
Penyebab Pertumbuhan Ekonomi 2017 Tak Sentuh Target APBN
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
05 February 2018 16:34

Jakarta, CNBC Indonesia – Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi nasional 2017 sebesar 5,07%. Angka ini cukup jauh di bawah target pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara-Perubahan (APBN-P) 2017 yang 5,2%.
Sebenarnya dalam APBN 2017 awal, target pemerintah lebih rendah yaitu 5,1%. Kalau saja asumsi pertumbuhan ekonomi 2017 tidak diubah di APBN-P, pemerintah bisa mengklaim target tercapai karena 5,07% bila dibulatkan menjadi 5,1%.
Asumsi makro yang meleset dari realisasi bukan terjadi sekali. Hampir setiap tahun asumsi makro yang ditetapkan pemerintah melenceng dari apa yang terjadi di lapangan.
Meski asumsi yang meleset dari realisasi adalah sebuah rutinitas, tetapi setiap tahun punya cerita masing-masing. Penyebab dari tidak tercapainya target pertumbuhan ekonomi disebabkan oleh hal yang berbeda-beda.
Misalnya pada 2017. Latar belakang pemerintah merevisi ke atas asumsi pertumbuhan ekonomi dari 5,1% menjadi 5,2% adalah membaiknya ekspor dan investasi.
Keduanya memang terwujud, di mana ekspor berhasil tumbuh meyakinkan setelah dua tahun sebelumnya terkontraksi. Investasi juga mengalir cukup deras dan menjadi salah satu penyokong pertumbuhan ekonomi.
Namun, yang menjadi pemberat pertumbuhan ekonomi adalah konsumsi rumah tangga. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, pada 2017 konsumsi rumah tangga melambat dan hanya tumbuh di bawah 5%.
Daya beli masyarakat yang terhambat merupakan dampak dari kenaikan tarif listrik. Tahun lalu, pemerintah mengubah skema subsidi listrik.
Sebanyak 18,7 juta rumah tangga pengguna listrik 900 VA tidak lagi mendapat subsidi sehingga mereka harus membayar biaya lebih mahal. Bahkan kenaikan biaya listrik bisa lebih dari dua kali lipat.
Selain itu, konsumsi juga melambat akibat penurunan kinerja sektor pertanian sementara sebagian besar masyarakat Indonesia bekerja di sektor tersebut. Data per Agustus 2017, hampir 30% pekerja mencari nafkah di sektor pertanian.
Itu cerita 2017. Sementara pada 2016 penyebab dari tidak tercapainya target pertumbuhan ekonomi adalah ekspor dan belanja pemerintah. Harga komoditas saat itu masih dalam level rendah, sementara belanja pemerintah dipangkas untuk menjaga defisit anggaran.
Kala Sri Mulyani Indrawati pulang ke Indonesia dan kembali menjabat Menteri Keuangan, gebrakan awal yang dilakukannya adalah menjaga agar APBN tetap kredibel. Caranya adalah dengan memangkas belanja negara agar defisit tidak melampaui batas 3% dari PDB. Anggaran yang dikurangi mencapai Rp 137,6 triliun.
Pada 2015, penyakitnya masih pada ekspor. Kala itu, harga komoditas anjlok cukup dalam dan perekonomian dunia dilanda ketidakpastian. Penyebabnya adalah Amerika Serikat (AS).
Bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) berulang kali mengatakan akan menaikkan suku bunga seiring pemulihan ekonomi Negara Adidaya tersebut. Namun The Fed bersikap maju-mundur, sementara pasar sudah mengantisipasi kenaikan suku bunga.
Periode ketidakpastian gara-gara kegalauan AS ini disebut taper tantrum. Tidak hanya melanda sektor keuangan, perdagangan pun lesu dibuatnya. Salah satu dampaknya adalah ekspor, yang terkontraksi pada 2016 dan 2015.
Itu sekelumit cerita mengapa target pertumbuhan ekonomi sulit tercapai. Ada faktor-faktor yang terjadi di tengah jalan yang tidak diperhitungkan sebelumnya.
Asumsi pertumbuhan ekonomi dalam APBN menjadi salah satu acuan atau guidance pelaku pasar mengenai arah ekonomi ke depan. Ada baiknya pelaku pasar tidak dibuai dengan harapan asumsi pertumbuhan ekonomi yang terlalu tinggi.
(aji/aji) Next Article Jangan Senang Dulu! Ada "Ancaman" Dibalik Surplus APBN RI
Sebenarnya dalam APBN 2017 awal, target pemerintah lebih rendah yaitu 5,1%. Kalau saja asumsi pertumbuhan ekonomi 2017 tidak diubah di APBN-P, pemerintah bisa mengklaim target tercapai karena 5,07% bila dibulatkan menjadi 5,1%.
Asumsi makro yang meleset dari realisasi bukan terjadi sekali. Hampir setiap tahun asumsi makro yang ditetapkan pemerintah melenceng dari apa yang terjadi di lapangan.
![]() |
Meski asumsi yang meleset dari realisasi adalah sebuah rutinitas, tetapi setiap tahun punya cerita masing-masing. Penyebab dari tidak tercapainya target pertumbuhan ekonomi disebabkan oleh hal yang berbeda-beda.
Misalnya pada 2017. Latar belakang pemerintah merevisi ke atas asumsi pertumbuhan ekonomi dari 5,1% menjadi 5,2% adalah membaiknya ekspor dan investasi.
Keduanya memang terwujud, di mana ekspor berhasil tumbuh meyakinkan setelah dua tahun sebelumnya terkontraksi. Investasi juga mengalir cukup deras dan menjadi salah satu penyokong pertumbuhan ekonomi.
![]() |
Namun, yang menjadi pemberat pertumbuhan ekonomi adalah konsumsi rumah tangga. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, pada 2017 konsumsi rumah tangga melambat dan hanya tumbuh di bawah 5%.
![]() |
Sebanyak 18,7 juta rumah tangga pengguna listrik 900 VA tidak lagi mendapat subsidi sehingga mereka harus membayar biaya lebih mahal. Bahkan kenaikan biaya listrik bisa lebih dari dua kali lipat.
Selain itu, konsumsi juga melambat akibat penurunan kinerja sektor pertanian sementara sebagian besar masyarakat Indonesia bekerja di sektor tersebut. Data per Agustus 2017, hampir 30% pekerja mencari nafkah di sektor pertanian.
![]() |
Itu cerita 2017. Sementara pada 2016 penyebab dari tidak tercapainya target pertumbuhan ekonomi adalah ekspor dan belanja pemerintah. Harga komoditas saat itu masih dalam level rendah, sementara belanja pemerintah dipangkas untuk menjaga defisit anggaran.
Kala Sri Mulyani Indrawati pulang ke Indonesia dan kembali menjabat Menteri Keuangan, gebrakan awal yang dilakukannya adalah menjaga agar APBN tetap kredibel. Caranya adalah dengan memangkas belanja negara agar defisit tidak melampaui batas 3% dari PDB. Anggaran yang dikurangi mencapai Rp 137,6 triliun.
Pada 2015, penyakitnya masih pada ekspor. Kala itu, harga komoditas anjlok cukup dalam dan perekonomian dunia dilanda ketidakpastian. Penyebabnya adalah Amerika Serikat (AS).
Bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) berulang kali mengatakan akan menaikkan suku bunga seiring pemulihan ekonomi Negara Adidaya tersebut. Namun The Fed bersikap maju-mundur, sementara pasar sudah mengantisipasi kenaikan suku bunga.
Periode ketidakpastian gara-gara kegalauan AS ini disebut taper tantrum. Tidak hanya melanda sektor keuangan, perdagangan pun lesu dibuatnya. Salah satu dampaknya adalah ekspor, yang terkontraksi pada 2016 dan 2015.
Itu sekelumit cerita mengapa target pertumbuhan ekonomi sulit tercapai. Ada faktor-faktor yang terjadi di tengah jalan yang tidak diperhitungkan sebelumnya.
Asumsi pertumbuhan ekonomi dalam APBN menjadi salah satu acuan atau guidance pelaku pasar mengenai arah ekonomi ke depan. Ada baiknya pelaku pasar tidak dibuai dengan harapan asumsi pertumbuhan ekonomi yang terlalu tinggi.
(aji/aji) Next Article Jangan Senang Dulu! Ada "Ancaman" Dibalik Surplus APBN RI
Most Popular