Indonesia Memang Timpang, Tapi Tak Berarti Bakal Bubar

Raditya Hanung & Alfado Agustio, CNBC Indonesia
21 March 2018 17:30
Indonesia Memang Timpang, Tapi Tak Berarti Bakal Bubar
Foto: Reuters
Jakarta, CNBC Indonesia - Dalam pidatonya yang diunggah di akun facebook Partai Gerindra, Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto menyampaikan bahwa di luar negeri sudah ada berbagai kajian yang memprediksi Indonesia bakal "bubar" pada tahun 2030.

Sebagai tambahan, tokoh yang ikut berkompetisi sebagai calon Presiden pada Pemilu Presiden 2014 tersebut juga menggarisbawahi kekayaan negara yang hanya dikuasai oleh segelintir masyarakat.

"Bung! Mereka ramalkan kita ini bubar, elit kita ini merasa bahwa 80% tanah seluruh negara dikuasai 1% rakyat kita, nggak apa-apa. Bahwa hampir seluruh aset dikuasai 1%, nggak apa-apa. Bahwa sebagian besar kekayaan kita diambil ke luar negeri tidak tinggal di Indonesia, tidak apa-apa. Ini yang merusak bangsa kita, saudara-saudara sekalian!" ujarnya berapi-api.

CNBC Indonesia telah menguji pernyataan Prabowo dan menemukan bahwa pernyataan Prabowo tersebut tidak sepenuhnya salah jika dilihat dari pemerataan aset finansial masyarakat yakni dana pihak ketiga (DPK) di perbankan. Ulasan tersebut bahkan belum memasukkan pemerataan aset investasi non-perbankan.

Kali ini, CNBC Indonesia mengukur klaim Prabowo tersebut dari sisi kepemilikan aset nonfinansial, yakni perkebunan yang menjadi sektor utama ekonomi nasional di mana masyarakat memiliki akses terbuka untuk memiliki dan mengoperasikannya.

Merujuk pada buku statistik Perkebunan Indonesia Komoditas Kelapa Sawit 2015-2017, lahan perkebunan sawit diestimasi bertambah 2,74 juta hektare (ha) dalam lima tahun terakhir (2012-2017). Artinya, sebanyak 548.000 ha lahan-setara dengan luas Pulau Bali--telah berubah fungsi menjadi kebun sawit tiap tahunnya. Dengan kata lain, setiap tahun ada kebun sawit baru seluas pulau Bali yang dibuka.
Indonesia Memang Timpang, Tapi Tak Berarti Bakal BubarSumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian
Sayangnya, luas perkebunan sawit yang dimiliki perusahaan swasta meningkat lebih cepat daripada luas perkebunan milik rakyat dan pemerintah. Dalam periode 5 tahun tersebut, luas areal perkebunan perusahaan swasta tumbuh 2,05 juta ha, sementara luas areal perkebunan rakyat hanya naik 620.000 ha.

Uniknya, luasan bentang lahan perkebunan sawit tersebut, sebagian besarnya dimiliki oleh perusahaan-perusahaan multinasional.

Berdasarkan laporan berjudul "Kendali Taipan atas Grup Bisnis Kelapa Sawit di Indonesia" yang dikeluarkan oleh Transformasi untuk Keadilan Indonesia, sebesar 3,29 juta ha perkebunan kelapa sawit Indonesia hanya dikuasai oleh 10 perusahaan konglomerasi besar (per 2013).
Indonesia Memang Timpang, Tapi Tak Berarti Bakal BubarSumber: TUK Indonesia, diolah Tim Riset CNBC Indonesia
Apabila ditelisik lebih lanjut, 10 perusahaan yang dikendalikan oleh orang terkaya di Indonesia ini menguasai lebih dari 61% lahan perkebunan sawit swasta. Namun jika dibandingkan dengan total lahan sawit yang aktif, kepemilikan mereka setara dengan 31,43% total luas perkebunan sawit di Republik ini pada tahun 2013.
Senada dengan analisis tersebut, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) pada September 2017 lalu menggarisbawahi ketimpangan struktur penguasaaan dan konflik agraria masih banyak terjadi di Indonesia. Berdasarkan data KPA, dari seluruh wilayah daratan di Indonesia, 71% di antaranya dikuasai korporasi kehutanan, 16% dipegang korporasi perkebunan skala besar, 7% dikuasai para konglomerat, sementara rakyat kecil hanya menguasai sisanya.

