Internasional

Forum Ekonomi Davos: Ajang Pelesir Produktif Tokoh Dunia

Ester Christine Natalia, CNBC Indonesia
25 January 2018 13:59
Latar belakang penyelenggaraan World Economic Forum di Davos, Swiss
Foto: Reuters
Jakarta, CNBC Indonesia – Orang-orang paling berpengaruh di dunia, mulai dari selebriti, CEO sampai presiden, saat ini sedang berkumpul di kota Davos, Swiss, untuk menghadiri Forum Ekonomi Dunia atau World Economic Forum (WEF) 2018.

Setiap bulan Januari, pertemuan ini diselenggarakan oleh organisasi nirlaba dengan nama yang sama selama kurang lebih sepekan di kawasan resor ski mewah Davos Kloster, yang terletak di kaki gunung Alpen. Oleh karena itu, kata Davos seringkali digunakan sebagai nama sebutan dari WEF.
Forum Ekonomi Davos: Ajang Plesir Produktif Tokoh DuniaFoto: Reuters
Yayasan World Economic Forum ini didirikan oleh Klaus Schwab, seorang profesor bisnis asal Jerman yang mengajar di University of Geneva.

Mengapa Davos selalu dipilih sebagai lokasi pertemuan ini?

Alasannya karena Schwab menganggap hanya destinasi liburan elit itu yang memiliki semua elemen pendukung untuk mengadakan acara “plesir” yang produktif untuk para CEO.

Tahun ini, WEF diselenggarakan pada tanggal 23 sampai 26 Januari dan dihadiri oleh kurang lebih 3.000 peserta dari 110 negara. Pertemuan ini mengangkat tema “Membangun Masa Depan Bersama di Dunia yang Terpecah” sebagai topik inti semua diskusinya.

Organisasi ini awalnya didirikan dengan nama Forum Manajemen Eropa atau European Management Forum oleh Schwab di tahun 1971. Pada bulan Januari di tahun yang sama, pertemuan tahunan ini pertama kali diselenggarakan dan dihadiri oleh 450 peserta dari 31 negara.

Mulanya, pertemuan itu hanya dihadiri oleh para pemimpin bisnis yang fokus membahas bagaimana perusahaan Eropa dapat bersaing dengan praktek manajemen Amerika Serikat (AS).

Namun, sejak berbagai permasalahan seperti krisis minyak dunia, kegagalan sistem nilai tukar, dan peperangan terjadi sehingga mengaburkan batas antara perekonomian dan politik, untuk pertama kalinya pemimpin negara dari seluruh dunia diundang untuk hadir ke Davos pada Januari 1974.

Dua tahun setelah itu, organisasi tersebut memperkenalkan sistem keanggotaan untuk 1.000 perusahaan terkemuka di dunia yang memiliki omzet US$5 miliar (Rp 66,3 triliun) per tahun.

Biaya keanggotaannya pun tidak tanggung-tanggung, saat ini tarifnya berkisar antara $60.000 atau Rp 796,5 juta hingga $600.000 atau Rp 7,9 miliar per tahun. Bahkan, para CEO juga harus membayar biaya tambahan untuk ikut serta dalam pertemuan tahunannya.


Pada tahun 1987, nama Forum Manajemen Eropa berubah menjadi Forum Ekonomi Dunia atau WEF seiring dengan peralihan visinya untuk menyediakan ruang diskusi global. Di tahun 2015, organisasi ini resmi dianggap sebagai organisasi nirlaba internasional dan terus bergerak untuk menciptakan ruang kerjasama global antara usaha publik dan swasta.

Dengan melibatkan pebisnis, politisi, dan akademisi yang berpengaruh pada perekonomian dan perkembangan dunia, pertemuan ini diharapkan dapat memperbaiki tata pemerintahan dunia dan memecahkan berbagai permasalahan global saat ini.

Beberapa peran nyata dalam menangani permasalahan global pernah dilakukan oleh organisasi WEF, misalnya membahas rancangan perjanjian gencatan senjata yang diteken antara Israel dan Palestina tahun 1994, kesepakatan untuk tidak berperang antara Yunani dan Turki di tahun 1988 yang dikenal dengan Deklarasi Davos, serta kesepakatan untuk memerangi HIV, TBC dan Malaria di tahun 2002 yang dikenal dengan sebutan Global Health Initiative.


Namun, rupanya banyak pula yang mengritik pertemuan ini sebagai ajang tampil super-mewah tanpa hasil yang berarti.

Transnational Institute, lembaga riset yang fokus pada isu keadilan sosial, menyebut pertemuan itu “tidak menyentuh isu kemiskinan, pemanasan global dan jebakan utang”.

Bono, vokalis grup musik U2 dan aktivis anti-kapitalisme global, juga menyebut anggota WEF sebagai “fat cat on the snow (kucing-kucing gendut di tengah-tengah salju): para bos perusahaan yang harus dimintai pertanggung-jawaban atas kemiskinan dan kerusakan dunia.”

Maka dari itu, tidak heran jika WEF tahun ini untuk pertama kalinya akan mengangkat isu kesenjangan dunia dengan tema “Membangun Masa Depan Bersama di Dunia yang Terpecah” untuk dibahas bersama.

Penyelenggara juga menyelipkan delapan sesi diskusi panel untuk lebih spesifik membahas isu-isu sosial seperti imigrasi, pelecehan, suku, agama, dan kesehatan mental.

Selain itu, pertemuan tahun ini juga akan membahas isu revolusi industri 4.0 atau disrupsi digital yang kemungkinan akan menyinggung aspek regulasi dan perpajakan.

Pada sesi penutupan, Presiden AS Donald Trump rencananya akan membacakan pidato untuk menekankan retorika “America First” yang menjadi sorotan dan pembahasan para CEO serta pimpinan negara lainnya.
(prm) Next Article Sentil Trump, Merkel Bilang Proteksionisme Bukanlah Jawaban

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular