
JHT, Solusi Memutus "Lingkaran Setan" Sandwich Generation

Untuk memutus rantai sandwich generation, maka kuncinya ada di tangan para pekerja saat ini. Mereka lah yang kelak dalam 20-30 tahun ke depan bakal menjadi "beban baru" yang dipikul generasi selanjutnya, jika tidak mampu mandiri di usia tua.
Dan cara untuk mengembangkan aset untuk keperluan hari tua, maka jawabannya adalah investasi mandiri atau memaksimalkan pemanfaatan program hari tua seperti dana pensiun. Program hari tua menjadi solusi ampuh karena menjalankan prinsip compounded investment (investasi dengan memutar laba yang dihasilkan sebagai aset investasi selanjutnya).
Selain itu, keuntungan investasi juga semakin besar karena berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) Nomor 212/PMK.03/2018, aset investasi dalam program hari tua memang dibebaskan dari pajak penghasilan.
Namun realita masih memprihatinkan dengan rendahnya peserta program hari tua di kalangan pekerja, yakni hanya 4,3 juta orang jika mengutip data OJK. Artinya, hanya 3,2% dari pekerja formal kita yang kelak membebaskan generasi di bawahnya dari kutukan sandwich generation.
Di tengah situasi demikian, pemerintah melalui BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Ketenagakerjaan atau BP Jamsostek sebenarnya telah menyediakan solusi dengan program Jaminan Hari Tua (JHT), yang melengkapi program Jaminan Pensiun.
Program JHT telah hadir sejak 2004, dengan iuran sebesar 5,7% dari upah bulanan, di mana 2% dibayarkan oleh pekerja dan 3,7% dibayarkan oleh perusahaan (selaku pemberi kerja). Manfaatnya bisa dicairkan ketika peserta memasuki usia pensiun (56 tahun).
Namun kenyataan justru berkata lain. Rendahnya kesadaran masyarakat untuk menyediakan dana hari tua mendorong pekerja mencairkan manfaat JHT secara prematur. Menurut data BP Jamsostek, hanya 3% peserta program JHT yang mencairkan manfaat JHT di usia pensiun.
Lebih ironis lagi, BP Jamsostek per 2021 melaporkan sekitar 2 juta pekerja usia milenial & Gen Z (berusia di bawah 40 tahun) mencairkan manfaat JHT sebelum pensiun. Jumlah mereka setara dengan 75% peserta program JHT. Nilai yang dicairkan pun tidak signifikan (di bawah Rp 5 juta).
![]() |
Padahal, perhitungan pengembangan investasi JHT berujung pada manfaat dengan nilai berkali lipat ketika dicairkan di usia pensiun. Berikut ini perhitungannya, dengan memakai usia pekerja 26 tahun, asumsi return investasi konservatif (sebesar 5%) dan kenaikan upah tahunan 3%.
Dari paparan tersebut terlihat bahwa upah Rp 4 juta bisa berujung pada manfaat JHT 16 kali lipat lebih tinggi ketika dikembangkan dalam masa 30 tahun (dan dicairkan di usia pensiun), ketimbang ketika dicairkan di usia kepesertaan lima tahun.
Jika sebelumnya pekerja mencairkan JHT ketika terkena PHK dengan dalih perlu uang cepat untuk bertahan hidup, maka alasan tersebut tidak lagi relevan karena Kementerian Ketenagakerjaan telah merilis program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).
Semua peserta BP Jamsostek mendapatkan manfaat JKP ketika kehilangan pekerjaan, yakni sebesar 45% dari gaji bulanan untuk 3 bulan pertama usai PHK dan 25% dari gaji untuk 3 bulan berikutnya.
Kombinasi JHT dan JKP ini memberikan fondamen bagi terciptanya dana hari tua bagi para pekerja melalui JHT. Jika semua pekerja mencairkan JHT di usia pensiun, maka problem sandwich generation dipastikan sirna dari Bumi Pertiwi.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags/ags)[Gambas:Video CNBC]