
Rp 4.000 Triliun dan Ketergantungan Indonesia Terhadap Utang
Chandra Gian Asmara, CNBC Indonesia
16 January 2018 17:52

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia saat ini diibaratkan sebagai perusahaan yang sedang berekspansi, namun tak di dukung dengan kas penerimaan yang sehat. Tanpa dukungan neraca yang stabil, mau tidak mau beban bertambah karena harus menambah utang untuk berekspansi.
Pengamat Ekonomi Dradjad Wibowo mengungkapkan, upaya meningkatkan penerimaan negara terutama yang bersumber dari pajak menjadi solusi bagi pemerintah untuk tetap menjaga manajemen pengelolaan utang. Apalagi, per Desember 2017 utang pemerintah hampir menembus Rp 4.000 triliun.
“Indonesia itu mirip pengusaha yang berambisi ekspansi. Ketika berambisi, strukturnya harus ditopang dengan penerimaan yang sehat,” kata Dradjad kepada CNBC Indonesia, Selasa (16/1/2018).
Dari sisi makro, Dradjad memandang, utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) masih cukup aman dibandingkan negara-negara maju. Namun, keseimbangan primer kas negara saat ini masih mencatatkan defisit, yang artinya pemerintah harus berutang untuk membayar utang jatuh tempo.
Apabila kondisi ini terus berlanjut, Dradjad menilai, Indonesia akan selalu bergantung pada pembiayaan luar negeri. Bahkan menurut dia, bukan tidak mungkin lubang utang yang terus digali untuk membayar bunga utang akan semakin melebar.
Dalam kesempatan berbeda, Ekonom Samuel Sekuritas Lana Soelistianingsih mengungkapkan, terjadinya defisit keseimbangan primer, memang tak lepas dari belanja yang ekspansif, sementara penerimaan yang berasal dari pajak tidak sesuai dengan target yang ditetapkan.
Defisit tersebut, kata Lana, mau tidak mau harus ditutup dengan utang. Namun, tidak semua pemberi utang bisa dengan mudahnya memberikan pinjaman. Ada beberapa konsekuensi yang harus diterima pemerintah, salah satunya adalah bunga yang tinggi dengan tenor yang tak lama.
“Sekarang kalau kita berutang itu menerbitkan obligasi, artinya ke swasta. Tetapi sering kali, swasta ini menuntut governance harus bagus, pemerintah harus perbaiki makronya. Kalau tidak bunga akan tinggi, beban bunganya akan semakin tinggi,” katanya.
Setiap negara, ditegaskan Lana, sah-sah saja memiliki utang. Namun, manajemen pengelolaan utang yang dilakukan pemerintah harus tetap mengedepankan aspek kehati-hatian, terhadap sejumlah risiko yang diharapkan tidak menimbulkan gejolak pada perekonomian.
“Utang itu sebenarnya tidak jelek, asal bisa bayar. Kalau tidak mau berutang, naikan pajaknya. Hanya itu saja,” tegasnya.
Sebagai informasi, total utang pemerintah per Desember 2017 tercatat Rp 3.938,7 triliun atau 29,2% PDB. Berdasarkan catatan, pertumbuhan utang pemerintah dalam lima tahun terakhir cukup tinggi, dengan rata-rata 14,8%.
(dru) Next Article Fitch: Outlook Utang Pemerintah Stabil di Tengah Perlambatan
Pengamat Ekonomi Dradjad Wibowo mengungkapkan, upaya meningkatkan penerimaan negara terutama yang bersumber dari pajak menjadi solusi bagi pemerintah untuk tetap menjaga manajemen pengelolaan utang. Apalagi, per Desember 2017 utang pemerintah hampir menembus Rp 4.000 triliun.
“Indonesia itu mirip pengusaha yang berambisi ekspansi. Ketika berambisi, strukturnya harus ditopang dengan penerimaan yang sehat,” kata Dradjad kepada CNBC Indonesia, Selasa (16/1/2018).
Apabila kondisi ini terus berlanjut, Dradjad menilai, Indonesia akan selalu bergantung pada pembiayaan luar negeri. Bahkan menurut dia, bukan tidak mungkin lubang utang yang terus digali untuk membayar bunga utang akan semakin melebar.
Dalam kesempatan berbeda, Ekonom Samuel Sekuritas Lana Soelistianingsih mengungkapkan, terjadinya defisit keseimbangan primer, memang tak lepas dari belanja yang ekspansif, sementara penerimaan yang berasal dari pajak tidak sesuai dengan target yang ditetapkan.
Defisit tersebut, kata Lana, mau tidak mau harus ditutup dengan utang. Namun, tidak semua pemberi utang bisa dengan mudahnya memberikan pinjaman. Ada beberapa konsekuensi yang harus diterima pemerintah, salah satunya adalah bunga yang tinggi dengan tenor yang tak lama.
“Sekarang kalau kita berutang itu menerbitkan obligasi, artinya ke swasta. Tetapi sering kali, swasta ini menuntut governance harus bagus, pemerintah harus perbaiki makronya. Kalau tidak bunga akan tinggi, beban bunganya akan semakin tinggi,” katanya.
Setiap negara, ditegaskan Lana, sah-sah saja memiliki utang. Namun, manajemen pengelolaan utang yang dilakukan pemerintah harus tetap mengedepankan aspek kehati-hatian, terhadap sejumlah risiko yang diharapkan tidak menimbulkan gejolak pada perekonomian.
“Utang itu sebenarnya tidak jelek, asal bisa bayar. Kalau tidak mau berutang, naikan pajaknya. Hanya itu saja,” tegasnya.
Sebagai informasi, total utang pemerintah per Desember 2017 tercatat Rp 3.938,7 triliun atau 29,2% PDB. Berdasarkan catatan, pertumbuhan utang pemerintah dalam lima tahun terakhir cukup tinggi, dengan rata-rata 14,8%.
(dru) Next Article Fitch: Outlook Utang Pemerintah Stabil di Tengah Perlambatan
Most Popular