
Trump Mungkin Menyebalkan, Tapi Dia Membawa Kemakmuran
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
15 August 2018 12:11

Namun, kebijakan populis a la Trump bukan tanpa risiko. Dalam jangka panjang, kebijakan ini justru mendatangkan banyak mudarat kepada AS.
Pertama, kebijakan bea masuk yang sporadis yang menyasar ratusan atau bahkan ribuan produk mungkin saat ini berdampak positif. Impor AS berkurang dan mata uang dolar AS kian perkasa.
Akan tetapi, bagaimanapun dunia sudah saling terhubung. Tidak mungkin AS bisa terus-terusan subsisten alias biasa memenuhi kebutuhannya sendiri. Pasti butuh produk-produk yang harus diimpor, terutama bahan baku.
Akibat pengenaan bea masuk, proses importasi menjadi memakan lebih banyak biaya. Dunia usaha yang membayar lebih mahal untuk mendatangkan barang dari luar negeri akan meneruskan beban ini kepada konsumen. Hasilnya adalah inflasi, monster jahat yang menggerogoti daya beli masyarakat.
Laju inflasi yang terakselerasi memang menunjukkan geliat ekonomi. Namun kalau terlalu tinggi juga tidak sehat.
The Federal Reserve/The Fed, Bank Sentral AS, menetapkan target inflasi di kisaran 2% dalam jangka menengah. Inflasi di level tersebut dinilai ideal, sehat bagi perekonomian AS.
Kini target itu sudah tercapai, dan bukan tidak mungkin inflasi akan terus melaju dan jauh melampaui target tersebut. Artinya inflasi menuju ke arah yang sudah tidak sehat.
Risiko kedua adalah insentif pajak yang diberikan Trump dibarengi dengan tambahan belanja, utamanya untuk infrastruktur. Ini bisa jadi bom waktu dalam jangka menengah dan panjang. Defisit fiskal AS pun berpotensi membengkak.
Badan Anggaran Kongres AS memperkirakan defisit anggaran negara pada 2019 sebesar US$ 3,49 triliun. Setahun kemudian, defisit diperkirakan membengkak menjadi US$ 3,68 triliun.
Situasi ini tentu mengharuskan pemerintah AS berutang lebih banyak untuk tutup defisit anggaran. Seperti hukum pasar, ketika pasokan suatu barang bertambah maka harganya cenderung turun. Itulah yang mungkin akan terjadi terhadap obligasi pemerintah AS. Harganya semakin turun dan imbal hasil (yield) terkerek ke atas.
Pemerintah AS nantinya harus memberi pemanis bagi investor yang ingin membeli obligasi murahan ini, yaitu dengan memberikan imbalan tinggi. Hasilnya adalah beban fiskal akan semakin berat karena biaya penerbitan obligasi meningkat.
Sekarang (atau beberapa waktu ke depan) Trump mungkin masih menikmati masa panen dari berbagai kebijakannya. Namun ke depan, berbagai kebijakan itu berpotensi menjadi bumerang yang akan menyerangnya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/roy)
Pertama, kebijakan bea masuk yang sporadis yang menyasar ratusan atau bahkan ribuan produk mungkin saat ini berdampak positif. Impor AS berkurang dan mata uang dolar AS kian perkasa.
Akan tetapi, bagaimanapun dunia sudah saling terhubung. Tidak mungkin AS bisa terus-terusan subsisten alias biasa memenuhi kebutuhannya sendiri. Pasti butuh produk-produk yang harus diimpor, terutama bahan baku.
Laju inflasi yang terakselerasi memang menunjukkan geliat ekonomi. Namun kalau terlalu tinggi juga tidak sehat.
The Federal Reserve/The Fed, Bank Sentral AS, menetapkan target inflasi di kisaran 2% dalam jangka menengah. Inflasi di level tersebut dinilai ideal, sehat bagi perekonomian AS.
Kini target itu sudah tercapai, dan bukan tidak mungkin inflasi akan terus melaju dan jauh melampaui target tersebut. Artinya inflasi menuju ke arah yang sudah tidak sehat.
Risiko kedua adalah insentif pajak yang diberikan Trump dibarengi dengan tambahan belanja, utamanya untuk infrastruktur. Ini bisa jadi bom waktu dalam jangka menengah dan panjang. Defisit fiskal AS pun berpotensi membengkak.
Badan Anggaran Kongres AS memperkirakan defisit anggaran negara pada 2019 sebesar US$ 3,49 triliun. Setahun kemudian, defisit diperkirakan membengkak menjadi US$ 3,68 triliun.
Situasi ini tentu mengharuskan pemerintah AS berutang lebih banyak untuk tutup defisit anggaran. Seperti hukum pasar, ketika pasokan suatu barang bertambah maka harganya cenderung turun. Itulah yang mungkin akan terjadi terhadap obligasi pemerintah AS. Harganya semakin turun dan imbal hasil (yield) terkerek ke atas.
Pemerintah AS nantinya harus memberi pemanis bagi investor yang ingin membeli obligasi murahan ini, yaitu dengan memberikan imbalan tinggi. Hasilnya adalah beban fiskal akan semakin berat karena biaya penerbitan obligasi meningkat.
Sekarang (atau beberapa waktu ke depan) Trump mungkin masih menikmati masa panen dari berbagai kebijakannya. Namun ke depan, berbagai kebijakan itu berpotensi menjadi bumerang yang akan menyerangnya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/roy)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular