
Bank Harus Berikan Bunga Student Loan di RI Serendah Mungkin
Chandra Gian Asmara, CNBC Indonesia
16 March 2018 15:10

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menantang perbankan melakukan inovasi dengan mengeluarkan produk kredit pendidikan (student loan). Ini merupakan bagian dari upaya pemerintah, dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Meski demikian, rencana harus dilandasi dasar hukum yang jelas, terutama yang berkaitan dengan bunga pinjaman. Jangan sampai kebijakan ini justru menjadi beban lembaga maupun masyarakat yang menggunakan pinjaman tersebut.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah menilai, bunga pinjaman pendidikan tidak bisa dipukul rata dengan bunga pinjaman konvensional. Maka, perlu diatur lebih komprehensif terkait dengan batasan bunga.
"Paling make sense [bunga pinjaman pendidikan] itu 2%. Kalau dikenakan tinggi, bisa menjadi masalah," kata Piter saat berbincang dengan CNBC Indonesia, Jumat (16/3/2018).
Menurut Piter, ada sejumlah persoalan yang harus dicermati sebelum menerapkan program ini. Pertama, apabila bunga pinjaman yang dipatok terlalu tinggi, maka ada kemungkinan program tersebut tidak diminati masyarakat.
"Kalau bunga tinggi, mahasiswa pasti berat. Dalam jangka panjang, tentu akan berasa sekali," katanya.
Sementara yang kedua, dari sisi profil risiko debitur. Perbankan, kata Piter, akan lebih selektif memilih calon debitur, dan akan sulit menyalurkan kredit kepada debitur yang memiliki profil risiko tinggi.
"Yang bisa menyalurkan ini sudah pasti bank besar yang punya likuiditas dalam jumlah banyak. Mereka pasti lebih cermat dalam memilih, karena tidak mungkin mereka ambil yang punya risiko tinggi," jelasnya.
Maka dari itu, program ini memerlukan dasar hukum yang jelas. Bukan hanya dari sisi batasan bunga, namun mengenai aspek-aspek lainnya agar program tersebut tidak menjadi beban bagi masyarakat.
(dru) Next Article Jokowi Minta Bank RI Salurkan 'Student Loan', Bisakah?
Meski demikian, rencana harus dilandasi dasar hukum yang jelas, terutama yang berkaitan dengan bunga pinjaman. Jangan sampai kebijakan ini justru menjadi beban lembaga maupun masyarakat yang menggunakan pinjaman tersebut.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah menilai, bunga pinjaman pendidikan tidak bisa dipukul rata dengan bunga pinjaman konvensional. Maka, perlu diatur lebih komprehensif terkait dengan batasan bunga.
Menurut Piter, ada sejumlah persoalan yang harus dicermati sebelum menerapkan program ini. Pertama, apabila bunga pinjaman yang dipatok terlalu tinggi, maka ada kemungkinan program tersebut tidak diminati masyarakat.
"Kalau bunga tinggi, mahasiswa pasti berat. Dalam jangka panjang, tentu akan berasa sekali," katanya.
Sementara yang kedua, dari sisi profil risiko debitur. Perbankan, kata Piter, akan lebih selektif memilih calon debitur, dan akan sulit menyalurkan kredit kepada debitur yang memiliki profil risiko tinggi.
"Yang bisa menyalurkan ini sudah pasti bank besar yang punya likuiditas dalam jumlah banyak. Mereka pasti lebih cermat dalam memilih, karena tidak mungkin mereka ambil yang punya risiko tinggi," jelasnya.
Maka dari itu, program ini memerlukan dasar hukum yang jelas. Bukan hanya dari sisi batasan bunga, namun mengenai aspek-aspek lainnya agar program tersebut tidak menjadi beban bagi masyarakat.
(dru) Next Article Jokowi Minta Bank RI Salurkan 'Student Loan', Bisakah?
Most Popular