
Pengusaha Mikro Inginnya Bebas Kena Pajak, Bukan Penurunan
Rivi Satrianegara, CNBC Indonesia
27 June 2018 18:12

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah telah memutuskan untuk memangkas pajak penghasian (PPh) bagi usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) beromzet kurang Rp 4,8 miliar per tahun menjadi 0,5% dari sebelumnya 1%.
Meski begitu, kebijakan itu dinilai Ketua Asosiasi UMKM Indonesia Muhammad Ikhsan Ingratubun belum cukup menguntungkan bagi pelaku UMKM.
Menurut Ikhsan, pelaku UMKM lebih membutuhkan pembebasan pajak. Utamanya, bagi para pengusaha yang memang menjalankan bisnis kecil dengan modal sendiri.
"Kategori mikro dan kecil itu [usahanya] tumbuh dari diri sendiri, ada peluang pasar, tumbuh sendiri, modal sendiri," tutur Iksan dalam Talkshow Bisnis, Rabu (27/6/2018).
Ketika pelaku UMKM telah meningkatkan bisnisnya, sehingga jadi usaha menengah, baru dia nilai harus menyetor pajak sesuai dengan aturan yang berlaku. Hal itu bisa tercermin pula dengan secara otomatis pelaku usaha meminta bantuan perbankan agar dapat meningkatkan produksi.
"Belum lagi saat buat pembukuan ada biaya lagi. Kami buat pembukuan itu paling murah Rp 5 juta kalau minta konsultan pajak," tambah Ikhsan.
Dalam kesempatan sama, Wakil Ketua Kadin DKI Jakarta Sarman Simanjorang menyatakan hal serupa. Menurut dia, sejak masih berlaku PP Nomor 46 Tahun 2013, pemberlakuan pajak terhadap pelaku mikro dan kecil adalah yang disayangkan.
Sarman menilai akan lebih baik kebijakan pemerintah tidak tanggung-tanggung dalam memberi insentif pajak. "Kalau kami sih berharap jangan tanggung-tanggung, nolkan dulu," ujar dia.
Pemerintah dia nilai harus dapat lebih masif dalam memberi pembinaan dan meningkatkan jumlah pelaku UMKM. Ketika pelaku usaha sudah naik kelas, atau memiliki pendapatan yang lebih tinggi, baru layak pajak dikenakan.
Maka dari itu, dia nilai harus dilihat bagaimana penerapan PP Nomor 23 Tahun 2018, bila memang belum efektif harus ada tindakan lain dari pemerintah. "Satu, dua tahun ke depan kalau ini kurang efektif, mungkin bisa diturunkan lagi 0,25%. Tapi, poin kami peran pemerintah harus ada di tengah kelemahan UMKM."
(dru) Next Article Polemik Relaksasi DNI yang Kian Memanas
Meski begitu, kebijakan itu dinilai Ketua Asosiasi UMKM Indonesia Muhammad Ikhsan Ingratubun belum cukup menguntungkan bagi pelaku UMKM.
Menurut Ikhsan, pelaku UMKM lebih membutuhkan pembebasan pajak. Utamanya, bagi para pengusaha yang memang menjalankan bisnis kecil dengan modal sendiri.
Ketika pelaku UMKM telah meningkatkan bisnisnya, sehingga jadi usaha menengah, baru dia nilai harus menyetor pajak sesuai dengan aturan yang berlaku. Hal itu bisa tercermin pula dengan secara otomatis pelaku usaha meminta bantuan perbankan agar dapat meningkatkan produksi.
"Belum lagi saat buat pembukuan ada biaya lagi. Kami buat pembukuan itu paling murah Rp 5 juta kalau minta konsultan pajak," tambah Ikhsan.
Dalam kesempatan sama, Wakil Ketua Kadin DKI Jakarta Sarman Simanjorang menyatakan hal serupa. Menurut dia, sejak masih berlaku PP Nomor 46 Tahun 2013, pemberlakuan pajak terhadap pelaku mikro dan kecil adalah yang disayangkan.
Sarman menilai akan lebih baik kebijakan pemerintah tidak tanggung-tanggung dalam memberi insentif pajak. "Kalau kami sih berharap jangan tanggung-tanggung, nolkan dulu," ujar dia.
Pemerintah dia nilai harus dapat lebih masif dalam memberi pembinaan dan meningkatkan jumlah pelaku UMKM. Ketika pelaku usaha sudah naik kelas, atau memiliki pendapatan yang lebih tinggi, baru layak pajak dikenakan.
Maka dari itu, dia nilai harus dilihat bagaimana penerapan PP Nomor 23 Tahun 2018, bila memang belum efektif harus ada tindakan lain dari pemerintah. "Satu, dua tahun ke depan kalau ini kurang efektif, mungkin bisa diturunkan lagi 0,25%. Tapi, poin kami peran pemerintah harus ada di tengah kelemahan UMKM."
(dru) Next Article Polemik Relaksasi DNI yang Kian Memanas
Most Popular