
Energi Hijau Nan Murah di Indonesia, Mungkinkah?
Arif Gunawan, Gustidha Budiartie, Raditya Hanung, CNBC Indonesia
25 May 2018 15:21

Energi hijau di Indonesia masih tinggi biayanya, sehingga diperlukan dukungan pemerintah dalam bentuk subsidi.
"Kami suka energi baru, tapi harus dengan keekonomian [...] Hari ini, saya bayar listrik sumber energi baru dan terbarukan [EBT] senilai lebih dari Rp 2.000 [per kWh/ kilowatt hour]. Satu pulau ada yang Rp 7.000. Berapa penduduk membayarnya? Rp 450 perak per kwh," tutur Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) Sofyan Basir kepada CNBC Indonesia.
Mantan Dirut PT Bank Rakyat Indonesia Tbk ini mengakui bahwa EBT adalah sumber energi bersih yang berlimpah, tetapi sayangnya berbiaya mahal. Sebagai contoh, potensi energi bayu saja nilainya mencapai 60 gigawatt (GW) di Indonesia, atau setara dengan total produksi listrik PLN saat ini.
Di Indonesia, proses mengubah EBT menjadi listrik memerlukan biaya tidak sedikit, terutama terkait infrastruktur. Dihadapkan pada persoalan demikian, PLN dituntut untuk menjual listrik dengan harga terjangkau. Di tengah kondisi tersebut, dia berharap tidak ada pihak yang memanfaatkan kondisi itu untuk mengeruk keuntungan yang tidak masuk akal.
"Jangan sampai energi baru ini jadi alat pencari rente. Hari ini kita [produksi listrik dari] angin US$10 sen, dulu US$18 sen. Matahari sekarang hanya US$6-US$7 sen, dulu US$20 sen. Bedanya? Setahun. Padahal mataharinya sama. Anginnya sama," ujar Sofyan.
Meski bergelimang potensi EBT, tetapi Indonesia dalam 5 tahun terakhir masih bergantung pada bahan bakar fosil dan setiap tahun mengucurkan rata-rata Rp 120 triliun, atau sekitar 11%-12% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk subsidi energi yang masih didominasi oleh bahan bakar fosil (minyak, gas, batu bara).
Ketergantungan terhadap energi fosil belum akan berubah dalam 1 dasawarsa ke depan. Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan porsi energi fosil dalam bauran energi (energy mix) pembangkitan listrik mencapai 87,85% pada 2017, sedangkan EBT sebesar 12,15%. Sementara itu, di Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2018-2027, EBT ditargetkan menyumbang 23% dari total bauran energi tersebut pada 2025.
Situasi ini, di kalangan akademisi, dikenal sebagai natural resource curse (kutukan sumber daya alam) di mana berlimpahnya sumber daya alam-dalam hal ini energi fosil-membuat pemerintah dan rakyatnya terlena sehingga lupa membangun sumber lain perekonomian (mengembangkan energi alternatif).
Berdasarkan pemodelan pasokan energi primer yang tertuang pada Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), terlihat bahwa pergeseran sumber energi primer yang terjadi hanya dari minyak bumi ke batu bara dan gas, yang notabene sama-sama energi fosil.
Pada 2015, dominasi minyak bumi yang sebesar 36,74% dari pasokan energi nasional mulai didekati oleh batu bara dan gas, dengan porsi masing-masing sebesar 32,81% dan 20,87%. Dominasi sang emas hitam pun diprediksi runtuh pada 2017 dengan batu bara menyumbang 34,59%, melibas minyak bumi (33,3%).
Di tengah dominasi energi fosil tersebut, PLN menghadapi kendala oversuplai listrik menyusul ekspansifnya program listrik 35.000 megawatt (MW), sementara konsumsi listrik tumbuh melambat. Indikasi itu terlihat dari langkah PLN memangkas proyeksi rerata pertumbuhan konsumsi listrik dari 8% menjadi 6,8%.
Kondisi oversuplai ini menciptakan hambatan baru pengembangan EBT. Di tengah seretnya permintaan, produksi listrik dari pos EBT menjadi kurang feasible karena biayanya yang lebih mahal dibandingkan dengan dengan listrik berbasis fosil seperti yang disinggung Sofyan di atas. Apalagi, PLN harus memangkas pembangunan pembangkit listriknya.
Dalam RUPTL 2018-2027 yang disetujui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 13 Maret 2018, pemerintah menurunkan total rencana pembangunan pembangkit listrik baru dari 78.000 MW menjadi 56.024 MW.
Alhasil, kapasitas pembangkit EBT dipangkas dari 21.500 MW menjadi 14.912 MW. Pemangkasan itu dilakukan bahkan ketika EBT masih ditargetkan menyumbang 23% bauran energi nasional pada akhir 2025, melampaui gas (22,2 %) dan mengekor batu bara (54,4%). Di sisi lain, kontribusi bahan bakar minyak (BBM) dibidik hanya tersisa 0,4%.
