
Ma'ruf Amin Ingin Setop Impor Jagung? Masuk Akal, Asalkan..
Raditya Hanung Prakoswa, CNBC Indonesia
10 August 2018 15:43

Jakarta, CNBC Indonesia - KH Ma'ruf Amin bicara soal visinya sebagai calon wakil presiden yang dipilih Joko Widodo untuk pencalonan presiden periode 2019-2024.
Dalam pernyatannya pasca resmi menjadi calon wakil presiden, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini menekankan untuk tidak ada lagi impor di negeri ini.
"Tidak boleh negara ini tergantung pangan dari luar negeri, makanya kita harus penuhi. Tidak boleh ada impor. Masa impor jagung, gula," ujarnya.
(RHG/RHG) Next Article Di Balik Layar Menuju Deklarasi Jokowi-Ma'ruf Amin
Dalam pernyatannya pasca resmi menjadi calon wakil presiden, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini menekankan untuk tidak ada lagi impor di negeri ini.
"Tidak boleh negara ini tergantung pangan dari luar negeri, makanya kita harus penuhi. Tidak boleh ada impor. Masa impor jagung, gula," ujarnya.
Menurutnya negara ini punya sumber daya alam yang cukup, baik dari sisi sumber daya alam maupun manusia. Tetapi, ia heran kenapa negeri ini tidak memiliki kemampuannya sendiri. "Kita enggak boleh negara pengimpor, tapi pengekspor dengan melakukan teknologi tinggi."
Pertanyaannya, bisakah Indonesia berhenti mengimpor komoditas pangan yang disebutkan oleh Ma'ruf Amin? Berikut ulasan tim riset CNBC Indonesia, khusus untuk komoditas jagung.
Peluang Indonesia untuk berhenti mengimpor komoditas jagung sebenarnya terbuka lebar. Pasalnya, mengacu data dari Kementerian Pertanian (Kementan), Indonesia mencatatkan pertumbuhan produksi jagung yang cukup signifikan dalam beberapa tahun terakhir.
Pada tahun 2016, produksi jagung nasional mencapai 23,58 juta ton, atau naik 20,24% dari capaian tahun 2015 yang sebesar 19,61 juta ton. Sementara itu, berdasarkan Angka Ramalan II tahun 2017 dari Kementan, produksi jagung di Tanah Air pada tahun 2017 diramal menembus angka 27,95 juta ton, atau tumbuh 18,53% secara tahunan.
Pertumbuhan produksi jagung yang kontinu selama 5 tahun terakhir tidak lepas dari luas panen jagung yang juga terus bertambah secara berkesinambungan. Pada tahun lalu, luas panen jagung diramal bertambah sebesar 20,95% secara tahunan, dari 4,44 juta Hektar menjadi 5,37 juta Hektar.
Kemudian, apabila ditinjau dari sisi permintaan, Kementan dan Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa kebutuhan jagung mencapai 17,51 juta ton pada tahun 2016. Jumlah itu terdiri dari kebutuhan bibit sebesar 96.000 ton, pakan ternak 12,4 juta ton, konsumsi langsung 0,42 juta ton, dan bahan baku industri makanan minuman (Mamin) 4,59 juta ton.
Pada publikasi Outlook Jagung 2016, Kementan dan BPS juga membuat proyeksi kebutuhan jagung tahun 2017 yang mencapai 18,27 juta ton, secara total. Dengan menggunakan data-data tersebut, dapat dihitung bahwa komoditas jagung nasional mampu mencatatkan surplus dalam jumlah yang cukup besar pada tahun 2016 dan 2017 masing-masing sebesar 6,07 juta ton dan 9,68 juta ton.
Sayangnya meski mampu mencatatkan surplus sedemikian besar, ternyata Indonesia merupakan negara net importir jagung. Pada tahun 2016, Indonesia mengimpor jagung sebesar 1,14 juta ton, jauh lebih besar dari volume ekspor jagung yang hanya sebesar 15,21 ribu ton. Artinya, pada periode itu, Indonesia mengalami defisit perdagangan jagung hingga 1,12 juta ton!
Sebagai informasi, pada tahun 2014, defisit perdagangan jagung Indonesia bahkan mencapai 3,21 juta ton. Hal ini lantas menimbulkan tanda tanya besar. "Produksi surplus, tapi mengapa masih defisit impor?". Pertanyaan ini pula yang nampaknya muncul di benak Ma'ruf Amin.
Meski demikian, ada secercah harapan. Pada tahun 2017 impor jagung turun cukup drastis ke angka 474,85 ribu ton. Dampak terus tumbuhnya produksi jagung nasional nampaknya mulai membuahkan hasil. Pemerintah bahkan mengklaim bahwa tahun lalu, RI sudah tidak lagi mengimpor jagung untuk kebutuhan pakan ternak. Jagung yang diimpor hanya untuk kebutuhan industri makanan dan minuman.
Melihat tren impor yang terus menurun ini, Ma'ruf Amin sebenarnya punya momentum yang cukup kuat untuk membebaskan Indonesia dari impor jagung. Tapi, untuk menekannya benar-benar ke angka "nol", nampaknya mantan anggota Dewan Pertimbangan Presiden itu punya Pekerjaan Rumah yang besar.
Pada Februari 2018 ini, Kementerian Perdagangan (Kemendag) kembali mengeluarkan izin impor jagung sebanyak 171,66 ribu ton, yang hanya akan digunakan sebagai bahan baku untuk produk makanan dan minuman yang akan diekspor.
Sebagai catatan, faktor harga jual lebih ekonomis serta mutu jagung yang memenuhi standar pabrik seringkali menjadi alasan jagung impor lebih disukai pengusaha dan pelaku industri dibanding jagung lokal.
Mengutip data Food and Agriculture Organization (FAO) rata-rata harga jagung internasional saat ini berada di kisaran US$148/ton atau sekitar Rp 2.000/ kilogram. Sementara Harga Pembelian Pemerintah (HPP) jagung lokal sebesar Rp3.150/kilogram.
Oleh karena itu, untuk bisa memutus jalur impor jagung dari luar negeri, mau tidak mau Ma'ruf Amin perlu memikirkan investasi teknologi apa yang tepat untuk meningkatkan mutu jagung domestik, sekaligus mampu menekan biaya produksinya. Jika itu bisa dilakukan, cita-cita "Indonesia Swasembada Jagung" bisa dicapai.
Pertanyaannya, bisakah Indonesia berhenti mengimpor komoditas pangan yang disebutkan oleh Ma'ruf Amin? Berikut ulasan tim riset CNBC Indonesia, khusus untuk komoditas jagung.
Peluang Indonesia untuk berhenti mengimpor komoditas jagung sebenarnya terbuka lebar. Pasalnya, mengacu data dari Kementerian Pertanian (Kementan), Indonesia mencatatkan pertumbuhan produksi jagung yang cukup signifikan dalam beberapa tahun terakhir.
Pada tahun 2016, produksi jagung nasional mencapai 23,58 juta ton, atau naik 20,24% dari capaian tahun 2015 yang sebesar 19,61 juta ton. Sementara itu, berdasarkan Angka Ramalan II tahun 2017 dari Kementan, produksi jagung di Tanah Air pada tahun 2017 diramal menembus angka 27,95 juta ton, atau tumbuh 18,53% secara tahunan.
Pertumbuhan produksi jagung yang kontinu selama 5 tahun terakhir tidak lepas dari luas panen jagung yang juga terus bertambah secara berkesinambungan. Pada tahun lalu, luas panen jagung diramal bertambah sebesar 20,95% secara tahunan, dari 4,44 juta Hektar menjadi 5,37 juta Hektar.
Kemudian, apabila ditinjau dari sisi permintaan, Kementan dan Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa kebutuhan jagung mencapai 17,51 juta ton pada tahun 2016. Jumlah itu terdiri dari kebutuhan bibit sebesar 96.000 ton, pakan ternak 12,4 juta ton, konsumsi langsung 0,42 juta ton, dan bahan baku industri makanan minuman (Mamin) 4,59 juta ton.
Pada publikasi Outlook Jagung 2016, Kementan dan BPS juga membuat proyeksi kebutuhan jagung tahun 2017 yang mencapai 18,27 juta ton, secara total. Dengan menggunakan data-data tersebut, dapat dihitung bahwa komoditas jagung nasional mampu mencatatkan surplus dalam jumlah yang cukup besar pada tahun 2016 dan 2017 masing-masing sebesar 6,07 juta ton dan 9,68 juta ton.
Sayangnya meski mampu mencatatkan surplus sedemikian besar, ternyata Indonesia merupakan negara net importir jagung. Pada tahun 2016, Indonesia mengimpor jagung sebesar 1,14 juta ton, jauh lebih besar dari volume ekspor jagung yang hanya sebesar 15,21 ribu ton. Artinya, pada periode itu, Indonesia mengalami defisit perdagangan jagung hingga 1,12 juta ton!
Sebagai informasi, pada tahun 2014, defisit perdagangan jagung Indonesia bahkan mencapai 3,21 juta ton. Hal ini lantas menimbulkan tanda tanya besar. "Produksi surplus, tapi mengapa masih defisit impor?". Pertanyaan ini pula yang nampaknya muncul di benak Ma'ruf Amin.
Meski demikian, ada secercah harapan. Pada tahun 2017 impor jagung turun cukup drastis ke angka 474,85 ribu ton. Dampak terus tumbuhnya produksi jagung nasional nampaknya mulai membuahkan hasil. Pemerintah bahkan mengklaim bahwa tahun lalu, RI sudah tidak lagi mengimpor jagung untuk kebutuhan pakan ternak. Jagung yang diimpor hanya untuk kebutuhan industri makanan dan minuman.
Melihat tren impor yang terus menurun ini, Ma'ruf Amin sebenarnya punya momentum yang cukup kuat untuk membebaskan Indonesia dari impor jagung. Tapi, untuk menekannya benar-benar ke angka "nol", nampaknya mantan anggota Dewan Pertimbangan Presiden itu punya Pekerjaan Rumah yang besar.
Pada Februari 2018 ini, Kementerian Perdagangan (Kemendag) kembali mengeluarkan izin impor jagung sebanyak 171,66 ribu ton, yang hanya akan digunakan sebagai bahan baku untuk produk makanan dan minuman yang akan diekspor.
Sebagai catatan, faktor harga jual lebih ekonomis serta mutu jagung yang memenuhi standar pabrik seringkali menjadi alasan jagung impor lebih disukai pengusaha dan pelaku industri dibanding jagung lokal.
Mengutip data Food and Agriculture Organization (FAO) rata-rata harga jagung internasional saat ini berada di kisaran US$148/ton atau sekitar Rp 2.000/ kilogram. Sementara Harga Pembelian Pemerintah (HPP) jagung lokal sebesar Rp3.150/kilogram.
Oleh karena itu, untuk bisa memutus jalur impor jagung dari luar negeri, mau tidak mau Ma'ruf Amin perlu memikirkan investasi teknologi apa yang tepat untuk meningkatkan mutu jagung domestik, sekaligus mampu menekan biaya produksinya. Jika itu bisa dilakukan, cita-cita "Indonesia Swasembada Jagung" bisa dicapai.
(RHG/RHG) Next Article Di Balik Layar Menuju Deklarasi Jokowi-Ma'ruf Amin
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular