Menjual 'Tanah Air' Demi Menyelamatkan Rupiah

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
27 July 2018 20:03
Menjual 'Tanah Air' Demi Menyelamatkan Rupiah
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto
Jakarta, CNBC Indonesia - Langkah penyelamatan rupiah memasuki babak baru. Semakin lama, langkah yang ditempuh pemerintah kian signifikan. 

Rupiah menjadi salah satu mata uang Asia yang mengalami tekanan cukup berat, melemah 6,2% terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sejak awal tahun. Hanya rupee India yang depresiasinya lebih dalam dibandingkan rupiah. 

Menjual 'Tanah Air' Demi Menyelamatkan RupiahReuters

Melihat perkembangan ini, menjaga stabilitas rupiah menjadi prioritas bagi Bank Indonesia (BI) dan pemerintah. Sebab, depresiasi mata uang tidak membawa keuntungan bagi Indonesia.

Pelemahan rupiah hanya membawa beban, karena tidak mendongkrak kinerja ekspor dan menambah biaya impor. Belum lagi di pasar keuangan, pelemahan rupiah juga bukan kabar gembira. Saat rupiah melemah, berinvestasi di aset-aset berbasis mata uang ini menjadi kurang menguntungkan karena nilainya turun saat dikonversikan ke dolar AS. Investor asing menghindar dari pasar Indonesia saat rupiah melemah. 

Ini menjadi salah satu penyebab nilai jual bersih investor asing di pasar saham mencapai Rp 19,14 triliun sejak awal tahun. Padahal sepanjang 2017, jual bersih investor asing 'hanya' Rp 39,9 triliun. 

Oleh karena itu, tidak heran bila pemerintah dan BI terus melakukan upaya stabilisasi rupiah. Bahkan BI sampai menaikkan suku bunga acuan 100 basis poin dalam 3 bulan demi memancing modal asing masuk agar rupiah bisa menguat. 

Bagaimana dengan pemerintah? Pemerintah sedang mengkaji penundaan proyek-proyek infrastruktur non-prioritas untuk mengurangi impor yang menjadi salah satu biang keladi tekanan terhadap rupiah. Rencana ini sepertinya diapresiasi pasar, terlihat dari penguatan rupiah dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) hari ini. 


Hari ini, pemerintah kembali mengumumkan kebijakan penyelamatan rupiah yang dampaknya cukup luas. Pemerintah memutuskan untuk mencabut Domestic Market Obligation (DMO) atau kewajiban memasok batu bara dalam kuota tertentu ke pasar dalam negeri. Dengan begitu, ekspor batu bara bisa meningkat.

"Jadi kalau kita jual nanti bisa dapat lebih US$ 5 miliar. Produksi segitu saja kita sudah dapat segitu. Itu berdampak baik terhadap current account deficit kita, jadi tidak defisit dan rupiah stabil," ungkap Luhut Binsar Pandjaitan, Menko Bidang Kemaritiman, Jumat (27/7/2018).
Kebijakan DMO mulia berlaku pada 2009, seiring penerapan UU Mineral dan Batu Bara (Minerba). Tujuannya adalah memastikan kebutuhan dalam negeri tercukupi. Tujuan lainnya adalah untuk membatasi ekspor komoditas, agar Indonesia tidak lagi bergantung kepada menjual barang mentah. 

Tujuan kedua itu yang sebenarnya sangat mulia. Indonesia memang sudah saatnya jangan lagi tergantung pada ekspor barang mentah. Sudah bukan saatnya Indonesia menjual 'tanah air', menggali tanah untuk mendapatkan komoditas dan menjualnya begitu saja tanpa proses lanjutan. 

Hilirisasi dan industrialisasi adalah tujuan besar dari UU Minerba. Melalui UU ini, pemerintah mendapat amanat untuk membangun industri pengolahan berbasis sumber daya alam agar Indonesia bisa menikmati nilai tambahnya.  

Harga barang yang dijual akan lebih mahal bila diolah, dan tentunya menciptakan lebih banyak lapangan kerja. Ekonomi Indonesia akan lebih berkualitas. 

Kita tentu berharap agar kebijakan pencabutan DMO ini hanya sementara. Sebab jika terlalu lama, Indonesia akan kembali terlena dengan terus menjual 'tanah air' tanpa membangun industri pengolahan. 

Inilah yang sepertinya terjadi setelah pengesahan UU Minerba. Beberapa waktu setelah UU itu disahkan, harga komoditas melejit karena saat itu dunia baru pulih dari krisis keuangan global. Pertumbuhan ekonomi terakselerasi, permintaan bangkit, dan harga komoditas pun meroket.  

Tidak terkecuali batu bara. Harga yang awalnya di kisaran US$ 93/metrik ton pada September 2010 melesat ke US$ 139/metrik ton pada awal 2011. Naik 49,5% hanya dalam hitungan bulan. 

Menjual 'Tanah Air' Demi Menyelamatkan RupiahReuters

Harga batu bara yang ciamik membuat Indonesia terlena. Ekspor komoditas ini pun melejit.

Pada September 2010, ekspor bahan bakar mineral adalah US$ 1,33 miliar. Kemudian pada Januari 2011, nilainya naik 39,09% menjadi US$ 1,83 miliar. Ekonomi yang bergantung kepada komoditas sebenarnya membuat rupiah justru menjadi rentan. Ekspor komoditas tidak menghasilkan devisa yang optimal sehingga rupiah tidak punya penyangga yang kuat.  

Tentu berbeda kalau menjual produk olahan, yang harga berkali lipat. Pastinya juga akan menghasilkan devisa yang berlipat. Semakin tebal cadangan devisa, tentu mata uang lebih punya pijakan untuk menguat.

Ekonomi yang tidak terdiversifikasi juga memunculkan risiko besar. Saat harga komoditas andalan jatuh, ekspor pun ikut melambat.

Inilah yang sedang terjadi saat ini, karena komoditas utama andalan ekspor Indonesia yaitu minyak sawit mentah (CPO) sedang turun. Sebagai catatan, batu bara adalah komoditas andalan ekspor kedua. Sehingga harga batu bara pun akan sangat mempengaruhi kinerja ekspor. 

Namun dalam jangka pendek jika prioritasnya adalah menjaga stabilitas rupiah, maka wajar BI dan pemerintah harus all out attack. Segala cara harus ditempuh demi membangkitkan rupiah yang lesu. Segala opsi yang memungkinkan harus dikaji dan diterapkan bila memang dimungkinkan. 

Oleh karena itu, harapan kita tentunya rupiah segera bangkit, segera menguat. Sebab jika tidak, maka Indonesia akan terus menjual 'tanah air'...  

TIM RISET CNBC INDONESIA

(aji/wed) Next Article Harga Komoditas Jeblok, Cuma Kopi dan Sawit yang Selamat

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular