
Menjaga Stabilitas Ekonomi Walau Harus Korbankan Pertumbuhan
Chandra Gian Asmara, CNBC Indonesia
29 May 2018 07:02

Jakarta, CNBC Indonesia - Kondisi perekonomian global yang secara tidak langsung menggempur sendi-sendi ekonomi domestik 'memaksa' Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) kembali merapatkan barisan.
Bersama Menko Perekonomian Darmin Nasution, KSSK yang terdiri dari Menteri Keuangan, Gubernur BI, Ketua Dewan Komisioner OJK dan LPS mengaku siap melakukan berbagai kebijakan apapun untuk menjaga stabilitas.
Walaupun, kebijakan yang ditempuh nantinya harus dibayar dengan harga yang cukup mahal. "Kami siap melakukan policy apa saja untuk ekonomi Indonesia," kata Ketua KSSK Sri Mulyani Indrawati.
"Dalam jangka pendek, apabila ada perubahan dan konsekuensinya kepada pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah, ini konsekuensi yang akan kami terima," jelasnya.
KSSK melihat, tekanan yang berasal dari dinamika ekonomi global terjadi begitu cepat dan membentuk ekspektasi di pelaku pasar dalam negeri maupun luar negeri. Hal itu, sambung dia, perlu direspons dengan melakukan stabilisasi.
"Ini bukan fenomena yang dialami Indonesia saja, tetapi seluruh negara maju maupun emerging market itu terkena dampaknya," kata Gubernur BI Perry Warjiyo.
BI, sebagai palang pintu terakhir untuk menjaga stabilitas pun memberikan sinyal kuat untuk kembali menaikan suku bunga acuan pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) insidentil yang digelar pada Rabu, (30/5/2018). Ada satu alasan utama yang mendasari langkah tersebut.
BI menegaskan, RDG insidentil tersebut merupakan upaya bank sentral dalam mengantisipasi tekanan menjelang pertemuan para anggota Dewan Gubernur The Fed yang kemungkinan akan kembali menaikkan suku bunga acuannya pada bulan depan.
"Kami melakukan respons cepat, RDG bulanan bisa ditambah karena ada perkembangan yang kuat. Ini langkah untuk FOMC meeting. We want to be ahead the curve," tegas Perry.
KSSK pun memahami, tentu ada konsekuensi yang harus diterima dari kenaikan suku bunga. Likuiditas menjadi kekat, akselerasi perekonomian pun akan terhambat - meskipun hal ini juga dibantah Perry Warjiyo dengan menyebut dampak kenaikan bunga tidak akan cepat -
Sri Mulyani bahkan memperkirakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang tahun hanya bisa tumbuh 5,17% dengan rentang maksimal 5,4%. Proyeksi tersebut bahkan sedikit di bawah perkiraan BI yang berada di level 5,2%.
Meski demikian, KSSK menganggp depresiasi nilai tukar rupiah yang sudah melebihi angka 4% sudah menjadi lampu kuning. KSSK merasa, krisis manajemen protokol yang saat ini masih dalam status normal, atau relatif terkendali.
"Aktivitas buyback dalam hal ini kita melakukan BSF [Bond Stabiliziation Frameweork]. Itu dilakukan dalam kondisi status krisis manajemen protokol sudah meningkat dari normal menjadi waspada atau eskalasi tinggi," kata Sri Mulyani.
"Saat ini kami merasa krisis protokol masih normal. Seluruh komponen KSSK akan terus meningkatkan kewaspadaan monitor perkembangan yang sudah ada, Dan tidak segan-segan lakukan tindakan apabila ada ancaman stabilitas," tambahnya.
"Kita tidak sedang krisis. Kami hanya bekerjasama menghadapi dinamika. Kita perlu siap untuk itu, dan kami mulai dengan koordinasi," tegas Menko Perekonomian Darmin Nasution dalam kesempatan yang sama.
(dru/dru) Next Article Sri Mulyani: Masih Ada PR untuk KSSK
Bersama Menko Perekonomian Darmin Nasution, KSSK yang terdiri dari Menteri Keuangan, Gubernur BI, Ketua Dewan Komisioner OJK dan LPS mengaku siap melakukan berbagai kebijakan apapun untuk menjaga stabilitas.
Walaupun, kebijakan yang ditempuh nantinya harus dibayar dengan harga yang cukup mahal. "Kami siap melakukan policy apa saja untuk ekonomi Indonesia," kata Ketua KSSK Sri Mulyani Indrawati.
KSSK melihat, tekanan yang berasal dari dinamika ekonomi global terjadi begitu cepat dan membentuk ekspektasi di pelaku pasar dalam negeri maupun luar negeri. Hal itu, sambung dia, perlu direspons dengan melakukan stabilisasi.
"Ini bukan fenomena yang dialami Indonesia saja, tetapi seluruh negara maju maupun emerging market itu terkena dampaknya," kata Gubernur BI Perry Warjiyo.
BI, sebagai palang pintu terakhir untuk menjaga stabilitas pun memberikan sinyal kuat untuk kembali menaikan suku bunga acuan pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) insidentil yang digelar pada Rabu, (30/5/2018). Ada satu alasan utama yang mendasari langkah tersebut.
BI menegaskan, RDG insidentil tersebut merupakan upaya bank sentral dalam mengantisipasi tekanan menjelang pertemuan para anggota Dewan Gubernur The Fed yang kemungkinan akan kembali menaikkan suku bunga acuannya pada bulan depan.
"Kami melakukan respons cepat, RDG bulanan bisa ditambah karena ada perkembangan yang kuat. Ini langkah untuk FOMC meeting. We want to be ahead the curve," tegas Perry.
Sri Mulyani bahkan memperkirakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang tahun hanya bisa tumbuh 5,17% dengan rentang maksimal 5,4%. Proyeksi tersebut bahkan sedikit di bawah perkiraan BI yang berada di level 5,2%.
Meski demikian, KSSK menganggp depresiasi nilai tukar rupiah yang sudah melebihi angka 4% sudah menjadi lampu kuning. KSSK merasa, krisis manajemen protokol yang saat ini masih dalam status normal, atau relatif terkendali.
"Aktivitas buyback dalam hal ini kita melakukan BSF [Bond Stabiliziation Frameweork]. Itu dilakukan dalam kondisi status krisis manajemen protokol sudah meningkat dari normal menjadi waspada atau eskalasi tinggi," kata Sri Mulyani.
"Saat ini kami merasa krisis protokol masih normal. Seluruh komponen KSSK akan terus meningkatkan kewaspadaan monitor perkembangan yang sudah ada, Dan tidak segan-segan lakukan tindakan apabila ada ancaman stabilitas," tambahnya.
"Kita tidak sedang krisis. Kami hanya bekerjasama menghadapi dinamika. Kita perlu siap untuk itu, dan kami mulai dengan koordinasi," tegas Menko Perekonomian Darmin Nasution dalam kesempatan yang sama.
(dru/dru) Next Article Sri Mulyani: Masih Ada PR untuk KSSK
Most Popular