Special Interview

'Lelang Gula Rafinasi Memberatkan Industri'

Raydion Subiantoro, CNBC Indonesia
03 April 2018 13:50
Pengusaha meminta transaksi gula rafinasi kembali dilakukan secara business-to-business (B to B).
Foto: Ist
Jakarta, CNBC Indonesia - Lelang gula rafinasi melalui pasar berjangka belakangan mendapat sorotan berbagai pihak karena justru menimbulkan biaya tinggi apabila dibandingkan dengan transaksi langsung business-to-business (B to B). Bahkan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga merekomendasikan pembatalan kegiatan lelang gula rafinasi.

Kepada CNBC Indonesia, Ketua Tim Ahli Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sutrisno Iwantono mengutarakan bagaimana sebetulnya sistem di lapangan terkait kegiatan lelang gula rafinasi ini.


Bagaimana pendapat anda tentang Surat Rekomendasi KPK tentang Pembatalan rencaana Lelang Gula Rafinasi?

Kita menyambut baik rekomendasi tersebut. Kiranya mencerminkan aspirasi dari stakeholders gula rafinasi.

Rencana lelang gula rafinasi tersebut memang tidak mendapat dukungan dari pelaku usaha yang terkait dengan gula rafinasi, baik produsen maupun penggunanya.

Diteruskannya pelaksanaan lelang gula rafinasi kita khawatirkan justru kontra produktif terhadap kegiatan ekonomi dan bisnis secara keseluruhan.

Apa saja beban yang dirasakan berat bagi pengusaha dalam hal ini?

Ada banyak aspek yang memberatkan bagi pelaku usaha. Misalnya untuk pengguna industri makanan dan minuman.

Melalui lelang, gula harus diambil sendiri ke pabrik, disana ada barcode tertentu untuk pabrik tertentu, jika dalam perjalanan gula ini ada salah distribusi atau bocor ketempat lain, pengguna tersebut bisa berurusan dengan polisi. Ini yang paling ditakutkan pengusaha mau bisnis baik-baik malah berurusan dengan apparat penegah hukum.

Lalu, adanya kewajiban menyediakan jaminan 5% atas gula yang akan di tebus. Jaminan ini tentu menimbulkan biaya bunga yang harus di tanggung oleh pengusaha. Sementara itu, bank penerima jaminan tentu bergembira dengan masuknya dana ini.

Kemudian kewajiban bayar tunai, padahal sebelumnya bisa kredit, nah ini beban biaya bunga lagi yang tidak kecil. Terus adanya fee lelang yang harus dibayar baik oleh penjual maupun pembeli.

Belum lagi biaya inap ekspedisi waktu antri loading di pabrik.
Menurut perhitungan kasar jika ikut lelang gula rafinasi 5.000 ton biayanya bisa mencapai Rp 1 miliar lebih. Ini kan biaya ekonomi yang tidak perlu.

Harapan kedepan bagaimana?

Kita harapkan kementerian-kementerian tidak membuat kebijakan yang aneh-aneh. Terus, daya beli masyarakat masih belum pulih. 

Data BPS menunjukkan bahwa pada Triwulan I-2018 bahwa Indeks Tendesi Bisnis (ITB) menurun dibandingkan kondisi Triwulan IV-2017.

Pada Triwulan IV-2017 ITB adalah 111,2 dan  pada Triwulan I-2018 ITB 108,6. ITB mencerminkan optimistis pelaku usaha terhadap perkembangan usaha ke depan.

Untuk bisa meningkatkan ITB haruslah ada perbaikan permintaan. Karena itu kita berharap agar aturan dan kebijakan bisa mendorong peningkatan permintaan.

Sementara, Indeks Tendensi Konsumen (ITK) walaupun masih positif tetapi terus menurun sejak Triwulan III-2017 yaitu 109,42, menjadi 107,0 pada Triwulan IV-2017. Pada Triwulan I-1018 di prediksi turun menjadi 101,35. ITK mencerminkan kondisi ekonomi konsumen untuk melakukan belanja atas barang dan jasa.

ITK merupakan refleksi dari daya beli masyarakat, dalam kondisi ITK menurun tentu permintaan atas barang dan jasa menurun. Kita sekali lagi perlu mendorong pasar agar lebih bergairah.
 


Beralih ke Isu lain berkenaan dengan rencana Ditjen Paja menurun tarif pajak final UKM dari 1% menjadi 0,5%?
Tentu kami menyambut baik

Putusan Presiden Jokowi ini, karena menunjukkan keberpihakannya kepada UKM. Hanya saja isu bahwa ambang batasnya akan diturunkan lebih kecil dari Rp 4,8 miliar omzet satu tahun, menyebabkan UKM kecewa.

UKM jadi tidak semangat mengembangkan usahanya, kalau meningkat sedikit sudah kena ketentuan lain yang memberatkan. Perlu diketahui masalah pembukuan memang menjadi hambatan bagi UKM.

Karena itu pajak yang sifatnya final sudah benar. Jangan nanti ditambah dengan ketentuan-ketentuan administrasi lain yang dirasakan rumit bagi UKM. 

Malah UKM minta kalau bisa batas Rp 4,8 miliar lebih ditingkatkan, karena angka itu kan angka tahun 2013 sekarang sudah 2018 terkena inflasi 5 tahun itu besar loh.

Sekarang ini per 31 Maret 2018 sudah ada peningkatan kepatuhan lapor SPT, jangan lagi nanti tahun depan turun lagi akibat administrasi pajak yang dirasa ribet.
 

(ray/ray) Next Article ORI: Penggunaan Gula Impor di Industri Meroket di Era Jokowi

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular