Energi Hijau Nan Murah di Indonesia, Mungkinkah?

Arif Gunawan, Gustidha Budiartie, Raditya Hanung, CNBC Indonesia
25 May 2018 15:21
Subsidi Harga Mati
Foto: Dok. ESDM
Perlu dicatat, struktur produksi energi di dunia masih menempatkan energi fosil sebagai panglima. International Energy Agency (IEA) mencatat selama 2014 para pengambil kebijakan dunia mengucurkan subsidi energi fosil sebesar US$500 miliar dan membangun infrastruktur senilai US$6 triliun, per tahun, guna memfasilitasi energi kotor tersebut.

Lebih lanjut, IEA mencatat subsidi bahan bakar fosil pada 2015 mencapai US$325 miliar, atau turun dari posisi 2014. Sementara, subsidi energi terbarukan nilainya hanya US$150 miliar, dengan 80% di antaranya mengucur ke pembangkit dan sisanya ke infrastruktur transportasi dan lainnya. Angka ini lebih baik dari posisi 2014 (US$112 miliar).

Energi Hijau Nan Murah di Indonesia, Mungkinkah?Sumber: IEA

Untuk melihat ketimpangan antara subsidi fosil dengan subsidi EBT, kita bisa melihatnya dari alokasi subsidi Jerman sebagai penyedia subsidi EBT terbesar di dunia. Nilai alokasinya hanya US$24 miliar (pada 2013), atau sepertiga dari alokasi negara pemberi subsidi fosil terbesar yakni Arab Saudi yang melebihi US$60 miliar pada periode yang sama.


Indonesia pada 2013 berada di posisi ketujuh sebagai negara yang memberikan subsidi fosil terbesar di dunia. Nilai subsidi energi pada periode tersebut mencapai US$27,3 miliar, dengan US$20 miliar di antaranya masuk ke migas. Padahal, cadangan minyak bumi diperkirakan habis dalam 12 tahun ke depan.
Energi Hijau Nan Murah di Indonesia, Mungkinkah?Sumber: IEA
Pada 2017, Indonesia mengalokasikan Rp 94,6 triliun untuk subsidi energi (bahan bakar minyak/ BBM, liquefied petroleum gas/ LPG, dan listrik), dengan Rp 10 triliun sebagai subsidi harga, untuk membuat harga BBM terjangkau. Total, energi fosil mendapat jatah alokasi subsidi senilai Rp 51,77 triliun.

Sementara itu, total subsidi listrik mencapai Rp 46,9 triliun. Mengingat produksi listrik PLN didominasi pembangkit berbasis fosil, yakni berkisar 88% dari total listrik PLN, dan harga akhirnya juga disubsidi pemerintah, maka subsidi terhadap listrik berbasis fosil mencapai Rp 41,27 triliun.

Secara total, alokasi subsidi yang mengucur ke energi fosil pada tahun lalu mencapai Rp 93 triliun, atau mencapai 98,35% dari subsidi energi Rp 94,6 triliun.
Energi Hijau Nan Murah di Indonesia, Mungkinkah?Sumber: APBN
Dengan kondisi demikian, tanpa campur tangan fiskal dari pemerintah, muskil untuk berharap harga listrik EBT bisa bersaing dengan listrik berbasis fosil. Tak heran, hampir seluruh negara di dunia, terutama yang miskin sumber daya fosil, memberikan insentif dan subsidi terhadap industri EBT guna mendorong penggunaan EBT dalam bauran energi mereka.

Namun di Indonesia, EBT justru dikeluarkan dari kelayakan subsidi seperti yang pernah terjadi dalam pembahasan APBN 2017, di mana DPR menolak mengesahkan subsidi EBT senilai Rp 1,1 triliun. Alasannya? Karena pengembangan EBT tidak masuk kategori program yang disubsidi. Absurd, tapi nyata.

Padahal, jika kita melihat negara lain yang sukses mengembangkan EBT, subsidi adalah variabel penting di dalamnya. India, misalnya, yang merupakan produsen listrik PLTB terbesar kelima dunia mengalokasikan subsidi EBT US$1,4 miliar (Rp19 triliun) pada 2016.

Menurut data Global Subsidies Initiative (GSI), angka itu naik 30,79% dari 2013 yang hanya US$431 juta.
India tidak sendiri. Menurut Oil Change International, negara G-20 mengalokasikan subsidi senilai US$121 miliar untuk energi terbarukan, dan US$452 miliar untuk energi fosil.

Amerika Serikat (AS), produsen terbesar kedua minyak dunia, pada 2016 mengucurkan subsidi senilai US$11 miliar untuk energi terbarukan dan US$3 miliar ke program efisiensi energi. Alokasi tersebut setara dengan 76,1% dari total subsidi energinya yang mencapai US$18,4 miliar.


Mengapa negara-negara tersebut mengucurkan subsidi ke EBT, GlobalData mengupasnya dalam laporan berjudul “The Europe Renewable Energy Policy Handbook 2015.” Menurut lembaga think tank yang berbasis di Eropa ini, dukungan pemerintah merupakan faktor kunci di balik keberhasilan sebuah negara mengembangkan EBT.

Sebagai contoh, Spanyol berhasil mendongkrak tingkat pertumbuhan tahunan solar PV sebesar 300% dari 2005 dan 2008 berkat insentif dan subsidi yang disediakan oleh pemerintah. Spanyol berhasil mendongkrak kapasitas solar PV dari 4 MW pada 2001 menjadi 4,7 GW pada 2014. Namun, sebaliknya ketika dukungan pemerintah berhenti, berhenti pula laju energi hijau yang memang masih “hijau” di kancah persaingan pasar energi dunia ini.

“Penghentian insentif ke industri solar PV terus memberikan dampak lanjutan ke tambahan kapasitas EBT di Spanyol,” tulis perseroan dalam laporannya.

Karenanya, muskil berharap EBT mencapai porsi signifikan di negeri ini sesuai target bauran energi pada 2030, jika para pengambil kebijakan seperti yang dipamerkan oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengira EBT bukanlah program yang layak disubsidi.
(ags/ags)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular