60% Tenaga Kerja Lulusan SD, RI Tak Siap Hadapi Industri 4.0

Samuel Pablo, CNBC Indonesia
23 April 2018 18:35
Indonesia dinilai belum siap hadapi revolusi Industri 4.0 karena hadapi masalah ketenagakerjaan.
Foto: McDonald's Indonesia
Jakarta, CNBC Indonesia - Tenaga kerja dinilai menjadi hambatan pemerintah menghadapi era Industri 4.0 atau revolusi industri jilid 4.

Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Johnny Darmawan mengatakan dari 120 juta tenaga kerja, sekitar 80% masih berijazah sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP).

"Sebelum berbicara terlalu jauh ke penerapan industri 4.0, yang harus kita lakukan adalah membangun industri yang berkelanjutan, berdaya saing, dan berorientasi ekspor. Nah, sekarang hambatannya adalah pemerintah punya handicap mayoritas tenaga kerja lulusan SD-SMP-SMA ini," ujar Johnny di Hotel Grand Sahid Jaya, Senin (23/4/2018).


Johnny mengatakan pemerintah perlu melakukan reformasi kurikulum pendidikan, tidak hanya sebatas pelatihan vokasional.

Presiden Komisaris PT Indomobil Sukses Internasional Tbk (IMAS) mengatakan 60% dari 160 juta tenaga kerja di RI hanya lulusan SD. 

"160 juta tenaga kerja kita, 60%-nya berijazah SD," jelas Soebronto.

Adapun selain tenaga kerja, Johnny Darmawan yang mantan Dirut PT Toyota Astra Motor ini juga menyoroti inkonsistensi pemerintah dalam membangun industri dari hulu hingga ke hilir, di mana pemerintah dipandang belum mampu menyediakan bahan baku (raw materials) dan bahan penolong industri seperti baja dan petrokimia, untuk mengurangi ketergantungan impor.

"Saya dulu memimpin Toyota sehingga fokus saya di otomotif. Otomotif itu base-nya ya industri baja. Sekarang kita lihat apakah Krakatau Steel berjalan dengan baik? Juga petrokimia berbasis minyak bumi kelihatannya sulit sekali berkembang padahal itu bahan baku bagi industri pupuk, plastik, dan lain-lain," jelasnya.

Johnny mencontohkan kewajiban tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) dalam produk otomotif, di mana Toyota berusaha memenuhi bahan baku baja dari Krakatau Steel dan produk petrokimia dari Chandra Asri. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, kurangnya insentif pemerintah di sektor hulu menyebabkan hilirisasi industri juga tidak berjalan dengan baik.

"Sehingga kemudiaan aturan TKDN itu seakan tidak terpakai karena ujung-ujungnya bahan pelengkap ini kita harus impor. Padahal tanpa impor itu bisa mengurangi biaya logistik hingga 30%. Kita mengharapkan keberpihakan pemerintah dalam membangun industri secara berkesinambungan dari hulu ke hilir," ungkap Johnny.
(ray/ray) Next Article Pengusaha: Tenaga Kerja RI Belum Siap Sambut Industri 4.0

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular