Energi Hijau Nan Murah di Indonesia, Mungkinkah?

Arif Gunawan, Gustidha Budiartie, Raditya Hanung, CNBC Indonesia
25 May 2018 15:21
Opsi-Opsi Mendorong EBT
Foto: Dok. ESDM
Negara-negara dunia sangat berkepentingan mendongkrak porsi EBT dalam bauran energi mereka sebagai bagian dari komitmen Kesepakatan Paris (Paris Agreement) untuk mengurangi dampak perubahan iklim akibat pemanasan global. Namun karena keterbatasan kapasitas pendanaan, swasta pun mau tidak mau harus dilibatkan lewat tiga mekanisme pendukung (support mechanism) yakni feed in tariff (FIT), lelang, dan sertifikat hijau.

FIT banyak dipakai di negara maju seperti Denmark, Jerman, Spanyol, dan Italia. Skema ini merupakan yang tertua (diterapkan AS sejak 1978) dan banyak dipakai dalam pengembangan EBT. Skema ini mewajibkan perusahaan penyedia listrik membeli produksi pembangkit listrik swasta dalam harga yang disepakati.

Kontraknya berlaku jangka panjang, biasanya 15 tahun.
Tarif tersebut berlaku khusus, tidak mengacu pada harga pasar, karena didedikasikan sebagai insentif bagi pelaku usaha EBT. Beban subsidi itu lalu ditimpakan pada konsumen dengan sistem subsidi silang (seperti di Spanyol dan Italia), atau khusus hanya kepada industri yang diwajibkan membeli listrik tersebut (pernah diterapkan oleh Jerman), dan kombinasi keduanya seperti yang kini diberlakukan Jerman.

Lewat program bernama Energiewende (transisi energi), Jerman mengalokasikan subsidi bernilai miliaran euro, terakhir diketahui senilai €25 miliar (2016). Sebagian besar di antaranya yakni €23 miliar dibebankan kepada pelanggan hingga rata-rata warga Jerman, mengutip laporan Asosiasi Industri Air dan Energi Jerman (BDEW), membayar tagihan listrik €1.060 (Rp1,4 juta) per bulan, naik 60% dari posisi 2007.
Energi Hijau Nan Murah di Indonesia, Mungkinkah?Sumber: Tim Riset CNBC Indonesia
FIT di Jerman, Denmark dan Spanyol berujung pada pertumbuhan EBT secara berkelanjutan di tiga negara tersebut, baik dalam hal kapasitas terpasang maupun dalam level industri. Ketiga negara tersebut sukses menyumbang 80% EBT di Eropa.

Namun kelemahannya, faktor keuangan negara menjadi variabel utama. Ketika kas negara seret seperti yang terjadi di Spanyol tatkala krisis 2008, subsidi terhadap industri EBT pun tidak lagi layak secara bisnis di tengah makin tingginya minat swasta mengejar keuntungan dari FIT.
Energi Hijau Nan Murah di Indonesia, Mungkinkah?Sumber: CF Partners
Puncaknya, Spanyol meninggalkan skema FIT pada 2013, memangkas besaran FIT dari €52 menjadi €42 per Mwh (US$0,05 atau 50 sen per Kwh). Pendapatan pengembang EBT dilaporkan terpangkas rata-rata 30%, sehingga memicu PHK sebanyak 75.000 orang di negeri itu.
Energi Hijau Nan Murah di Indonesia, Mungkinkah?Sumber: CNE
Setelah FIT resmi didrop pada 2013, pemerintah Spanyol beralih ke skema lelang. Dengan sistem yang baru, faktor harga menjadi panglima mengorbankan aspek kualitas dan keberlanjutan dari sisi teknologi. Pemenang ditentukan berdasarkan harga yang ditawarkan, tanpa menimbang tingkat teknologi yang dipakai.

Selain FIT, skema lelang juga banyak dipraktikkan misalnya oleh Inggris (sejak 1991) dan Prancis (sejak 1996) tetapi dengan memasukkan kriteria teknologi yang ditawarkan, bukan hanya soal harga penawaran lelang. Skema ini didasarkan pada target EBT yang akan diproduksi secara nasional dan kemudian ditawarkan ke swasta. Namun sejak tahun 2000, kedua negara ini mengombinasikan skema lelang dengan dua skema lainnya.
Energi Hijau Nan Murah di Indonesia, Mungkinkah?Sumber: Tim Riset CNBC Indonesia
Pada dasarnya, skema lelang juga melibatkan subsidi untuk menutup harga jual listrik EBT. Namun nilainya lebih terukur karena lelang memungkinkan pemerintah menghitung ongkos produksi pengembang EBT dan memperhitungkan berapa efisiensi yang bisa dihasilkan dari sisi teknologi sebelum mengguyur subsidi terhadap harga listrik yang dihasilkan.

Berbeda dari FIT di mana nanti konsumen (terutama di negara maju) yang menanggung “subsidi”-nya berupa penyesuaian tarif, maka di skema lelang ini subsidi sepenuhnya ditanggung pemerintah dengan mekanisme kompensasi berupa harga premium seperti di Prancis. Mengacu pada laporan majalah Windpower Monthly pada 2002, skema FIT banyak berkontribusi dalam pembangkitan listrik dari EBT di Benua Biru tersebut di era 1990-an.
Energi Hijau Nan Murah di Indonesia, Mungkinkah?Sumber: REN21
Namun, belakangan skema lelang justru menjadi pilihan utama negara-negara maju dalam pengembangan EBT. Jerman yang telah memiliki kapasitas solar PV 38 GW, misalnya, sejak Juni 2016 telah menghapuskan FIT dan sepenuhnya memakai sistem lelang dalam proyek EBT. Dengan skema lelang, mereka meneken kontrak beberapa proyek solar PV dengan harga 7 sen US$ per kWh.

Skema ketiga yang juga banyak dipakai adalah ‘sertifikat hijau’ yang bisa diperdagangkan (renewable energy certification/ REC), di mana pemasok listrik diwajibkan memproduksi atau mendistribusikan sekian kuota EBT dari total energi yang diproduksinya. Beberapa negara yang menerapkannya adalah Belanda, Denmark, Swedia, Italia dan Inggris.

Pertama, negara menerbitkan target produksi listrik berbasis EBT, yang kemudian tiap operator listrik mendapat jatah yang harus dipenuhi (renewable purchase obligation/ RPO). Pihak pengembang EBT menerbitkan kuota tetap mengenai listrik yang telah dijualnya, dan kemudian disekuritisasi menjadi surat berharga yang dilepas ke pasar.

Siapa pembelinya? Tak lain adalah operator listrik yang “berhalangan” membangun pembangkit EBT demi memenuhi jatah pemerintah. Situasi ini menjadi insentif bagi pengembang EBT berupa terbentuknya pasar EBT.

Bagi Indonesia, revisi Peraturan Menteri ESDM Nomor 12/2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik dengan Permen ESDM Nomor 50/2017 menghapus sistem FIT, digantikan dengan mekanisme lelang terbatas (beauty contest). Selanjutnya, harga pembelian listriknya mengacu pada BPP (Biaya Pokok Pembangkitan) listrik nasional.

Menurut catatan tim riset CNBC Indonesia, mekanisme lelang dengan mengacu pada BPP per wilayah seperti yang berlaku sekarang merupakan praktik yang pertama di sejarah Republik ini agar listrik berbasis EBT tidak menyebabkan peningkatan BPP.
Dus, tarif yang dibebankan ke masyarakat tidak meningkat dan listrik tetap terjangkau.***
(ags/ags)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular