australia.
Belum lagi melihat defisit perdagangan minyak mentah yang mencapai US$384,38 juta (Rp5,57 triliun) pada tahun lalu. RI memang mengekspor minyak mentah senilai US$527,4 juta (Rp7,65 triliun) ke Australia pada tahun 2017. Sayangnya, impor minyak mentah dari Australia jauh lebih besar, yakni sebesar US$911,79 juta (Rp13,22 triliun) di periode yang sama.
Oleh karena itu, menarik untuk disimak apakah keberhasilan perundingan IA-CEPA mampu memberikan manfaat yang maksimal bagi Indonesia? Apabila tidak mampu menyelamatkan defisit perdagangan RI-Australia yang semakin parah di era Jokowi-JK, semoga saja bisa memberikan manfaat di bidang investasi dan kerja sama ekonomi lainnya.
(RHG/RHG) Next Article Australia Beri Tarif Impor 0% untuk Produk Mobil Indonesia
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan perjanjian dagang itu diharapkan dapat membawa hubungan kedua negara ke tingkat yang lebih tinggi.
"Penyelesaian IA-CEPA ini merupakan tonggak sejarah baru dalam hubungan ekonomi Indonesia-Australia. IA-CEPA bukanlah Free Trade Agreement (FTA) biasa, tetapi sebuah kemitraan komprehensif kedua Negara di bidang perdagangan barang, jasa, investasi, serta kerja sama ekonomi," jelasnya seperti dikutip dari siaran pers, Sabtu (1/9/2018).
Hal ini tentunya menjadi kabar baik bagi neraca perdagangan Indonesia yang akhir-akhir ini menjadi sorotan, karena nilai tukar rupiah yang terus anjlok. Mata uang tanah air bahkan sempat mencapai Rp14.700/US$ di pasar spot, beberapa waktu belakangan.
Terlebih, defisit perdagangan RI dengan Australia terus mengalami peningkatan signifikan sejak memasuki era pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Defisit perdagangan dengan Negeri Kanguru tercatat mencapai US$3,49 miliar (Rp50,6 triliun) pada tahun 2017. Nilai itu meningkat 420% dari capaian tahun 2013 (saat pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono) yang "hanya" sebesar US$670 juta (Rp9,71 triliun).
Berdasarkan penelusuran tim riset CNBC Indonesia, beberapa ekspor barang utama (khususnya non-migas) yang berpotensi digenjot lebih besar ke Australia adalah pakaian jadi dari tekstil, kayu olahan, damar buatan (resin sintetis), kertas tissue, ban luar dan ban dalam, besi/baja, dan peralatan listrik.
Dua komoditas non-migas yang paling banyak diekspor RI ke Australia pada tahun lalu adalah pakaian jadi dari tekstil yang mencapai US$165,94 juta (Rp2,41 triliun), dan kayu olahan sebesar US$124,75 juta (Rp1,81 triliun).
Meski demikian, perlu dicatat bahwa pembebasan bea masuk juga berlaku untuk beberapa produk asal Australia. Dengan posisi Negeri Kanguru yang lebih banyak mengirim barang ke Indonesia, tentunya hal ini juga berpotensi menambah besar defisit perdagangan Indonesia.
Sebagai contoh, mengutip The Sydney Morning Herald, 500 ribu ton gandum akan dieskspor ke Indonesia dengan bebas bea masuk, di bawah kesepakatan IA-CEPA terbaru. Padahal, bukan batu bara ataupun minyak mentah, melainkan gandum yang merupakan komoditas impor terbesar RI dari Australia di tahun lalu.
Indonesia mengimpor komoditas gandum dan meslin (kode HS 041) mencapai US$1,17 miliar (Rp16,96 triliun) pada 2017. Nilainya bahkan mencapai 8 kali lipat dari ekspor pakaian jadi dari tekstil RI, yang merupakan produk ekspor non-migas utama ke Australia.
Belum lagi melihat defisit perdagangan minyak mentah yang mencapai US$384,38 juta (Rp5,57 triliun) pada tahun lalu. RI memang mengekspor minyak mentah senilai US$527,4 juta (Rp7,65 triliun) ke Australia pada tahun 2017. Sayangnya, impor minyak mentah dari Australia jauh lebih besar, yakni sebesar US$911,79 juta (Rp13,22 triliun) di periode yang sama.
Oleh karena itu, menarik untuk disimak apakah keberhasilan perundingan IA-CEPA mampu memberikan manfaat yang maksimal bagi Indonesia? Apabila tidak mampu menyelamatkan defisit perdagangan RI-Australia yang semakin parah di era Jokowi-JK, semoga saja bisa memberikan manfaat di bidang investasi dan kerja sama ekonomi lainnya.
(RHG/RHG) Next Article Australia Beri Tarif Impor 0% untuk Produk Mobil Indonesia
Most Popular