Di tengah situasi yang saling bertolak belakang itu, Kementerian ESDM berupaya mewujudkan misi listrik murah untuk rakyat, melalui program "Energi Berkeadilan" dengan meningkatkan pasokan listrik melalui pembangkitan baru dan secara bersamaan memperkuat efisiensi.
Pada titik inilah upaya mempercepat pengembangan EBT menemukan tantangan naturalnya, yakni efisiensi. Secara perhitungan bisnis, sampai saat ini belum ada energi terbarukan yang biaya produksinya lebih murah dari energi fosil. Kondisi ini tercipta karena energi fosil telah melewati riset-pengembangan dan uji efisiensi pasar selama lebih dari seabad. Karenanya, tidak ada satupun negara yang bisa 100% lepas dari energi fosil dari bauran energi primernya.
Islandia, negara dengan pemakaian energi non-fosil terbesar (nyaris 100% dari pembangkitan listriknya dan 85% dari bauran energi primernya per 2015), perlu 100 tahun untuk membuat EBT memimpin bauran energinya mencapai 90%. Hidropower menyumbang 73,8% pasokan listrik Islandia, geothermal sebesar 26,2%, dan sedikit dari minyak bumi.
Mengutip Laporan Kementerian Industri dan Perdagangan Islandia (2004), negara yang terletak di atas lempeng tektonik mid-Atlantic Ridge ini sejak abad ke-17 bergantung pada batu bara sebagai pasokan energi utamanya. Minyak bumi baru masuk ke Islandia pada tahun 1980-an.
Hanya saja, pembangkit listrik mikro hidro (PLTMH) sudah dikembangkan secara tradisional sejak tahun 1904. Proyek geothermal pertama menyusul dibangun tiga tahun kemudian. Pada tahun 1923, Islandia mengeluarkan UU Air Dalam Negeri yang mengatur eksploitasi air untuk keperluan publik, menjadi dasar pengembangan PLTMH di negara tersebut.
Selanjutnya, UU Kelistrikan menyusul pada 1946. Eksplorasi geothermal besar-besaran dimulai pada 1956, diikuti reorganisasi lembaga yang bertanggung-jawab mengembangkan EBT. Hasilnya terlihat pada 1973, ketika pembangkit listrik berbasis EBT menggusur energi berbasis fosil dengan kontribusi 51%. Kontribusi ini terus naik ke 72% (2002), dan 90% (2005).
Pada 2009, atau 86 tahun sejak munculnya regulasi pertama EBT, negara tersebut sukses mendongkrak kontribusi EBT mencapai 99,7%. Situasi ini terjaga sampai dengan sekarang. Bandingkan dengan Indonesia yang baru mengenal konsep EBT pada tahun 1970, dan memiliki perangkat hukum EBT pada 2007. Jika mengacu pada Islandia yang perlu 86 tahun, maka EBT paling cepat baru dominan di Indonesia pada 2093.
Mengutip International Renewable Energy Agency (Irena), organisasi dengan anggota lebih dari 150 negara, biaya pembangkitan listrik tenaga bayu sejak 2010 memang turun 23% sedangkan biaya pembangkitan listrik tenaga surya anjlok 73%. Namun, itu belum cukup kompetitif dengan harga pembangkitan listrik dari energi fosil.
Organisasi ini memperkirakan ongkos pembangkitan kedua EBT itu baru mencapai titik imbang dan kompetitif dengan listrik berbasis fosil pada 2020, menyusul biomassa, geothermal, dan hidro yang relatif sudah kompetitif terhadap energi fosil.
"Kami suka energi baru, tapi harus dengan keekonomian [...] Hari ini, saya bayar listrik sumber energi baru dan terbarukan [EBT] senilai lebih dari Rp 2.000 [per kWh/ kilowatt hour]. Satu pulau ada yang Rp 7.000. Berapa penduduk membayarnya? Rp 450 perak per kwh," tutur Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) Sofyan Basir kepada CNBC Indonesia.
Mantan Dirut PT Bank Rakyat Indonesia Tbk ini mengakui bahwa EBT adalah sumber energi bersih yang berlimpah, tetapi sayangnya berbiaya mahal. Sebagai contoh, potensi energi bayu saja nilainya mencapai 60 gigawatt (GW) di Indonesia, atau setara dengan total produksi listrik PLN saat ini.
"Jangan sampai energi baru ini jadi alat pencari rente. Hari ini kita [produksi listrik dari] angin US$10 sen, dulu US$18 sen. Matahari sekarang hanya US$6-US$7 sen, dulu US$20 sen. Bedanya? Setahun. Padahal mataharinya sama. Anginnya sama," ujar Sofyan.
![]() |
Ketergantungan terhadap energi fosil belum akan berubah dalam 1 dasawarsa ke depan. Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan porsi energi fosil dalam bauran energi (energy mix) pembangkitan listrik mencapai 87,85% pada 2017, sedangkan EBT sebesar 12,15%. Sementara itu, di Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2018-2027, EBT ditargetkan menyumbang 23% dari total bauran energi tersebut pada 2025.
![]() |
Berdasarkan pemodelan pasokan energi primer yang tertuang pada Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), terlihat bahwa pergeseran sumber energi primer yang terjadi hanya dari minyak bumi ke batu bara dan gas, yang notabene sama-sama energi fosil.
Pada 2015, dominasi minyak bumi yang sebesar 36,74% dari pasokan energi nasional mulai didekati oleh batu bara dan gas, dengan porsi masing-masing sebesar 32,81% dan 20,87%. Dominasi sang emas hitam pun diprediksi runtuh pada 2017 dengan batu bara menyumbang 34,59%, melibas minyak bumi (33,3%).
![]() |
Kondisi oversuplai ini menciptakan hambatan baru pengembangan EBT. Di tengah seretnya permintaan, produksi listrik dari pos EBT menjadi kurang feasible karena biayanya yang lebih mahal dibandingkan dengan dengan listrik berbasis fosil seperti yang disinggung Sofyan di atas. Apalagi, PLN harus memangkas pembangunan pembangkit listriknya.
Dalam RUPTL 2018-2027 yang disetujui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 13 Maret 2018, pemerintah menurunkan total rencana pembangunan pembangkit listrik baru dari 78.000 MW menjadi 56.024 MW.
Alhasil, kapasitas pembangkit EBT dipangkas dari 21.500 MW menjadi 14.912 MW. Pemangkasan itu dilakukan bahkan ketika EBT masih ditargetkan menyumbang 23% bauran energi nasional pada akhir 2025, melampaui gas (22,2 %) dan mengekor batu bara (54,4%). Di sisi lain, kontribusi bahan bakar minyak (BBM) dibidik hanya tersisa 0,4%.
Di tengah situasi yang saling bertolak belakang itu, Kementerian ESDM berupaya mewujudkan misi listrik murah untuk rakyat, melalui program "Energi Berkeadilan" dengan meningkatkan pasokan listrik melalui pembangkitan baru dan secara bersamaan memperkuat efisiensi.
Pada titik inilah upaya mempercepat pengembangan EBT menemukan tantangan naturalnya, yakni efisiensi. Secara perhitungan bisnis, sampai saat ini belum ada energi terbarukan yang biaya produksinya lebih murah dari energi fosil. Kondisi ini tercipta karena energi fosil telah melewati riset-pengembangan dan uji efisiensi pasar selama lebih dari seabad. Karenanya, tidak ada satupun negara yang bisa 100% lepas dari energi fosil dari bauran energi primernya.
Islandia, negara dengan pemakaian energi non-fosil terbesar (nyaris 100% dari pembangkitan listriknya dan 85% dari bauran energi primernya per 2015), perlu 100 tahun untuk membuat EBT memimpin bauran energinya mencapai 90%. Hidropower menyumbang 73,8% pasokan listrik Islandia, geothermal sebesar 26,2%, dan sedikit dari minyak bumi.
Mengutip Laporan Kementerian Industri dan Perdagangan Islandia (2004), negara yang terletak di atas lempeng tektonik mid-Atlantic Ridge ini sejak abad ke-17 bergantung pada batu bara sebagai pasokan energi utamanya. Minyak bumi baru masuk ke Islandia pada tahun 1980-an.
Hanya saja, pembangkit listrik mikro hidro (PLTMH) sudah dikembangkan secara tradisional sejak tahun 1904. Proyek geothermal pertama menyusul dibangun tiga tahun kemudian. Pada tahun 1923, Islandia mengeluarkan UU Air Dalam Negeri yang mengatur eksploitasi air untuk keperluan publik, menjadi dasar pengembangan PLTMH di negara tersebut.
Selanjutnya, UU Kelistrikan menyusul pada 1946. Eksplorasi geothermal besar-besaran dimulai pada 1956, diikuti reorganisasi lembaga yang bertanggung-jawab mengembangkan EBT. Hasilnya terlihat pada 1973, ketika pembangkit listrik berbasis EBT menggusur energi berbasis fosil dengan kontribusi 51%. Kontribusi ini terus naik ke 72% (2002), dan 90% (2005).
Pada 2009, atau 86 tahun sejak munculnya regulasi pertama EBT, negara tersebut sukses mendongkrak kontribusi EBT mencapai 99,7%. Situasi ini terjaga sampai dengan sekarang. Bandingkan dengan Indonesia yang baru mengenal konsep EBT pada tahun 1970, dan memiliki perangkat hukum EBT pada 2007. Jika mengacu pada Islandia yang perlu 86 tahun, maka EBT paling cepat baru dominan di Indonesia pada 2093.
Mengutip International Renewable Energy Agency (Irena), organisasi dengan anggota lebih dari 150 negara, biaya pembangkitan listrik tenaga bayu sejak 2010 memang turun 23% sedangkan biaya pembangkitan listrik tenaga surya anjlok 73%. Namun, itu belum cukup kompetitif dengan harga pembangkitan listrik dari energi fosil.
![]() |
Next Page
Subsidi Harga Mati
Pages
Most Popular