Dampaknya, 1% orang terkaya di Indonesia menguasai 50,3% kekayaan nasional, dan 10% orang terkaya menguasai 77% kekayaan nasional. Namun, Prabowo harus memperhatikan bahwa Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (JK) bukannya tidak sadar mengenai hal ini dan hanya berpangku tangan. Selama tiga tahun pemerintahannya, sudah ada beberapa kemajuan program reformasi agraria di negeri ini.

Berdasarkan data Kantor Staf Kepresidenan (KSP), hingga 29 Agustus 2017, capaian reforma agraria meliputi legalisasi aset sebanyak 508.391,11 ha yang diberikan kepada 1.327.028 keluarga, dan redistribusi aset seluas 187.036 ha yang diberikan kepada 179.142 keluarga.
Selain itu, melalui program prioritas lainnya yaitu perhutanan sosial,  1.053.477,50 ha telah diserahkan kepada 239.342 keluarga hingga Agustus 2017. Sementara itu, sebanyak 2.460 kelompok telah difasilitasi untuk pengembangan usaha.

Jika merujuk RPJMN 2015-2019, pemerintah menargetkan pengesahan perhutanan sosial seluas 12,7 juta ha dan 4,1 juta ha penyediaan sumber tanah obyek reforma agraria (TORA). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa capaian program perhutanan sosial baru sekitar 8,29%. Sementara, capaian TORA baru sekitar 16,96%.

Sementara itu dari luar negeri, Credit Suisse awal tahun lalu merilis riset yang menyebutkan bahwa 1% orang terkaya menguasai 49% kekayaan nasional. Perusahaan bank investasi global tersebut juga menyatakan ketimpangan kekayaan antara orang kaya dan miskin di Indonesia termasuk yang paling buruk di dunia. Dari sisi kesenjangan, Indonesia berada di  posisi ke-4 dunia, satu tingkat di bawah Thailand.
Indonesia Memang Timpang, Tapi Tak Berarti Bakal BubarSumber: Credit Suisse, diolah oleh Tim Riset CNBC Indonesia
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bima Yudhistira mengamini data tersebut, menegaskan bahwa ketimpangan kekayaan di Indonesia memang terjadi secara nyata. Dia memberi contoh tingginya rasio gini lahan yang mencapai angka 0,64 pada 2013, yang mengindikasikan bahwa 1% masyarakat Indonesia menguasai 64% lahan yang ada.

“Soal data ketimpangan, memang 1% orang terkaya menguasai 49,3% kekayaan nasional [sesuai riset Credit Suisse]. Selain itu, gini rasio lahan juga cukup tinggi di kisaran 0,64% pada tahun 2013. Akumulasi kekayaan di tangan orang2 kaya itu benar adanya,” tuturnya kepada CNBC Indonesia.

Namun demikian, Bima menilai Prabowo harus memperjelas data atau riset yang dia klaim berisikan prediksi bahwa Indonesia akan bubar pada 2030. “Ada jumping conclusion di mana  kesimpulannya loncat ke negara bubar 2030. Ada analisis yang belum lengkap. Di rusia 1% orang terkaya menguasai 74,5% kekayaan nasional apa kemudian bisa disimpulkan Rusia akan bangkrut dan jadi failed state?” tambah Bima.

Terkait dengan klaim negara bubar, firma konsultan global Mckinsey justru berpendapat sebaliknya. Dalam risetnya, dikatakan bahwa Indonesia pada tahun 2030 akan mampu menjadi ekonomi terbesar nomor 7 dunia, dengan catatan mampu menjaga kestabilan pertumbuhan ekonomi, pemerataan pendapatan, mengurangi ketergantungan ekspor dari sisi migas, serta meningkatkan produktifitas masyarakat melalui program-program padat karya.

Demikian juga dengan perusahaan konsultan PricewaterhouseCoopers yang merilis riset berisi prediksi bahwa Indonesia akan menjadi negara dengan perekonomian terkuat kelima pada 2030 dengan nilai mencapai US$5,42 triliun.

Lagi-lagi, dari titik ketimpangan atau kesenjangan penguasaan aset, Prabowo tidak sepenuhnya salah. Namun, untuk persoalan ramalan bahwa Indonesia bakal bubar, Prabowo bisa dibilang ngawur, jika tidak bisa menunjukkan riset yang dia maksudkan.

TIM RISET CNBC INDONESIA



Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular