
Perang Dagang Timbulkan Risiko Geopolitik Terbesar Sejak 1998
Arys Aditya, CNBC Indonesia
23 March 2018 11:24

Jakarta, CNBC Indonesia - Pelaku bisnis global dirundung kecemasan. Bursa saham global serempak memerah akibat aksi Amerika Serikat yang menyulut perang dagang dengan China. Hal ini juga berpeluang berlangsung dalam jangka panjang dan memantik konflik geopolitik.
CEO Eurasia Group, Ian Bremmer, konsultan politik internasional yang sangat berpengaruh ini menyebut kebijakan AS yang kemudian membuat China menyiapkan aksi balasan merupakan risiko geopolitik yang sangat berbahaya. Bahkan, ia menyebut paling berbahaya dalam 20 tahun terakhir.
"Probably the worst/biggest single day for geopolitical risk since I started Eurasia Group in 1998," kata Ian di laman Facebooknya, dikutip CNBC Indonesia, Jumat (23/3/2018).
Dalam riset tahunan, Eurasia sudah memprediksi perspektif proteksionisme a'la Presiden AS Donald Trump akan menjadi pangkal perang dagang. Eurasia menyebut fenomena ini, yang tercermin dalam slogan 'America First', sebagai 'Protecsionism 2.0'.
"Pergerakan antikemapanan ini akan memaksa pengambil kebijakan bergerak ke arah pendekatan yang lebih merkantilis dalam memandang kompetisi ekonomi global. Tembok akan semakin tinggi," kata Eurasia.
Konsekuensi dari proteksionisme ini, papar Eurasia, perusahaan dan investor akan berhadapan dengan rantai pasok yang lebih kompleks dan penuh dengan hambatan, sehingga menambah beban biaya serta meningkatkan harga bagi konsumen.
"Akhirnya, proteksionisme 2.0 akan melahirkan dampak dan kerusakan geopolitis yang lebih besar secara global dibandingkan yang dapat dipikirkan oleh para pelakunya," ungkap lembaga ini.
Tak hanya pasar modal Indonesia, rupiah juga terkena imbas aturan baru di AS terkait bea masuk terhadap impor dari China. Presiden AS Donald Trump baru saja meneken aturan pengenaan bea masuk terhadap produk China untuk melindungi hak atas kekayaan intelektual.
Sebelumnya, China menyatakan tidak akan tinggal diam jika AS menerapkan kebijakan tersebut. China akan membalas dengan mempersulit produk AS masuk ke negaranya. Produk pertanian, pesawat terbang, sampai alat berat menjadi target potensial.
Ketika dua kekuatan besar ini berseteru, maka dampaknya akan menyebar ke seluruh dunia. Permintaan produk China di AS akan turun karena pembatasan, sehingga mempengaruhi industri di Negeri Tirai Bambu. Negara-negara pemasok bahan baku maupun barang modal bagi industri di China juga akan terpukul.
Oleh karena itu, perang dagang AS vs China akan merusak rantai pasok dan industri dalam skala yang masif. Korban dari perang dagang ini adalah perekonomian global.
(dru) Next Article Awas! Gara-Gara Trump, RI Bisa Banjir Produk China
CEO Eurasia Group, Ian Bremmer, konsultan politik internasional yang sangat berpengaruh ini menyebut kebijakan AS yang kemudian membuat China menyiapkan aksi balasan merupakan risiko geopolitik yang sangat berbahaya. Bahkan, ia menyebut paling berbahaya dalam 20 tahun terakhir.
"Probably the worst/biggest single day for geopolitical risk since I started Eurasia Group in 1998," kata Ian di laman Facebooknya, dikutip CNBC Indonesia, Jumat (23/3/2018).
"Pergerakan antikemapanan ini akan memaksa pengambil kebijakan bergerak ke arah pendekatan yang lebih merkantilis dalam memandang kompetisi ekonomi global. Tembok akan semakin tinggi," kata Eurasia.
Konsekuensi dari proteksionisme ini, papar Eurasia, perusahaan dan investor akan berhadapan dengan rantai pasok yang lebih kompleks dan penuh dengan hambatan, sehingga menambah beban biaya serta meningkatkan harga bagi konsumen.
"Akhirnya, proteksionisme 2.0 akan melahirkan dampak dan kerusakan geopolitis yang lebih besar secara global dibandingkan yang dapat dipikirkan oleh para pelakunya," ungkap lembaga ini.
Tak hanya pasar modal Indonesia, rupiah juga terkena imbas aturan baru di AS terkait bea masuk terhadap impor dari China. Presiden AS Donald Trump baru saja meneken aturan pengenaan bea masuk terhadap produk China untuk melindungi hak atas kekayaan intelektual.
Sebelumnya, China menyatakan tidak akan tinggal diam jika AS menerapkan kebijakan tersebut. China akan membalas dengan mempersulit produk AS masuk ke negaranya. Produk pertanian, pesawat terbang, sampai alat berat menjadi target potensial.
Ketika dua kekuatan besar ini berseteru, maka dampaknya akan menyebar ke seluruh dunia. Permintaan produk China di AS akan turun karena pembatasan, sehingga mempengaruhi industri di Negeri Tirai Bambu. Negara-negara pemasok bahan baku maupun barang modal bagi industri di China juga akan terpukul.
Oleh karena itu, perang dagang AS vs China akan merusak rantai pasok dan industri dalam skala yang masif. Korban dari perang dagang ini adalah perekonomian global.
(dru) Next Article Awas! Gara-Gara Trump, RI Bisa Banjir Produk China
Most Popular