Internasional

AS-Korea Utara Berdamai, China Bisa Jadi yang Paling Untung

Rehia Sebayang, CNBC Indonesia
12 June 2018 11:55
AS-Korea Utara Berdamai, China Bisa Jadi yang Paling Untung
Foto: Infografis, Arie Pratama
Jakarta, CNBC Indonesia - Pertemuan puncak antara Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un dan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump memiliki implikasi besar bagi China, yang kepentingan geopolitik dan keamanannya dipertaruhkan di Semenanjung Korea.

"[Pihak] yang mengintai di latar belakang pertemuan ini sebagai penolong potensial dalam drama ini adalah pemimpin China, Xi Jinping, yang melihat peluang sekaligus bahaya," tulis Fred Kempe, presiden dan CEO think tank kebijakan luar negeri, Atlantic Council, dalam catatan baru-baru ini, CNBC International melaporkan.

Ekonomi terbesar kedua di dunia itu telah lama mengatakan mendukung semenanjung Korea agar bebas nuklir, tetapi ahli strategi mengatakan prioritas terbesarnya adalah mencegah runtuhnya rezim Korea Utara, yang jika negara nakal itu dibebani sanksi, kemungkinan akan membuat banyak penduduknya pindah ke China.

Bagi Beijing, "kesepakatan damai yang tepat dapat melemahkan persekutuan AS dengan Korea Selatan, mengurangi ancaman konflik dan arus pengungsi di perbatasan China, dan akhirnya mengarah pada penarikan pasukan Amerika dari Korea Selatan," kata Kempe, dilansir dari CNBC International.

Mengakhiri kehadiran militer AS di Korea Selatan, yang merupakan persyaratan utama bagi pemerintahan Kim untuk melepaskan senjata nuklirnya, diperkirakan akan meningkatkan tujuan China untuk meminimalkan pengaruh Amerika di Asia. Beijing dan Pyongyang akhirnya memiliki tujuan yang sama untuk pertemuan tingkat tinggi tanggal 12 Juni ini, yaitu agar Gedung Putih melonggarkan sanksi terhadap negara yang terisolasi itu, menurut Gregory Kulacki, seorang ahli China pada program keamanan global penelitian dan kelompok advokasi Union of Concerned Scientists (UCS).

"China dan Korea Utara telah menyepakati perjanjian mereka," kata Kulacki dalam podcast UCS. Kesepakatan itu mengharuskan pemerintahan Xi melanjutkan beberapa hubungan ekonomi dengan pemerintah Kim jika Korea Utara berhasil membekukan rudal dan uji coba senjata nuklir, jelasnya.

Tapi "agar China membuka sedikit pintu ekonomi, harus ada relaksasi sanksi-sanksi itu, yang berarti harus ada konsesi dari Amerika Serikat," lanjut Kulacki,. Ia menambahkan bahwa skenario semacam itu akan berarti kemenangan bagi Pyongyang dan Beijing.

Selama pertemuan di bulan Mei antara Kim dan Xi, pemimpin China itu menekankan kembali dukungan bagi Korea Utara untuk melakukan denuklirisasi sementara Kim dikutip mengatakan kepada Xi bahwa Pyongyang tidak perlu memiliki senjata nuklir jika "pihak yang relevan" menyingkirkan "kebijakan bermusuhan dan ancaman keamanan," yang jelas mengacu pada AS.

Tak lama setelah pertemuan itu, Trump mengatakan Kim mungkin dipengaruhi oleh Xi. Presiden AS juga mendesak China untuk menjaga batas aman dengan negara paria itu.


Idealnya, tujuan China dari pertemuan 12 Juni adalah untuk 'soft landing', yaitu, "Korea Utara yang terdenuklirisasi yang secara bertahap melakukan reformasi dan membuka masyarakatnya, yang akan membuat kedinamisan ekonomi di sub-wilayah menjadi mungkin," kata Ren Xiao, profesor studi internasional di Universitas Fudan Shanghai.


Apa yang Tidak Diinginkan China

Partai Komunis mungkin khawatir tentang prospek Korea yang bersatu kembali. Jika Utara dan Selatan bersatu, negara baru itu bisa berakhir di bawah pengaruh AS.

"Jika Trump menavigasi dengan baik, China dapat dihadapkan dengan Korea yang lebih kuat, lebih besar, dan akhirnya bersatu kembali sebagai kubu regional, demokrasi, dan sekutu AS," Kempe memperingatkan.

"Kesepakatan damai terburuk" bagi Beijing adalah jika AS, Korea Selatan, dan Korea Utara membentuk semacam kelompok atau aliansi, kata Xiao. Tapi 'itu sangat tidak mungkin," tambahnya.
(prm) Next Article Kabar Viral Kim Jong Un Meninggal, Faktanya Bikin Kaget..!

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular