'Harga Pangan di RI Mahal, Keran Impor Perlu Tetap Dibuka'

Samuel Pablo, CNBC Indonesia
14 August 2018 17:28
Menurut data CIPS, harga beras premium di RI mencapai Rp 12.560/kg atau lebih tinggi dari Singapura, Malaysia dan Thailand.
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menilai harga pangan di Indonesia adalah yang paling mahal dibandingkan dengan negara-negara tetangga.

Data Indeks Bulanan Rumah Tangga CIPS per Juli 2018 mengungkapkan harga beras premium di Indonesia mencapai Rp 12.560/kg, sementara itu di Singapura Rp 11.635/kg, Malaysia Rp 9.183/kg dan Thailand Rp 7.419/kg.

Di samping itu, data tersebut juga menunjukkan harga beras di Tanah Air telah naik lebih dari 100% dibandingkan harga acuan beras dunia, yakni beras Thailand.

Adapun untuk telur ayam, harga Rp 18.900/kg di Indonesia juga masih lebih mahal dibandingkan dengan Malaysia Rp 12.764/kg dan masih lebih murah dibandingkan dengan Thailand Rp 35.370/kg.

Menyusul hal tersebut, Kepala Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Hizkia Respatiadi mengatakan pemerintah dapat tetap membuka keran impor jika memang bertujuan untuk menurunkan harga pangan.



"Jadi meskipun secara data statistik menunjukkan produksi di atas konsumsi, tapi kita lihat saja kenyataannya, harga pangan kita jauh di atas negara-negara tetangga dan harga yang jadi standar dunia. Itu menunjukkan produksi kita sebenarnya tidak sebanyak yang resmi diberitakan, tetapi justru kurang dari itu," jelas Hizkia kepada CNBC Indonesia di bilangan Senopati, Jaksel, Selasa (14/8/2018).

Hizkia menjelaskan, pertumbuhan penduduk Indonesia tergolong cukup pesat, dengan konsumen kelas menengah (middle-class consumer) tumbuh 10% per tahun. Dengan kekuatan ekonomi yang lebih baik, tentu golongan ini membutuhkan produk makanan yang lebih berkualitas dalam jumlah lebih banyak.

"Akhirnya, saat tidak bisa dipenuhi produsen domestik, sementara impornya dibatasi, akhirnya harga menjadi mahal. Jadi impor jangan dilihat sebagai sesuatu yang tabu, tapi mekanisme untuk memenuhi ketahanan pangan selama kita belum mampu memproduksi sendiri," ujarnya.

Hizkia mengatakan, kebijakan swasembada pangan justru mengakibatkan kenaikan harga karena adanya hambatan non-tarif untuk impor pangan, kurang kompetitifnya persaingan di pasar bahan pangan, serta proses distribusi yang rumit sehingga berpotensi menciptakan kartel. Pada akhirnya, konsumen yang harus membayar.
(ray/ray) Next Article PSBB Nothing! Viral Pengunjung Membeludak di Pasar

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular