Internasional

Perang Dagang, China Incar Infrastruktur untuk Topang Ekonomi

Ester Christine Natalia, CNBC Indonesia
27 July 2018 17:51
Perang Dagang, China Incar Infrastruktur untuk Topang Ekonomi
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto
Beijing, CNBC Indonesia - China berencana menggelontorkan lebih banyak dana ke proyek infrastruktur dan melonggarkan pengetatan pinjaman pemerintah daerah agar dapat membantu mengurangi tekanan ekonomi dari perang dagang China-Amerika Serikat (AS), kata berbagai narasumber kebijakan kepada Reuters.

Perang dagang China dengan AS telah memengaruhi proyeksi pertumbuhan untuk negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia itu dan mengguncang pasar keuangan. Kekhawatiran yang diangkat Beijing terkait hal ini adalah penurunan tajam di perekonomian China dapat menyebabkan hilangnya lapangan pekerjaan.

Namun, para pemimpin China sudah mengesampingkan putaran stimulus fiskal lainnya karena mengkhawatirkan risiko memburuknya utang. Paket belanja sebesar 4 triliun yuan (Rp 8.442 triliun) di tahun 2008-2009 melindungi perekonomian China dari krisis global, tetapi membebani pemerintah daerah dan badan usaha milik negara (BUMN) dengan tumpukan utang.

Jumlah belanja infrastruktur kali ini akan tergantung pada perkembangan perang dagang, kata empat narasumber yang mengetahui kebijakan pemerintah. Para narasumber itu terlibat di dalam diskusi kebijakan internal, tetapi bukan menjadi bagian dari proses pembuatan keputusan akhir.

"Dalam jangka pendek, cara paling efektif adalah mendorong investasi infrastruktur," kata seorang narasumber yang menjadi penasihat pemerintah dan berbicara secara anonim. "Kami akan membiarkan kebijakan fiskal memainkan peran terbesar dalam mendukung perekonomian karena kebijakan moneter kurang efektif."

Perekonomian sudah mengalami dampak dari dorongan deleveraging Beijing selama bertahun-tahun yang telah meningkatkan ongkos pinjaman perusahaan dan menunda proyek pemerintah.

Pertumbuhan ekonomi sedikit melambat menjadi 6,7% di kuartal kedua, meski masih berada di atas target pertumbuhan resmi sekitar 6,5%.

Meskipun begitu, perang dagang dengan Washington, melambatnya pasar properti domestik, dan berkurangnya pengiriman ke luar negeri telah membuat risiko terhadap proyeksi ekonomi China meningkat tajam.

Di awal bulan ini, AS menerapkan tarif 25% terhadap produk impor asal China senilai US$34 miliar (Rp 491 triliun). China pun membalas dengan tindakan serupa dan memicu Presiden AS Donald Trump mengeluarkan ancaman tarif tambahan ke seluruh produk impor China senilai US$500 miliar.


Pertumbuhan investasi infrastruktur China anjlok menjadi 7,3% di semester pertama dari 21,1% di tahun sebelumnya, menyebabkan pertumbuhan investasi aset tetap (fixed-asset) turun ke titik terendah akibat pemeriksaan lebih ketat terhadap proyek investasi untuk membatasi risiko utang.

Kebijakan fiskal akan menjadi "lebih proaktif", kata kabinet China seusai rapat pada hari Senin (23/7/2018), menjanjikan lebih banyak potongan pajak dan mempercepat penerbitan obligasi khusus pemerintah guna mendukung investasi infrastruktur.

Rapat kabinet yang dipimpin Perdana Menteri Li Keqiang juga meminta bank-bank memastikan pendanaan terhadap proyek yang sudah ada dan memenuhi keperluan pendanaan terhadap kendaraan pendanaan pemerintah lokal (local government financing vehicles/LGFV), yang diawasi secara ketat. Ruang untuk mendorong pengeluaran fiskal cukup. Belanja pemerintah melampaui pendapatan sebesar 726 miliar yuan di semester pertama, yang mana hanya sekitar sepertiga dari defisit anggaran 2,38 triliun yuan di tahun 2018.

China telah memangkas target defisit anggaran tahunannya menjadi 2,6% terhadap PDB dari 3% di tahun 2017. Itu adalah pengurangan pertama sejak 2012, dan mendorong jumlah penerbitan obligasi khusus dari pemerintah daerah senilai 550 miliar yuan untuk mengimbangi penurunan.

"Belanja fiskal bisa dipercepat dan investasi di beberapa proyek yang dibangun akan dilancarkan. Ini akan memberi dukungan bagi perekonomian," kata narasumber Reuters secara anonim.

Narasumber lain berkata China bisa meningkatkan pengeluaran di fasilitas perkotaan yang paling dibutuhkan, misalnya lahan parkir dan rumah pensiunan, ketimbang mega proyek.

Kementerian Keuangan, Komisi Pembangunan, dan Reformasi Nasional dan bank sentral People's Bank of China (PBOC) tidak merespons permintaan Reuters untuk berkomentar tentang hal ini.

Pergerakan kebijakan kabinet mengisyaratkan kemenangan bagi PBOC menyusul perdebatan di antara para peneliti dari PBOC dan kementerian keuangan tentang apakah kebijakan fiskal harus lebih ditingkatkan untuk memacu pertumbuhan.

Langkah tersebut dapat mendinginkan PBOC karena bank sentral itu menghadapi kesulitan dalam menyalurkan utang ke perusahaan-perusahaan kecil, yang penting bagi pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja, kata para narasumber.

Bank milik negara tetap enggan memberi pinjaman ke perusahaan kecil yang dinilai lebih berisiko dibanding perusahaan yang dikendalikan negara.

PBOC telah memangkas ketentuan cadangan wajib minimum (GWM) bank tiga kali tahun ini, dengan prediksi semakin banyak pengurangan ke depannya. Namun, pelonggaran kebijakan yang agresif dapat kembali mendatangkan risiko utang dan beban terhadap pelemahan yuan, sehingga memicu aliran modal keluar.

Sembari otoritas nampak terus mengurangi utang, ada juga beberapa tanda yang menunjukkan melunaknya sikap mereka.

Para pembuat kebijakan China belakangan ini mengganti penggunaan istilah "deleveraging" dengan "deleveraging struktural", perubahan yang menunjukkan pembatasan utang lebih renggang.

"Deleveraging harus mempertimbangkan perubahan eksternal dan intensitasnya bisa melemah untuk mengindari dampak besar ke perekonomian," kata seorang narasumber.
(prm) Next Article Proyek Infrastruktur Rp 6.000 T Pemerintah Tetap Lanjut

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular