Polemik Harga Bensin, Apakah Pengorbanan Demi Tahun Politik?

Gustidha Budiartie & Raditya Hanung Prakoswa, CNBC Indonesia
07 March 2018 07:28
Polemik Harga Bensin, Apakah Pengorbanan Demi Tahun Politik?
Foto: Muhammad Luthfi Rahman
Jakarta, CNBC Indonesia- Di masa awal pemerintahannya, Presiden Joko Widodo menjadikan reformasi energi salah satu agenda penting untuk membangun negara ini. Caranya adalah dengan menghapus subsidi bensin yang menelan hingga ratusan triliun, yang telah berlangsung bertahun-tahun, dan mengalihkannya untuk subsidi lebih tepat sasaran atau membangun infrastruktur.

Subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) terakhir kali dikucurkan pada 2014. Secara keseluruhan total subsidi BBM mencapai Rp 285 triliun. Gebrakan dimulai di 2015, tak lama setelah dilantik, Presiden Jokowi memutuskan untuk mencopot subsidi pada bensin premium. Alasannya, bensin satu ini lebih banyak digunakan mereka yang memiliki kendaraan pribadi.

Tak tanggung-tanggung, jeda beberapa bulan setelah menjabat sebagai kepala negara, Jokowi bahkan berani menaikkan harga premium dari Rp 6.500 per liter ke Rp 8.500 per liter yang diumumkan langsung di Istana Negara. Tindakannya ini dikritik tapi juga banyak yang mendukung, karena lebih sehat untuk kas negara maupun Pertamina, selaku importir sekaligus distributor BBM.

Kebijakan ini masih konsisten dan dilanjutkan di 2015 dan 2016. Seiring dengan penurunan harga minyak dunia, harga bensin pun kembali mengalami penyesuaian. Untuk jenis premium harga diturunkan ke level Rp 6.450- 6.500 per liter.

Ini terlihat dari angka subsidi BBM dan LPG yang menurun drastis pada tahun 2016, dimana realisasinya tercatat sebesar Rp 43,69 triliun, atau menurun 28,09% dari realisasi 2015. Namun demikian, dampak kembali menguatnya harga minyak dunia sejak semester II 2016 mulai terasa di tahun 2017. Pada awal tahun ini, realisasi subsidi energi BBM dan LPG diumumkan mencapai Rp 47 triliun, lebih besar dari target APBN-P 2017 sebesar Rp 44,5 triliun.

Polemik Harga Bensin, Apakah Pengorbanan Demi Tahun Politik?Foto: Raditya Hanung Prakoswa

Jebolnya subsidi BBM dan LPG pada tahun 2017 diperkirakan terjadi salah satunya akibat melesetnya asumsi harga minyak di APBN. Harga minyak mentah Indonesia (ICP) memang hanya diasumsikan sebesar US$ 45/barel pada APBN 2017, yang kemudian direvisi menjadi US$ 50/barel pada APBN-P 2017. Sementara, rata-rata harga ICP Januari-Desember 2017 aktual sebesar US$ 51,19/barel.

Patokan ICP Lebih Rendah dari Realisasi

Realisasi subsidi yang melebihi target berpotensi terulang pada APBN 2018, dimana harga minyak mentah diasumsikan sebesar US$ 48/barel pada tahun ini, dengan alokasi subsidi BBM dan LPG sebesar Rp 46,86 triliun.

Melihat tren kenaikan harga minyak, memang cukup aneh dan menjadi pertanyaan melihat asumsi harga minyak di APBN 2018 malah dipatok lebih rendah dari asumsi APBN-P 2017 sebesar US$ 50/barel. Hingga akhir Februari realisasi ICP rata-rata sudah mencapai US$ 61,61/barel, senada dengan rata-rata harga minyak mentah global jenis light sweet pada bulan Februari yang berada di level US 62,18/barel.

Polemik Harga Bensin, Apakah Pengorbanan Demi Tahun Politik?Foto: Raditya Hanung Prakoswa

Risiko Subsidi Akibat Meleset Asumsi

Pertanyaan yang muncul adalah apabila dengan asumsi yang meleset sekitar US$ 1/barel saja dapat membuat kelebihan target subsidi sebesar Rp 2,5 triliun pada tahun 2017, lalu bagaimana nasibnya realisasi subsidi tahun ini apabila asumsi harga minyak meleset hingga US$ 13/barel?

Hampir dipastikan realisasi subsidi tahun ini akan kembali melambung di atas target Rp 46,86 triliun. Salah satu cara menyelamatkan APBN dari gelembung subsidi adalah dengan menaikkan harga. Tapi, Presiden Jokowi sudah berpesan pada menteri-menterinya bahwa tak ada kenaikan harga bensin maupun tarif listrik hingga 2019. Artinya segala kenaikan harga yang terjadi secara riil dalam komoditas energi, tidak boleh dilimpahkan ke masyarakat dan harus tetap jadi beban pemerintah.

Oleh karena itu, langkah yang bisa dilakukan pemerintah adalah mengajukan penambahan subsidi ke Kementerian Keuangan. Mari kita bicara soal bensin terlebih dulu, yang masih disubsidi oleh pemerintah saat ini adalah bensin jenis solar yakni sebesar Rp 500 per liter. Jumlah subsidi yang dikucurkan untuk solar adalah Rp 7,8 triliun untuk 15,6 juta kiloliter.

Kementerian ESDM mengajukan agar subsidi dinaikkan menjadi Rp 700 hingga Rp 1000 per liter, hitungan subsidi pun berubah seperti ini:

- Jika menjadi Rp 700 per liter maka jumlah total subsidi yang dibutuhkan adalah Rp 10,8 triliun
- Jika menjadi Rp 1000 per liter maka jumlah total subsidi yang dibutuhkan adalah Rp 15,6 triliun.

Dilihat dari sisi subsidi bensin solar, angka Rp 15,6 triliun memang tak seberapa dibanding potensi pendapatan negara yang bisa mencapai ribuan triliun. Inilah yang membuat Menteri Keuangan Sri Mulyani yakin bahwa naiknya subsidi BBM tidak akan mempengaruhi defisit APBN yang ditetapkan sebesar -2,19% dari Produk Domestik Bruto. Tapi perlu diingat di sini kita belum membedah soal harga bensin jenis premium.

Perlunya Transparansi Harga Bensin Premium

Bensin premium adalah kunci, karena jenis bahan bakar ini masih menduduki peringkat atas konsumsi dalam negeri.

Pemerintah berdalih sudah tidak ada lagi subsidi di sini, benarkah? Perlu diketahui bahwa harga bensin premium saat ini adalah hanya naik Rp 100 per liter sejak 2016 lalu, dari Rp 6.450 menjadi Rp 6.550 per liter. Sementara harga ICP di akhir 2016 sudah menyentuh level US$ 50 per barel, dan saat ini rata-rata ICP di atas US$ 60 per barel. 

Pertamina selaku importir dan distributor BBM premium mengklaim harga ini tak sesuai harga pasar. Dalam paparannya di Komisi VII DPR RI Januari lalu, Pertamina mengaku harus menalangi sampai Rp 2.404 per liter untuk bensin premium ini. Kekurangannya biasa dibayar pemerintah melakui skema carry over (dibayarkan di belakang), namun jumlahnya harus menunggu audit dari Badan Pemeriksa Keuangan.

Secara fisik, bensin premium ini juga dinilai sebagai perkara oleh Kementerian ESDM. Pasalnya bensin satu ini sudah jarang diproduksi di dunia, sehingga formula pemasangan harganya dipertanyakan oleh kementerian.

Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar bahkan sampai studi dan berkunjung ke Singapura untuk mengetahui hitungan dan patokan harga bensin ini. Hasilnya pemerintah berkeinginan untuk mengubah formula harga BBM premium ke depan, dengan tujuan mengupas harga bensin ini dan menyajikannya dengan harga riil ke masyarakat.

Sembari menunggu mana formula yang tepat untuk menghitung harga bensin premium, yang bisa dipastikan angka kurang bayar subsidi BBM (termasuk LPG) masih terhitung besar setiap tahunnya, yakni mencapai puluhan triliun rupiah dan masih menjadi tanggungan Pertamina untuk sementara ini.

Polemik Harga Bensin, Apakah Pengorbanan Demi Tahun Politik?Foto: BPK
Bagaimana hitungannya di APBN? Apabila melihat analisis sensitivitas di Nota Keuangan APBN 2018, kenaikan harga minyak sekarang seharusnya berdampak positif bagi APBN. Sehingga setiap kenaikan ICP rata-rata US$ 1/barel selama setahun, maka bisa menambah anggaran Rp 0,3-1 triliun.  Tapi itu dengan catatan target subsidi BBM dan LPG sebesar Rp 46,86 triliun. Apabila ternyata realisasi subsidi BBM berada di atas itu, maka sudah pasti penambahan anggaran tidak akan mencapai Rp 0,3 – 1 triliun, malah mungkin saja bisa defisit.

Polemik Harga Bensin, Apakah Pengorbanan Demi Tahun Politik?Foto: Raditya Hanung Prakoswa
Selain itu, masih ada asumsi dasar ekonomi makro lainnya yang menjadi dasar perhitungan anggaran, seperti nilai tukar rupiah dan lifting minyak bumi.

Misalnya saja, menurut data Kementerian ESDM, sepanjang tahun 2018 hingga saat ini, lifting minyak bumi berada di angka 776.782 barel per hari, atau masih berada di bawah asumsi APBN 2018 sebesar 800.000 barel per hari (selisih 23.218 barel per hari). Apabila selisih tersebut bertahan hingga akhir tahun, maka anggaran diperkirakan akan mengalami defisit Rp 2,78 – 4,64 triliun. 

Oleh karena itu, pernyataan Sri Mulyani yang yakin bahwa defisit anggaran akan terjaga apabila subsidi BBM dinaikkan, bisa saja tercapai asalkan pemerintah dapat terus menggenjot lifting minyak bumi sembari menjaga asumsi makro lainnya. 


Lantas, Bisakah Kebijakan Penahanan Harga Ini Disebut Kebijakan Politik?

Ini sungguh ranah yang sulit dijawab karena tak bisa dijabarkan dengan grafik dan angka. Tapi Menteri Keuangan, Menteri Koordinator Ekonomi, dan Menteri ESDM sudah menegaskan kebijakan ini bukan karena semata mendekati tahun politik, tahun 2019.

Menurut mereka, di tengah lesunya ekonomi saat ini, Presiden Jokowi meminta agar inflasi dijaga dan daya beli masyarakat dilindungi. Sebagai perbandingan saja, di 2009 lalu ketika mendekati pemilu, pemerintah saat itu tak sekadar menahan harga tetapi bisa menurunkan harga BBM hingga 3 kali dalam jeda 1,5 bulan. Dari harga bensin premium Rp 6.000 per liter, harga terus turun hingga menjadi Rp 4.500 per liter di Januari 2009. Bertahan hampir 4 tahun, harga bensin premium ini baru naik kembali pada 2013 menjadi Rp 6.500 per liter.

Mungkin pertanyaan tentang tahun politik sulit terjawab saat ini, tapi yang bisa dipastikan adalah mulai terjadinya inkonsistensi kebijakan energi yang dilakukan pemerintahan Presiden Jokowi. Alih-alih bicara soal tahun politik yang masih di tahun depan, pertanyaan yang lebih cocok untuk saat ini adalah apa kabar semangat reformasi energi yang pernah dijanjikan dahulu?


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular