Tarif Tol Turun: Satu Lagi Kebijakan Populis Jokowi?

Arys Aditya, CNBC Indonesia
23 March 2018 16:44
Presiden Joko Widodo sebelumnya juga mengeluarkan kebijakan populis yakni menambah dana PKH, serta menahan harga listrik dan BBM.
Foto: Setpres RI
Jakarta, CNBC Indonesia - Setelah memerintahkan penambahan besaran rupiah dalam Program Keluarga Harapan (PKH) serta menahan harga listrik dan BBM hingga 2019, Presiden Joko Widodo menghadirkan satu lagi kebijakan yang disebut 'populis' di tahun politik. 

Presiden memerintahkan kepada sejumlah kementerian untuk mengkaji penurunan tarif untuk sejumlah ruas jalan tol.

Hal ini pertama kali diungkapkan oleh Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono dalam rapat bersama Komisi V DPR, Rabu (21/3/2018). 

Esoknya, Kamis (22/3/2018), Kepala Negara memanggil para pemangku kepentingan untuk membicarakan hal ini.

Nampak hadir antara lain Menteri Basuki, Menteri BUMN Rini Soemarno, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi serta operator jalan tol seperti Dirut PT Jasa Marga Tbk (JSMR) Desi Arryani dan Wiwiek D. Santoso, Direktur Astratel Nusantara-anak usaha PT Astra Internasional Tbk (ASII) yang bergerak di usaha jalan tol.

Usai pertemuan selama lebih dari satu jam tersebut, terungkap bahwa operator meminta agar konsesi jalan tol diperpanjang untuk mengompensasi kebijakan penurunan tarif. Perpanjangan konsesi berkisar antara 10-15 tahun menjadi 50 tahun. 

Menteri Basuki membantah perintah tersebut merupakan keinginan Presiden yang mendekati perhelatan Pemilihan Umum dan Pemilihan Presiden 2019. Dia menyatakan, keinginan tersebut sudah diutarakan oleh Presiden ketika melakukan peresmian Tol Bakauheni-Terbanggi Besar pada Januari lalu.  

Basuki menyebut perintah itu didasari oleh Presiden yang terus-menerus mendapat keluhan dari pengguna jalan tol, khususnya supir truk dan kendaraan niaga lain.  

Jokowi akhirnya buka suara hari ini soal perintahnya agar tarif tol turun. 

"Ya saya kan sering turun ke bawah, sering ke daerah, itu suara-suara seperti itu yang saya dengar. Ini dari sopir. Saya apa adanya. Kalau hanya satu sopir enggak apa-apa. Kalau sudah masuk 2 sopir, 3 sopir, oh ini mesti harus dievaluasi," paparnya. 

Meski dibantah, aroma kebijakan populis terendus oleh berbagai kalangan. Pasalnya, kebijakan ini dilansir berurutan setelah Presiden Jokowi mengutarakan instruksi untuk dua kebijakan lain, yaitu penambahan rupiah yang digelontorkan untuk PKH serta menahan harga BBM dan listrik sampai tahun depan. 


Ekonom Institute for Development of Economics & Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara mengungkapkan bahwa kebijakan penurunan tarif jalan tol semestinya dilansir sejak lama. 

"Ini kebijakan populis. Tarif mahalnya sejak 2015, sudah berlaku cukup lama. Tapi setelah muncul protes baru diturunkan tarifnya," katanya. 

Bhima menjelaskan golongan truk muatan besar memang yang paling membutuhkan jalan tol. Tetapi, tuturnya, karena tarif tol mahal maka truk-truk tersebut terbebani dan akhirnya lewat jalan biasa. 

"Tarif tol mahal sejak lama membebani pengusaha, padahal sisi permintaan sedang lesu. Kalau tol mahal kan justru tidak menyelesaikan masalah biaya logistik kita yang sampai 15% dari PDB itu," ujar Bhima. 
(ray/ray) Next Article Aturan Baru, Pengelola Tol Wajib Beri 30% Lapak untuk UMKM

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular