
Cukai Likuid Vape 57%
Pemerintah Keukeh, Pengusaha & User Menjerit
Herdaru Purnomo & Chandra Gian Asmara, CNBC Indonesia
10 January 2018 07:00

- Tarif yang diputuskan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai hanya sepihak
- Pemerintah berpandangan pengenaan tarif cukai sebesar 57% masih dapat dipahami
Jakarta, CNBC Indonesia - Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) memiliki alasan tersendiri menetapkan tarif cukai likuid essence Vape sebesar 57%. Pemerintah tidak ujug-ujug menetapkan besaran tarif, tanpa adanya pertimbangan.
Sebelum masuk ke beberapa pertimbangan pemerintah, para pengguna dan penjual rokok elektrik yang mengetahui rencana pemerintah mulai berlaku 1 Juli 2018 shock mendengar kabar tersebut.
Waktu itu ada wacana naik sampai 57%, tapi kami tidak dikasih tau. Tiba-tiba keluar, kami agak kecewaRomedal |
Kepala Hubungan Masyarakat Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI) Romedal menegaskan, tarif yang diputuskan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai hanya sepihak. Asosiasi, kata dia, selama ini mengaku hanya beberapa kali diundang untuk membahas rencana pengenaan cukai likuid.
Romedal memahami, pengenaan cukai likuid rokok elektrik akan memberikan kepastian usaha dan tindak penyalahgunaannya. Dengan regulasi, maka para pelaku usaha Vape akan dengan tenang menjalankan usahanya.
Namun, pemerintah tetap perlu melihat dampak dari pengenaan cukai likuid terhadap keberlangsungan usaha Vape. Apalagi, saat ini jumlah toko Vape yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia mencapai 5.000 toko.
Tak hanya asosiasi, pengguna Vape pun merasa keberatan dengan rencana pengenaan cukai likuid. Alasannya, tingginya tarif pengenaan cukai akan mengerek harga likuid yang saat ini di pasarkan di kisaran Rp 100.000 - Rp 200.000.
“Kalau saya beli liquid 60 ml harga Rp 100.000, itu bisa dikonsumsi sampai dua minggu. Kalau harganya naik, sama saja seperti konsumsi rokok yang harganya sekarang lebih dari Rp 20.000,” kata Anggoro Budiono, salah seorang pengguna Vape.
Harga Likuid Meroket
Romedal mengungkapkan harga likuid yang dijual di setiap toko Vape selama ini bervariasi. Untuk likuid biasa, dibanderol sekitar Rp 100.000 - Rp 200.000 per 60 ml, sementara harga likuid premium di banderol sekitar Rp 250.000 - Rp 350.000 per 60 ml.
"Kalau likuid biasa itu lokal punya, harganya standard. Kalau premium, biasanya itu impor dan bahan bakunya," kata Romedal.
Dengan pengenaan cukai sekitar 57%, Romedal memperkirakan harga jual likuid biasa bisa mencapai Rp 250 ribu per 60 ml. Sementara itu, untuk harga jual likuid premium bisa melonjak drastis hingga di kisaran Rp 350.000 sampai Rp 400.000 per 60 ml.
"Kenapa mahal sekali? Karena pembuatan likuid itu beda-beda. Jadi tergantung dari bahan baku dan biaya-biaya lainnya," jelasnya.
Di Balik Angka 57%
Kepala Sub Direktorat Tarif Cukai DJBC Sunaryo menjabarkan sejumlah pertimbangan sebelum menentukan besaran tarif cukai. Sunaryo memandang, pengenaan tarif cukai sebesar 57% masih dapat dipahami, mengingat masyrakat yang mengkonsumsi Vape tegolong menengah ke atas. Ada beberapa hal yang menguatkan argumentasi tersebut.
Pertama, dari sisi peralatan vape yang berkisar antara Rp 300.000 untuk pemula, hingga kisaran Rp 2 juta. Kedua, harga liquid essence yang dipatok di kisaran Rp 90.000 sampai dengan Rp 300.000. Ketiga, harga koil device di kisaran Rp 40.000 sampai Rp 50.000.
“Penghitungan kami, likuid rata-rata habis paling lama itu seminggu. Vaporizer juga wajib mengganti koil sekitar seminggu sekali,” kata Sunaryo.
Dengan asumsi tersebut, maka para pengguna Vape masuk kategori kalangan menengah keatas. Dengan penetapan tarif 57% untuk tiap likuid yang mengandung hasil produk tembakau lainnya (HPTL), diyakini tidak akan berpengaruh besar pada industri.
“Bahkan, kami mempersilahkan kalau penjual mau kasih harga lebih dari 57% kami terima kalau sesuai keuntungan asal tetap 57%. Karena mereka pasarnya kalangan menengah ke atas,” katanya.
Pemerintah menjamin, hanya mengenakan cukai pada jenis likuid yang menggunakan HPTL. Sementara likuid yang berbahan baku seperti buah-buahan dan sayur-sayuran, tidak akan dikenakan tarif cukai sepeserpun.
Sunaryo membantah tarif yang dikenakan otoritas bea dan cukai untuk tiap likuid berbahan baku hasil produk tembakau lainnya (HPTL) terlalu tinggi. Menurutnya, tarif ini masih mampu mengkompensasi keuntungan yang diterima penjual.
"Sekarang kalau dihitung, harga likuid itu Rp 100.000. Kena cukai 57%, hanya naik Rp 57.000. Itu sama sekali tidak mengurangi keuntungan yang diambil penjual. Mereka jual Rp 100.000 itu sudah untung," kata Sunaryo.
![]() |
Bahkan, penjual diberi keleluasaan dalam menetapkan tarif likuid yang mengandung HPTL, selama cukai yang disetor sesuai peraturan yang berlaku. Sebab, pemerintah tidak mengatur batas atas batas bawah harga jual eceran likuid, lantaran itu bukan menjadi kewenangan DJBC.
Pemerintah memahami, industri Vape yang telah berkembang dalam beberapa tahun terakhir memiliki andil dalam struktur ekonomi nasional terutama dari sisi penciptaan lapangan pekerjaan. Namun, pengendalian memang harus dilakukan sesuai mandat dalam Undang-Undang (UU).
"Kami hanya menjalankan mandat yang tertuang dalam UU. Kami paham yang dialami industri. Memang akan berdampak, tapi tidak akan besar sekali," jelasnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menganggap wajar besaran tarif cukai likuid essence vape yang dianggap terlampau besar oleh pengusaha dan pengguna.
Kalau menganggu kesehatan, tidak apa-apa tinggiSri Mulyani |
“Kalau (vape) menganggu kesehatan, tidak apa-apa tinggi (tarifnya),” kata Sri Mulyani.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Bea dan Cukai Heru Pambudi menegaskan, ada empat aspek yang ditinjau pemerintah sebelum mengeluarkan kebijakan tersebut. Mulai dari aspek kesehatan, pelaku industri, masyarakat, serta daya beli.
“Empat ini yang menjadi parameter dalam menentukan besaran tarif, dan saya pikir ini wajar karena satu sisi yang lain itu tarifnya juga segitu,” jelasnya.
Berdasarkan data DJBC yang dikutip CNBC Indonesia, tercatat baru lima negara yang sudah mengenakan cukai terhadap likuid essence, yakni Indonesia, Korea Selatan, Yunani, Rusia, dan Portugal.
Jika dibandingkan dari keempat negara tersebut, Indonesia menempati posisi ketiga yang mengenakan tarif cukai likuid tertinggi. Posisi pertama dan kedua ditempati Rusia dan Portugal yang masing-masing mengenakan tarif 81,17% dan 62,92%.
Sementara tarif cukai likuid yang dikenakan pemerintah Korea Selatan presentase rata-ratanya sebesar 16,76%. Adapun tarif cukai yang dikenakan pemerintah Yunani, presentase rata-ratanya sebesar 13,45%.
(dru/prm) Next Article Lho Pendapatan Bea Cukai Lesu, Ada Apa Nih?
Most Popular