
Indonesia Memang Timpang, Tapi Tak Berarti Bakal Bubar
Raditya Hanung & Alfado Agustio, CNBC Indonesia
21 March 2018 17:30

Senada dengan analisis tersebut, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) pada September 2017 lalu menggarisbawahi ketimpangan struktur penguasaaan dan konflik agraria masih banyak terjadi di Indonesia. Berdasarkan data KPA, dari seluruh wilayah daratan di Indonesia, 71% di antaranya dikuasai korporasi kehutanan, 16% dipegang korporasi perkebunan skala besar, 7% dikuasai para konglomerat, sementara rakyat kecil hanya menguasai sisanya.
Dampaknya, 1% orang terkaya di Indonesia menguasai 50,3% kekayaan nasional, dan 10% orang terkaya menguasai 77% kekayaan nasional. Namun, Prabowo harus memperhatikan bahwa Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (JK) bukannya tidak sadar mengenai hal ini dan hanya berpangku tangan. Selama tiga tahun pemerintahannya, sudah ada beberapa kemajuan program reformasi agraria di negeri ini.
Berdasarkan data Kantor Staf Kepresidenan (KSP), hingga 29 Agustus 2017, capaian reforma agraria meliputi legalisasi aset sebanyak 508.391,11 ha yang diberikan kepada 1.327.028 keluarga, dan redistribusi aset seluas 187.036 ha yang diberikan kepada 179.142 keluarga. Selain itu, melalui program prioritas lainnya yaitu perhutanan sosial, 1.053.477,50 ha telah diserahkan kepada 239.342 keluarga hingga Agustus 2017. Sementara itu, sebanyak 2.460 kelompok telah difasilitasi untuk pengembangan usaha.
Jika merujuk RPJMN 2015-2019, pemerintah menargetkan pengesahan perhutanan sosial seluas 12,7 juta ha dan 4,1 juta ha penyediaan sumber tanah obyek reforma agraria (TORA). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa capaian program perhutanan sosial baru sekitar 8,29%. Sementara, capaian TORA baru sekitar 16,96%.
Sementara itu dari luar negeri, Credit Suisse awal tahun lalu merilis riset yang menyebutkan bahwa 1% orang terkaya menguasai 49% kekayaan nasional. Perusahaan bank investasi global tersebut juga menyatakan ketimpangan kekayaan antara orang kaya dan miskin di Indonesia termasuk yang paling buruk di dunia. Dari sisi kesenjangan, Indonesia berada di posisi ke-4 dunia, satu tingkat di bawah Thailand.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bima Yudhistira mengamini data tersebut, menegaskan bahwa ketimpangan kekayaan di Indonesia memang terjadi secara nyata. Dia memberi contoh tingginya rasio gini lahan yang mencapai angka 0,64 pada 2013, yang mengindikasikan bahwa 1% masyarakat Indonesia menguasai 64% lahan yang ada.
“Soal data ketimpangan, memang 1% orang terkaya menguasai 49,3% kekayaan nasional [sesuai riset Credit Suisse]. Selain itu, gini rasio lahan juga cukup tinggi di kisaran 0,64% pada tahun 2013. Akumulasi kekayaan di tangan orang2 kaya itu benar adanya,” tuturnya kepada CNBC Indonesia.
Namun demikian, Bima menilai Prabowo harus memperjelas data atau riset yang dia klaim berisikan prediksi bahwa Indonesia akan bubar pada 2030. “Ada jumping conclusion di mana kesimpulannya loncat ke negara bubar 2030. Ada analisis yang belum lengkap. Di rusia 1% orang terkaya menguasai 74,5% kekayaan nasional apa kemudian bisa disimpulkan Rusia akan bangkrut dan jadi failed state?” tambah Bima.
Terkait dengan klaim negara bubar, firma konsultan global Mckinsey justru berpendapat sebaliknya. Dalam risetnya, dikatakan bahwa Indonesia pada tahun 2030 akan mampu menjadi ekonomi terbesar nomor 7 dunia, dengan catatan mampu menjaga kestabilan pertumbuhan ekonomi, pemerataan pendapatan, mengurangi ketergantungan ekspor dari sisi migas, serta meningkatkan produktifitas masyarakat melalui program-program padat karya.
Demikian juga dengan perusahaan konsultan PricewaterhouseCoopers yang merilis riset berisi prediksi bahwa Indonesia akan menjadi negara dengan perekonomian terkuat kelima pada 2030 dengan nilai mencapai US$5,42 triliun.
Lagi-lagi, dari titik ketimpangan atau kesenjangan penguasaan aset, Prabowo tidak sepenuhnya salah. Namun, untuk persoalan ramalan bahwa Indonesia bakal bubar, Prabowo bisa dibilang ngawur, jika tidak bisa menunjukkan riset yang dia maksudkan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(RHG/ags)
Dampaknya, 1% orang terkaya di Indonesia menguasai 50,3% kekayaan nasional, dan 10% orang terkaya menguasai 77% kekayaan nasional. Namun, Prabowo harus memperhatikan bahwa Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (JK) bukannya tidak sadar mengenai hal ini dan hanya berpangku tangan. Selama tiga tahun pemerintahannya, sudah ada beberapa kemajuan program reformasi agraria di negeri ini.
Berdasarkan data Kantor Staf Kepresidenan (KSP), hingga 29 Agustus 2017, capaian reforma agraria meliputi legalisasi aset sebanyak 508.391,11 ha yang diberikan kepada 1.327.028 keluarga, dan redistribusi aset seluas 187.036 ha yang diberikan kepada 179.142 keluarga. Selain itu, melalui program prioritas lainnya yaitu perhutanan sosial, 1.053.477,50 ha telah diserahkan kepada 239.342 keluarga hingga Agustus 2017. Sementara itu, sebanyak 2.460 kelompok telah difasilitasi untuk pengembangan usaha.
Sementara itu dari luar negeri, Credit Suisse awal tahun lalu merilis riset yang menyebutkan bahwa 1% orang terkaya menguasai 49% kekayaan nasional. Perusahaan bank investasi global tersebut juga menyatakan ketimpangan kekayaan antara orang kaya dan miskin di Indonesia termasuk yang paling buruk di dunia. Dari sisi kesenjangan, Indonesia berada di posisi ke-4 dunia, satu tingkat di bawah Thailand.
![]() |
“Soal data ketimpangan, memang 1% orang terkaya menguasai 49,3% kekayaan nasional [sesuai riset Credit Suisse]. Selain itu, gini rasio lahan juga cukup tinggi di kisaran 0,64% pada tahun 2013. Akumulasi kekayaan di tangan orang2 kaya itu benar adanya,” tuturnya kepada CNBC Indonesia.
Namun demikian, Bima menilai Prabowo harus memperjelas data atau riset yang dia klaim berisikan prediksi bahwa Indonesia akan bubar pada 2030. “Ada jumping conclusion di mana kesimpulannya loncat ke negara bubar 2030. Ada analisis yang belum lengkap. Di rusia 1% orang terkaya menguasai 74,5% kekayaan nasional apa kemudian bisa disimpulkan Rusia akan bangkrut dan jadi failed state?” tambah Bima.
Terkait dengan klaim negara bubar, firma konsultan global Mckinsey justru berpendapat sebaliknya. Dalam risetnya, dikatakan bahwa Indonesia pada tahun 2030 akan mampu menjadi ekonomi terbesar nomor 7 dunia, dengan catatan mampu menjaga kestabilan pertumbuhan ekonomi, pemerataan pendapatan, mengurangi ketergantungan ekspor dari sisi migas, serta meningkatkan produktifitas masyarakat melalui program-program padat karya.
Demikian juga dengan perusahaan konsultan PricewaterhouseCoopers yang merilis riset berisi prediksi bahwa Indonesia akan menjadi negara dengan perekonomian terkuat kelima pada 2030 dengan nilai mencapai US$5,42 triliun.
Lagi-lagi, dari titik ketimpangan atau kesenjangan penguasaan aset, Prabowo tidak sepenuhnya salah. Namun, untuk persoalan ramalan bahwa Indonesia bakal bubar, Prabowo bisa dibilang ngawur, jika tidak bisa menunjukkan riset yang dia maksudkan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(RHG/ags)
Pages
Most Popular