
Genjot Infrastruktur, Ekonomi RI Bisa Tumbuh 7% Pada 2023
Raditya Hanung Prakoswa, CNBC Indonesia
19 April 2018 10:05

Jakarta, CNBC Indonesia - Hasil studi dari Tusk Advisory, sebuah perusahaaan konsultan di bidang infrastruktur asal Singapura, melaporkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat mencapai 7% dalam lima tahun ke depan, apabila seluruh proyek infrastruktur yang sedang dibangun saat ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Seperti diketahui, pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Joko Widodo telah menetapkan sejumlah proyek pembangunan pembangkit listrik, pelabuhan, jalan, dan proyek infrastruktur lainnya dengan total nilai investasi mencapai US$342 miliar (atau sekitar Rp4.600 triliun), yang dikemas dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 58 Tahun 2017.
Berdasarkan temuan Tusk Advisory, per Desember 2017, pemerintah telah menyelesaikan 62 proyek dengan nilai mencapai US$4,2 miliar (atau Rp56,28 triliun). Selain itu, 224 proyek saat ini tercatat sedang dalam proses pembangunan, dengan estimasi nilai mencapai US$99,2 miliar (Rp1.329 triliun). Secara total, proyek infrastruktur Indonesia yang saat ini telah selesai maupun sedang dibangun mencapai US$103,4 miliar (Rp1.385 Triliun).
Tusk lantas menilai bahwa apabila proyek infrastruktur senilai US$103,4 miliar itu dapat selesai tepat waktu di tahun 2019-2020, akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat mencapai 7,2% di 2023. Bahkan, apabila sisa PSN senilai US$238 miliar dapat selesai setengahnya (US$119 miliar) pada 2023, pertumbuhan ekonomi RI dapat melesat hingga 9% pada 2030.
Selain dari sisi pertumbuhan ekonomi, Tusk meyakini bahwa investasi infrastruktur tambahan senilai US$119 miliar hingga 2023 tersebut, dapat menekan tingkat kemiskinan yang saat ini sekitar 10,9% menjadi 8% pada 2030. Rasio Gini, indeks yang mengukur ketimpangan, juga diramalkan turun sebanyak 2 poin pada tahun 2030, dengan scenario yang sama.
"Selain meningkatkan pertumbuhan PDB, (pembangunan infrastruktur) menurunkan tingkat kemiskinan dan ketimpangan ekonomi, sehingga merupakan indikator yang kelas bahwa investasi di sektor infrastruktur juga dapat meningkatkan pemerataan pendapatan bagi masyarakat Indonesia," ujar Raj Kannan, Presiden Direktur Tusk Advisory, di acara The Launch of The Impact of Indonesia's Infrastructure Delivery Report pada Rabu (18/4).
Hal serupa juga sempat ditekankan oleh Prof. Dr. Emil Salim yang juga turut menghadiri acara peluncuran laporan dari Tusk Advisory tersebut. "Pembangunan infrastruktur tidak bisa hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, tapi juga equality, khususnya antara Indonesia Timur dan Barat. Pembangunan (infrastruktur) ini bukan hanya pembangunan ekonomi, tapi juga untuk menyatukan bangsa," ucap penerima penghargaan The Leader for The Living Planet dari World Wide Fund (WWF) tersebut.
Sebagai tambahan, Emil Salim juga menggarisbawahi bahwa saat ini prinsip equality itu belum terlihat dari pembangunan infrastruktur yang telah dilakukan, terlihat dari data Nilai Tukar Petani (NTP) yang melemah, juga rasio gini yang masih belum bagus. Berdasarkan penelusuran Tim Riset CNBC Indonesia, NTP pada Maret 2018 secara nasional turun 0,39% menjadi 101,94. Ini merupakan penurunan empat bulan berturut-turut sejak November pada tahun lalu.
Sementara itu, rasio gini nasional juga tercatat sebesar 0,391 pada September 2017, hanya turun sedikit dari capaian tahun sebelumnya sebesar 0,394. Hal itu disebabkan peningkatan rasio gini di pedesaan dari 0,316 di September 2016 menjadi 0,320 pada September 2017. Secara spasial, rasio gini di Indonesia bagian Timur juga relatif masih lebih tinggi dibandingkan Indonesia bagian Barat.
Tidak hanya itu, Emil Salim juga menyebutkan bahwa pembangunan infrastruktur juga harus berjalan berdampingan dengan industrialisasi. Mantan Menteri Lingkungan Hidup RI di era orde baru itu meyakini bahwa nilai tambah industri merupakan hal yang sangat penting, sehingga proses hilirisasi perlu digenjot. Dalam hal ini, pemerintah kemudian dirasa perlu menciptakan demand di sektor ini, misalnya dengan memberikan insentif khusus bagi pengembangan hilirisasi.
Sebagai penutup, Tusk juga menambahkan bahwa meskipun kemajuan pemerintahan Jokowi cukup positif, sebagian besar pembangunan dilakukan oleh sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang menghadapi keterbatasan pendanaan. Agar dapat mencapai target yang diharapkan, sangatlah penting bagi pemerintah untuk mempertimbangkan strategi pendanaan alternatif bagi BUMN dan memanfaatkan peran swasta terutama dalam meningkatkan kapasitas finansial, manajemen, dan teknologi.
Kesadaran pemerintah atas kebutuhan yang berkelanjutan untuk suntikan modal dan aktifnya fasilitasi dalam pengembangan skema pembiayaan inovatif seperti penerbitan instrumen sekuritisasi atau Future Revenue Based Securities (FRBS) oleh BUMN di sektor infrastruktur, memberikan harapan untuk pengembangan ke depan.
Tidak hanya itu, Pemerintah juga telah menerbitkan obligasi denominasi Rupiah atau Komodo Bonds di London Stock Exchange. Selanjutnya, pemerintah juga sedang dalam tahap finalisasi penerbitan peraturan untuk memonetisasi aset infrastruktur eksisting melalui skema Hak Pengelolaan Terbatas/LimitedConcession Scheme (LCS). LCS diharapkan dapat menghasilkan suntikan modal tambahan dari sektor swasta untuk pembangunan infrastruktur baru, tanpa menjual aset negara.
(RHG/RHG) Next Article Darmin: Tak Ada Tambahan Proyek Strategis Nasional
Seperti diketahui, pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Joko Widodo telah menetapkan sejumlah proyek pembangunan pembangkit listrik, pelabuhan, jalan, dan proyek infrastruktur lainnya dengan total nilai investasi mencapai US$342 miliar (atau sekitar Rp4.600 triliun), yang dikemas dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 58 Tahun 2017.
Berdasarkan temuan Tusk Advisory, per Desember 2017, pemerintah telah menyelesaikan 62 proyek dengan nilai mencapai US$4,2 miliar (atau Rp56,28 triliun). Selain itu, 224 proyek saat ini tercatat sedang dalam proses pembangunan, dengan estimasi nilai mencapai US$99,2 miliar (Rp1.329 triliun). Secara total, proyek infrastruktur Indonesia yang saat ini telah selesai maupun sedang dibangun mencapai US$103,4 miliar (Rp1.385 Triliun).
![]() |
Selain dari sisi pertumbuhan ekonomi, Tusk meyakini bahwa investasi infrastruktur tambahan senilai US$119 miliar hingga 2023 tersebut, dapat menekan tingkat kemiskinan yang saat ini sekitar 10,9% menjadi 8% pada 2030. Rasio Gini, indeks yang mengukur ketimpangan, juga diramalkan turun sebanyak 2 poin pada tahun 2030, dengan scenario yang sama.
"Selain meningkatkan pertumbuhan PDB, (pembangunan infrastruktur) menurunkan tingkat kemiskinan dan ketimpangan ekonomi, sehingga merupakan indikator yang kelas bahwa investasi di sektor infrastruktur juga dapat meningkatkan pemerataan pendapatan bagi masyarakat Indonesia," ujar Raj Kannan, Presiden Direktur Tusk Advisory, di acara The Launch of The Impact of Indonesia's Infrastructure Delivery Report pada Rabu (18/4).
Hal serupa juga sempat ditekankan oleh Prof. Dr. Emil Salim yang juga turut menghadiri acara peluncuran laporan dari Tusk Advisory tersebut. "Pembangunan infrastruktur tidak bisa hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, tapi juga equality, khususnya antara Indonesia Timur dan Barat. Pembangunan (infrastruktur) ini bukan hanya pembangunan ekonomi, tapi juga untuk menyatukan bangsa," ucap penerima penghargaan The Leader for The Living Planet dari World Wide Fund (WWF) tersebut.
Sebagai tambahan, Emil Salim juga menggarisbawahi bahwa saat ini prinsip equality itu belum terlihat dari pembangunan infrastruktur yang telah dilakukan, terlihat dari data Nilai Tukar Petani (NTP) yang melemah, juga rasio gini yang masih belum bagus. Berdasarkan penelusuran Tim Riset CNBC Indonesia, NTP pada Maret 2018 secara nasional turun 0,39% menjadi 101,94. Ini merupakan penurunan empat bulan berturut-turut sejak November pada tahun lalu.
Sementara itu, rasio gini nasional juga tercatat sebesar 0,391 pada September 2017, hanya turun sedikit dari capaian tahun sebelumnya sebesar 0,394. Hal itu disebabkan peningkatan rasio gini di pedesaan dari 0,316 di September 2016 menjadi 0,320 pada September 2017. Secara spasial, rasio gini di Indonesia bagian Timur juga relatif masih lebih tinggi dibandingkan Indonesia bagian Barat.
![]() |
Tidak hanya itu, Emil Salim juga menyebutkan bahwa pembangunan infrastruktur juga harus berjalan berdampingan dengan industrialisasi. Mantan Menteri Lingkungan Hidup RI di era orde baru itu meyakini bahwa nilai tambah industri merupakan hal yang sangat penting, sehingga proses hilirisasi perlu digenjot. Dalam hal ini, pemerintah kemudian dirasa perlu menciptakan demand di sektor ini, misalnya dengan memberikan insentif khusus bagi pengembangan hilirisasi.
Sebagai penutup, Tusk juga menambahkan bahwa meskipun kemajuan pemerintahan Jokowi cukup positif, sebagian besar pembangunan dilakukan oleh sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang menghadapi keterbatasan pendanaan. Agar dapat mencapai target yang diharapkan, sangatlah penting bagi pemerintah untuk mempertimbangkan strategi pendanaan alternatif bagi BUMN dan memanfaatkan peran swasta terutama dalam meningkatkan kapasitas finansial, manajemen, dan teknologi.
Kesadaran pemerintah atas kebutuhan yang berkelanjutan untuk suntikan modal dan aktifnya fasilitasi dalam pengembangan skema pembiayaan inovatif seperti penerbitan instrumen sekuritisasi atau Future Revenue Based Securities (FRBS) oleh BUMN di sektor infrastruktur, memberikan harapan untuk pengembangan ke depan.
Tidak hanya itu, Pemerintah juga telah menerbitkan obligasi denominasi Rupiah atau Komodo Bonds di London Stock Exchange. Selanjutnya, pemerintah juga sedang dalam tahap finalisasi penerbitan peraturan untuk memonetisasi aset infrastruktur eksisting melalui skema Hak Pengelolaan Terbatas/LimitedConcession Scheme (LCS). LCS diharapkan dapat menghasilkan suntikan modal tambahan dari sektor swasta untuk pembangunan infrastruktur baru, tanpa menjual aset negara.
(RHG/RHG) Next Article Darmin: Tak Ada Tambahan Proyek Strategis Nasional
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular